Di hamparan Arab Saudi yang luas dan gersang pada tahun 1948, seorang wanita Baduy berdiri tegak dan anggun, menggendong anaknya di dekat hatinya. Gurun, dengan bukit pasir yang tak berujung dan sinar matahari yang tiada henti, adalah rumahnya---tanah di mana kelangsungan hidup bergantung pada ketahanan dan hubungan mendalam dengan bumi dan langit.Â
Kehidupannya, seperti halnya nenek moyangnya, dibentuk oleh ritme gurun, di mana setiap hari merupakan bukti kekuatan dan kemampuan beradaptasi masyarakat Baduy. Pakaian tradisionalnya, terbuat dari kain mengalir yang melindunginya dari cuaca gurun yang keras, lebih dari sekadar pakaian. Itu adalah permadani sejarah, ditenun dengan benang warisan sukunya. Corak dan warna yang menghiasi pakaiannya bukan sekedar hiasan melainkan simbol identitas sukunya, menceritakan kisah tentang garis keturunan, kehormatan, dan tanah yang mereka sebut sebagai rumah.Â
Cadar yang menutupi sebagian wajahnya hanya memperlihatkan matanya---mata yang menahan kedalaman gurun itu sendiri, garang dan penuh kasih sayang, mencerminkan kekuatan tak tergoyahkan yang dibutuhkan untuk membesarkan sebuah keluarga di lingkungan yang penuh tuntutan. Anak dalam pelukannya, dengan mata terbelalak penuh keheranan, adalah pusat dunianya. Di tengah luasnya gurun pasir, kehidupan kecil ini menjadi mercusuar harapan dan kesinambungan.Â
Energi tenang dan protektif wanita itu terlihat jelas, sebuah janji diam-diam bahwa anaknya akan tumbuh dengan mempelajari cara-cara orang Badui. Dia akan mengajari anak itu lagu-lagu nenek moyang mereka, melodi yang akan dibawakan oleh angin gurun, menggemakan kisah-kisah tentang orang-orang yang pernah menjelajahi negeri ini dengan martabat dan keanggunan yang sama seperti yang dia wujudkan sekarang.Â
Kehidupan masyarakat Baduy adalah pergerakan yang konstan, ditentukan oleh musim dan kebutuhan ternak mereka. Wanita ini bukan sekadar seorang ibu; dia adalah kunci utama kehidupan nomaden keluarganya. Dia mengelola tenda, menyiapkan makanan, dan, yang paling penting, mewariskan kebijaksanaan yang sangat berharga untuk bertahan hidup di gurun pasir.Â
Pengetahuannya sama luasnya dengan pemandangan di sekitarnya---dia tahu dimana menemukan air, cara membaca pasir yang bergerak, dan kapan badai pasir akan datang. Keterampilan ini tidak hanya bersifat praktis; mereka penting untuk kelangsungan hidup keluarganya dan kelanjutan cara hidup mereka.
Pada tahun 1948, Arab Saudi berada di titik puncak perubahan besar. Penemuan minyak telah mulai mengubah bangsa ini, dan cara hidup tradisional suku Baduy perlahan-lahan bersinggungan dengan dunia modern. Namun, bagi wanita dan anaknya ini, gurun tetap menjadi sumber identitas dan makanan dalam lanskap yang berkembang pesat. Perambahan modernitas tidak bisa dihindari, namun hal itu tidak menghapus hubungan mendalam yang dimiliki suku Baduy dengan tanah dan tradisi mereka.Â
Saat dia berdiri disana, anaknya bersandar dengan aman di sampingnya, wanita Baduy tersebut mewakili semangat abadi masyarakatnya---kuat, mudah beradaptasi, dan sangat terhubung dengan tanah yang telah membentuk cara hidup mereka selama beberapa generasi.Â
Dalam pelukannya, ia tidak hanya menggendong anaknya namun juga masa depan budaya yang akan terus berkembang, bahkan ketika dunia di sekitar mereka berubah. Gurun, dengan tantangan dan keindahannya, lebih dari sekedar rumah; itulah hakikat mereka, sebuah bukti kekuatan tradisi yang abadi dalam menghadapi masa depan yang tidak pasti.