Pernahkah Anda bertanya-tanya bagaimana seorang raja muda berhasil menaklukkan hampir seluruh dunia yang dikenal?Â
Sosok Alexander Agung tetap menjadi salah satu sosok paling menarik dan penuh teka-teki dalam sejarah. Lahir pada tahun 356 SM Di Pella, ibu kota Kerajaan Makedonia, Alexander III, yang dikenal sebagai Alexander Agung, mewarisi tidak hanya sebuah kerajaan, tetapi juga sebuah mimpi: penyatuan dunia di bawah satu budaya dan satu pemimpin.Â
Sejak usia muda, Alexander menunjukkan karakter yang teguh dan kecerdasan yang tidak biasa. Dia adalah murid Aristoteles, yang mengajarinya dalam bidang filsafat, sains, kedokteran, dan seni, tetapi juga menanamkan dalam dirinya hasrat terhadap hal-hal yang tidak diketahui dan belum dijelajahi. Namun, ayahnya, Raja Philip II, yang mengajarinya seni perang, mempersiapkannya untuk tugas berat menjadi seorang penakluk.Â
Alexander naik takhta Makedonia pada usia 20 tahun, setelah pembunuhan ayahnya. Dia mewarisi kerajaan yang kuat, dengan tentara yang terlatih dan sumber daya yang besar. Namun ambisinya lebih dari sekadar memerintah Makedonia; Dia ingin menaklukkan dunia yang dikenal dan memperluas kerajaannya sampai ke ujung bumi. Prestasi besar pertamanya adalah invasi Kekaisaran Persia, yang pada saat itu merupakan yang terkuat di dunia.
Dengan pasukan yang relatif kecil namun sangat disiplin, Alexander memulai serangkaian kampanye militer yang membawanya menaklukkan Asia Kecil, Mesir, Mesopotamia, dan Persia. Keahliannya sebagai ahli strategi militer tidak ada duanya. Pada Pertempuran Gaugamela pada tahun 331 SM, misalnya, Aleksander berhasil mengalahkan raja Persia Darius III meskipun ia berada pada posisi yang sangat dirugikan dalam hal jumlah.Â
Kemenangan ini tidak hanya memberinya kendali atas Kekaisaran Persia yang luas, namun juga mengukuhkannya sebagai salah satu komandan militer terhebat sepanjang masa. Namun, yang membedakan Alexander bukan hanya kejeniusan militernya, namun juga visi budayanya. Ketika ia pindah ke timur, Alexander mendirikan kota-kota (banyak di antaranya menggunakan namanya, seperti Alexandria di Mesir) dan mendorong percampuran budaya.Â
Hal ini menyebabkan munculnya Hellenisme, perpaduan budaya Yunani dan Timur yang mempunyai dampak jangka panjang dalam sejarah dunia. Gagasannya tentang kerajaan universal, di mana keragaman budaya hidup berdampingan di bawah domain yang sama, merupakan hal yang revolusioner pada masanya.
Alexander mencapai India, di mana pasukannya, yang kelelahan dan jauh dari rumah, akhirnya menolak untuk maju lebih jauh. Dengan enggan, Alexander setuju untuk kembali, namun perjalanan pulangnya dilanda kesulitan, dan dia tidak pernah mengkonsolidasikan kerajaannya seperti yang dia bayangkan. Pada tahun 323 SM, pada usia 32 tahun, Alexander meninggal di Babel, meninggalkan kerajaan yang luas namun rapuh, yang akan segera terbagi di antara para jenderalnya.Â
Kematian Alexander masih menjadi misteri. Ada yang berpendapat dia diracuni, sementara ada pula yang berpendapat dia meninggal karena penyakit seperti malaria atau tifus. Kenyataannya adalah hilangnya kekuasaannya secara prematur meninggalkan kekosongan kekuasaan yang dengan cepat menyebabkan terfragmentasinya kerajaannya.Â
Tapi apa sebenarnya yang membuat Alexander Agung menjadi penakluk yang sukses? Beberapa orang akan mengatakan itu karena keberaniannya, yang lain karena visinya, dan yang lain lagi karena kemampuannya untuk menginspirasi kesetiaan pada anak buahnya. Namun mungkin kunci kesuksesannya terletak pada kemampuannya untuk beradaptasi dan belajar dari budaya yang ia temui selama perjalanannya, menciptakan warisan yang tidak hanya didasarkan pada penaklukan, namun pada integrasi dan penyatuan keberagaman.Â