Kesultanan Utsmani telah berhasil menaklukkan benteng pertahanan dari Konstantinopel oleh Sultan Mehmed ll. Tapi tahukah anda bagaimana kerajaan ini tercipta? Tahukah anda Osman I ? Di sini saya menceritakan semuanya kepada anda, mulai dari terbentuknya Kesultanan Ottoman sampai berakhirnya masa Kekhalifahan dan menjadi Negara Turki yang sekarang kita kenal.
Di dataran luas Anatolia, wilayah yang terletak di Turki modern, lahirlah sebuah kekuatan yang pada akhirnya akan menjadi salah satu kerajaan terbesar dan bertahan lama dalam sejarah: Kekaisaran Ottoman. Kisah mereka dimulai dengan langkah-langkah kecil di dunia yang terus berubah, didominasi oleh kesultanan dan emirat kuat yang berjuang untuk menguasai wilayah dan kekuasaan.
Semuanya bermula dari seorang pemimpin suku bernama Ertugrul, yang pada abad ke-13 memimpin sekelompok pengembara Turki dari suku Kay. Suku ini, seperti suku lainnya, bermigrasi dari Asia Tengah ke Anatolia untuk melarikan diri dari bangsa Mongol. Ertugrul dan sukunya menetap di perbatasan Kesultanan Rm, sebuah negara Muslim yang muncul setelah jatuhnya Kekaisaran Bizantium di wilayah tersebut. Menjadi pemimpin yang licik dan berani, Ertugrul menjalin aliansi dengan sultan setempat dan dengan cepat mendapatkan pengakuan dan wilayah.
Pendiri sebenarnya Kesultanan Utsmaniyah adalah Osman I, putra Ertugrul. Osman konon mendapat mimpi kenabian di mana ia melihat sebatang pohon raksasa tumbuh dari pusarnya, yang cabang-cabangnya membentang di tiga benua. Mimpi ini diartikan sebagai pertanda bahwa keturunannya akan menciptakan sebuah kerajaan besar. Terinspirasi oleh visi ini, Osman l melakukan kampanye militer untuk memperluas wilayahnya, memanfaatkan jatuhnya Kesultanan Rm.
Di bawah kepemimpinan Osman, Ottoman mengadopsi strategi militer dan administratif yang efektif. Alih-alih menjarah kota-kota yang ditaklukkan, mereka malah memasukkannya ke dalam negara mereka yang sedang berkembang, memungkinkan penduduknya melanjutkan kehidupan sehari-hari sambil membayar pajak kepada pemerintahan Ottoman yang baru. Kebijakan toleransi dan kemampuan beradaptasi ini merupakan hal mendasar bagi perluasan dan konsolidasi kekaisaran pada tahun-tahun awalnya.
Seiring berjalannya waktu, Dinasti Ottoman terus melanjutkan ekspansinya. Di bawah pemerintahan Orhan, putra Osman, Ottoman menaklukkan kota Bursa pada tahun 1326, yang menjadi ibu kota pertama kekaisaran yang baru muncul. Penaklukan ini menandai titik balik, karena memungkinkan Ottoman untuk mendapatkan pijakan di wilayah tersebut, dari mana mereka melancarkan kampanye militer lebih lanjut.
Seiring berkembangnya kekaisaran, Kesultanan Utsmaniyah menghadapi banyak tantangan, mulai dari pemberontakan internal hingga ancaman eksternal. Namun, kemampuan mereka untuk beradaptasi dan belajar dari musuh-musuh mereka, serta kemampuan mereka untuk mengintegrasikan beragam budaya dan agama ke dalam sistem administrasi yang efisien, memungkinkan mereka mengatasi tantangan-tantangan ini dan melanjutkan ekspansi mereka.
Jatuhnya Konstantinopel pada tahun 1453 di bawah Sultan Mehmed II menandai dimulainya era baru Kesultanan Utsmaniyah. Kota ini, berganti nama menjadi Istanbul, menjadi ibu kota baru kekaisaran dan simbol kekuatan dan kebesarannya. Dari sana, Ottoman terus berkembang, menguasai wilayah yang luas di Eropa, Asia dan Afrika.
Permulaan Kesultanan Utsmaniyah ditandai dengan visi dan tekad para pemimpin seperti Ertugrul dan Osman. Melalui aliansi strategis, kebijakan integrasi dan administrasi yang efisien, mereka berhasil meletakkan fondasi sebuah kerajaan yang akan bertahan lebih dari 600 tahun. Tidak diragukan lagi, sejarah Kesultanan Utsmaniyah merupakan bukti kekuatan ambisi, kemampuan beradaptasi, dan ketahanan dalam membangun peradaban besar.
Dunia semakin berubah, dan Kesultanan Utsmaniyah meski memiliki kehebatan, belum sepenuhnya siap menghadapi tantangan-tantangan yang akan terjadi pada abad-abad mendatang. Sementara di Eropa, Renaisans, Reformasi, dan Revolusi Industri mengubah seluruh masyarakat, Ottoman menghadapi kesulitan beradaptasi dengan realitas baru ini. Inovasi dalam seni militer, dinamika ekonomi global yang berpusat di Atlantik akibat kebangkitan Amerika, dan gerakan nasionalis di dalam negeri menghadirkan tantangan besar bagi kekaisaran tersebut.
Memasuki abad ke-19, "orang sakit di Eropa", sebutan yang dulunya merupakan negara Ottoman yang kuat, kini terguncang akibat perang, pemberontakan internal, dan tekanan dari kekuatan asing. Semakin banyak kekaisaran yang harus membuat konsesi yang memalukan, menyerahkan wilayah, dan menerima pengaruh asing dalam urusan dalam negerinya.
Ketika negara-negara pemenang sedang menggambar ulang peta dunia di Versailles pada tahun 1919, wilayah kekuasaan Utsmaniyah terpecah belah tanpa memperhatikan realitas sejarah atau etnis. Atatrk, seorang komandan militer yang karismatik dan ahli strategi yang cerdik, muncul dari ahli perang sebagai tokoh kunci dalam perlawanan terhadap penduduk asing dan dalam perjuangan untuk kedaulatan Turki. Perang kemerdekaan Turki yang terjadi setelahnya merupakan perpaduan antara diplomasi cerdik dan konflik bersenjata, yang akhirnya mencapai puncaknya dengan berdirinya Republik Turki pada tahun 1923.
Pukulan terakhir bagi Ottoman tidak akan datang dari satu peristiwa saja, namun dari serangkaian bencana alam yang mengguncang fondasi dunia pada abad ke-20. Perang Dunia Pertama adalah bencana bagi kekaisaran. Bersekutu dengan Blok Sentral, Ottoman mendapati diri mereka berada di pihak yang kalah dalam sejarah. Kampanye militer, khususnya di Kaukasus, Gallipoli, dan Timur Tengah, meskipun seringkali dilakukan dengan gagah berani, menguras sumber daya dan moral kekaisaran.
Untuk memahami kejatuhannya, pertama-tama kita harus membayangkan masa kejayaan kekaisaran. Sepanjang abad ke-15 dan ke-16, sultan Ottoman memperluas wilayah kekuasaannya dengan kecepatan dan efisiensi yang mencengangkan. Konstantinopel, yang jatuh pada tahun 1453 ke tangan Sultan Mehmed II yang masih muda, hanyalah permata mahkota sebuah kerajaan yang segera membentang di tiga benua. Masyarakat Ottoman adalah perpaduan budaya, agama, dan etnis yang dinamis, tempat di mana ilmu pengetahuan, seni, dan filsafat berkembang di bawah perlindungan para penguasa. Namun, di puncak kekuasaan ini, benih-benih kemunduran sudah mulai disemai.
Jatuhnya Kesultanan Utsmaniyah adalah kisah yang dijalin dengan kompleksitas tragedi-tragedi besar, sebuah epik yang mencakup kejayaan dan kekuasaan selama berabad-abad sebelum berujung pada kemunduran yang tak terhindarkan. Kisah ini dimulai di dataran luas Anatolia, tempat suku-suku nomaden, di bawah bimbingan para pemimpin ambisius, meletakkan dasar bagi apa yang kemudian menjadi salah satu kerajaan paling bertahan lama dalam sejarah.
Selama ratusan tahun, Ottoman merupakan pemain sentral dalam drama geopolitik global, yang menghubungkan nasib mereka dengan nasib Eropa, Asia dan Afrika. Namun segala sesuatu yang naik pada akhirnya akan mengalami penurunan, dan tidak terkecuali itu terjadi pada kejayaan Kekaisaran Ottoman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H