Saya ingat pertama kali saya melihat Guzela. Saat itu suatu sore di bulan Mei, ketika matahari menyinari jalanan dengan panas menyesakkan yang hanya dirasakan di pusat kota Culiacan. Saya sedang berjalan dengan pikiran teralihkan, memikirkan tentang rutinitas yang biasa, ketika saya melihatnya menyeberang jalan. Waktu seolah berhenti. Tidak ada suara, tidak ada mobil, tidak ada orang. Hanya dia. Seorang wanita jangkung, dengan kulit putih, bermata gelap dan rambut hitam bersinar di bawah sinar matahari. Matanya, yang gelap seperti malam, menangkapku sejak saat pertama.
Saya tidak berani berbicara dengannya hari itu. Beberapa minggu berlalu sebelum takdir memberiku kesempatan lagi.
Suatu sore, di pasar, saya mendengar suaranya. Saya sedang berdebat dengan seorang wanita tentang harga beberapa tomat. Aku mendekat, tanpa berpikir terlalu banyak, dan ketika dia melihatku, dia tersenyum padaku.
-Bagaimana menurutmu? ---dia bertanya padaku dengan geli.
---Aku bilang turunkan sedikit? ---Aku menjawab, dan mereka berdua tertawa.
Itu adalah kali pertama kami mengobrol. Kami bertemu beberapa kali lagi, dan setiap pertemuan merupakan percikan yang menyulut sesuatu di dada saya. Cinta tumbuh sedemikian alami sehingga saya hampir tidak menyadarinya. Dia hanya tahu bahwa saat dia bersamanya, dunia tampak lebih cerah. Kasih sayang di antara kami terasa begitu nyata, seakan-akan hati kami berbicara satu sama lain tanpa memerlukan kata-kata.
Seiring berjalannya waktu, percakapan kami menjadi lebih intim. Dia bercerita tentang masa kecilnya, impian dan ketakutannya. Tapi selalu ada sesuatu yang tidak dia katakan. Bagian dari dirinya yang tetap tersembunyi, seperti bayangan yang mengikutinya kemanapun.
---Pernahkah kamu merasa hidupmu sudah tertulis? ---dia bertanya padaku suatu malam ketika kami sedang berbaring di pantai, memandangi bintang-bintang.
-Apa maksudmu? ---Aku bertanya padanya, penasaran.
---Bahwa, apapun yang kamu lakukan, ada sesuatu yang lebih besar yang telah menentukan takdirmu.