Amelia berada di depan cermin sambil merapikan kerudung yang jatuh lembut di punggungnya. Gaun putih itu bersinar di bawah cahaya siang hari, dan meskipun segala sesuatunya tampak sempurna, ada sesuatu yang tidak muat di dalamnya. Pernikahan yang paling dinantikan di Mazatlán akan segera terjadi, pernikahan yang akan menyatukan wanita muda dari keluarga sederhana dengan Rama Aditya Atmaja, pewaris salah satu kekayaan terbesar di wilayah tersebut. Seluruh kota telah hadir untuk menyaksikannya.
“Sudah hampir waktunya,” kata Lorena, teman masa kecilnya, sambil meletakkan buket mawar putih di tangannya.
Amelia tersenyum, gugup. Di luar, semuanya tampak seperti mimpi, tetapi di dalam, ada kegelisahan yang tidak akan meninggalkannya sendirian. Selama berminggu-minggu, Rama bersikap aneh, menjauh, seolah-olah ada sesuatu yang gelap sedang terjadi di dalam dirinya. Tapi semua orang bersikeras bahwa itu normal, bahwa ketegangan sebelum pernikahan mempengaruhi siapa pun.
Dia menarik napas dalam-dalam, berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa semuanya akan baik-baik saja.
“Ayo Amelia, semuanya menunggumu,” tambah Lorena sambil tersenyum. Ini akan menjadi hari paling bahagia dalam hidup Anda.
Amelia mengangguk dan meninggalkan ruangan, siap untuk upacara. Lorong menuju altar ditutupi kelopak mawar, dan di kejauhan terdengar tawa dan gumaman para tamu. Di balik pintu, Rama telah menunggunya, berdiri di depan altar, dengan sikap anggun dan tatapan dinginnya, seperti biasa. Di sampingnya, keluarganya menyaksikan dengan bangga.
Saat dia berjalan ke arahnya, dia menyadari ada sesuatu yang tidak beres. Suasananya aneh, seperti ada bayangan yang menutupi tempat itu. Namun dia memaksakan diri untuk terus berjalan, pandangannya tertuju pada calon suaminya. Setiap langkah membawanya lebih dekat ke tujuan yang tidak lagi dia yakini inginkan.
Akhirnya, dia sampai di altar. Rama memberinya senyuman, tapi itu bukanlah senyuman hangat yang dia ingat di bulan-bulan pertama hubungan mereka. Itu adalah senyuman kosong dan penuh perhitungan.
Imam itu mulai berbicara, dan gumaman para tamu digantikan oleh gema kata-katanya yang khusyuk. Segalanya berjalan sesuai rencana, hingga terdengar jeritan tajam yang memecah ketenangan gereja.
-Bantuan! Tolong bantu!