Laura berhenti di depan cermin tua di kamarnya, merenungkan bayangannya seolah-olah itu adalah bayangan orang asing. Wajahnya berlinang air mata, matanya bengkak, dan jantungnya...jantungnya berdebar-debar menahan rasa sakit yang begitu dalam hingga ia merasa seperti hancur berkeping-keping di dalam. Gema lagu itu bergema di kepalanya, berulang kali: "Hanya cinta yang menyakitkan seperti itu."
Dia telah mendengar kata-kata itu berkali-kali, namun hingga saat ini, dia belum pernah benar-benar memahami maksudnya. Tidak sampai dia, Javier, pergi, membawa separuh jiwanya bersamanya. Mereka bertemu di universitas, ketika mereka masih muda dan penuh impian. Dari saat mereka bertatapan, mereka tahu bahwa ada sesuatu yang istimewa yang mempersatukan mereka, sebuah hubungan yang begitu dalam dan mendalam sehingga sepertinya mustahil untuk diputuskan.
Pada awalnya, cinta mereka adalah segalanya yang diimpikan Laura. Mereka menghabiskan malam-malam itu dengan berbincang hingga subuh, mengucap janji masa depan bersama, tertawa hingga perut mereka sakit. Namun, seperti banyak kisah cinta lainnya, kehidupan mulai menghalanginya. Pertengkaran kecil menjadi lebih sering terjadi, dan keheningan di antara mereka menjadi lebih lama dan lebih berat. Namun, tak satu pun dari mereka mau menyerah. Cinta yang mereka bagikan terlalu kuat, terlalu nyata untuk dilepaskan.
Javier berjanji padanya bahwa dia akan selalu berada di sisinya, bahwa dia mencintainya lebih dari yang bisa dia ungkapkan dengan kata-kata. Dan Laura, yang naif dan putus asa untuk mempertahankan cinta itu, percaya bahwa jika dia cukup mencintainya, semuanya akan baik-baik saja. Tapi tidak seperti itu. Pada hari Javier pergi, dia melakukannya dengan sikap dingin yang membuat Laura hancur berkeping-keping.
"Aku tidak bisa terus seperti ini," katanya sambil menatap ke suatu tempat di tanah. Ini tidak berfungsi lagi.
Laura memandangnya, tidak mampu memproses apa yang didengarnya.
-Apa maksudmu? dia bertanya, suaranya nyaris berbisik.
---Aku tidak bisa... Aku tidak bisa. Saya minta maaf.
Dan dengan kata-kata itu, Javier berbalik dan berjalan keluar dari kehidupannya, meninggalkannya sendirian di apartemennya, dengan suara pintu yang tertutup bagaikan gaung yang tak ada habisnya di benaknya. Laura terjatuh ke tanah, merasakan dunianya runtuh dalam sekejap. Semua yang telah mereka bagikan, semua momen bahagia, semua janji... semuanya sirna dalam sedetik.
Hari-hari berikutnya adalah penyiksaan. Setiap sudut apartemen mengingatkannya padanya: cangkir favoritnya di dapur, buku yang ditinggalkannya di meja, aroma cologne-nya yang masih meresap di bantal. Namun yang terburuk bukanlah ketidakhadiran fisiknya, melainkan kekosongan di hatinya. Laura telah mengenal cinta, dan sekarang dia mengetahui arti sebenarnya dari kata-kata itu: hanya cinta yang menyakitkan seperti itu.