Mohon tunggu...
Nadya Yasmine Khaerunnisa
Nadya Yasmine Khaerunnisa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Jurnalistik, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran

Seorang mahasiswa yang senang mengeksplorasi. Tertarik terhadap berbagai isu dan ingin menyumbangkan sudut pandang nya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menilik Akhir dari Sesajen

13 Juli 2024   14:02 Diperbarui: 13 Juli 2024   14:05 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Arsip pribadi I Nengah Wirajana

Ketika menginjakkan kaki di Pulau Dewata, kamu akan melihat jejeran canang sari di depan rumah warga. Masyarakat yang tinggal di sana percaya bahwa sesajen yang berasal dari janur dan bunga itu tidak boleh diinjak dan dilangkahi, apalagi dengan sengaja. Canang sari dipersembahkan oleh umat Hindu kepada Sang Hyang Widhi Wasa. Karena itulah, canang sari dan sesajen dalam bentuk lainnya perlu dihormati.

Kebiasaan menghaturkan sesajen yang dilakukan oleh masyarakat Hindu di Bali merupakan bagian dari Nitya Yadnya. Yadnya (persembahan) ini, dilakukan setiap hari sebagai bentuk syukur. Tak hanya kepada Tuhan, tetapi juga manifestasinya dalam bentuk lingkungan dan manusia.

Hal ini dilandasi oleh konsep Tri Hita Karana. Konsep ini mengajarkan masyarakat Hindu di Bali untuk menjaga hubungannya dengan Tuhan, sesama manusia, dan lingkungan sekitar. Tiga jenis hubungan ini dirawat dengan baik demi mewujudkan harmonisasi kehidupan.

Lalu, apakah sesajen dibuang setelah persembahan usai?

Bali Partnership dalam sebuah penelitiannya menyebutkan, terdapat timbunan sampah sebanyak 4.281 ton per hari di Bali. Dari total timbunan sampah yang ada, 60% di antaranya adalah sampah organik. Komposisi ini tentunya tak luput dari sampah-sampah yang dihasilkan dari upacara adat.

Sebenarnya, Bali sejak zaman dahulu sudah mengenali cara mengelola sampah organik tradisional untuk diterapkan di rumah tangga. Biasanya, sampah makanan akan diolah menjadi pakan ternak, seperti babi. Selain itu, juga dapat menghasilkan pupuk hijau bagi tanaman di sawah dan kebun.

Namun, seiring pertumbuhan penduduk dan perkembangan teknologi yang pesat, nilai budaya ini bergeser. Masyarakat urban tak lagi memelihara ternak, tak lagi memiliki pekarangan yang luas. Pengelolaan sampah organik secara tradisional tak lagi bisa diterapkan di tengah kepadatan penduduk yang tinggi. 

Dari Biopori Menjadi 1001 Solusi

Sumber: Arsip pribadi I Nengah Wirajana
Sumber: Arsip pribadi I Nengah Wirajana

Di tengah perkembangan zaman, muncul pula teknologi pengelolaan sampah organik yang dapat menggantikan metode tradisional tadi. I Nengah Wirajana, seorang pengajar dan peneliti bioteknologi menerapkan teknologi ini di rumahnya sendiri. Nengah mulai mengolah sampah organik rumah tangga dengan teknik biopori pertama kali di tahun 2020.

"Karena kita tidak disibukkan oleh pekerjaan rutin saat pandemi. Akhirnya kita sadar, sepertinya ada cara untuk ikut memecahkan masalah lingkungan," tutur Nengah.

Kesenangannya dalam berkebun, menjadi motivasi terbesar Nengah untuk membuat biopori. Pupuk yang dihasilkan dari biopori digunakan untuk menyuburkan tanaman sayur hingga tanaman hias di rumahnya. Oleh karena itu, Nengah dan keluarganya mengumpulkan sampah sisa makanan dan sesajen (canang) di lubang biopori agar timbunan sampah organik dari tidak menumpuk.

Aktivitas spiritual di Bali tidak hanya menyisakan sampah organik dari  janur dan bunga, tetapi juga buah-buahan. Lungsuran buah dan makanan lainnya, biasanya akan dimakan oleh masyarakat setelah persembahan. Tidak terkecuali Nengah, dirinya gemar memakan buah lungsuran.

Kulit dari buah segar yang dimakan, kemudian diolahnya menjadi eco enzyme. Apabila lungsuran buah sudah terlanjur busuk, maka akan diolah menjadi biopori. Tak hanya kulit buah, tetapi sayur-mayur sisa masakan pun dapat disulap menjadi cairan fermentasi ini.

"Bahan organik ini dicampurkan dengan karbohidrat, bisa dari gula pasir, gula aren, atau lainnya. Juga, tambahkan air. Komposisinya 3 untuk buah atau sayuran segar, 1 gula, 10 air. Campuran fermentasi ini nanti diletakkan di tempat yang tidak terkena cahaya matahari secara langsung selama 3 bulan," jelas Nengah, menuturkan langkah-langkah untuk membuat eco enzyme.

Pengelolaan biopori dan eco enzyme yang Nengah tekuni selama 4 tahun terakhir, mengurangi sampah yang dihasilkan oleh rumah tangganya secara signifikan. Selain mengurangi sampah organik, kedua produk rumah tangga ini juga dimanfaatkan dalam aktivitas sehari-hari. 

Asam organik dan alkohol yang terkandung dalam eco enzyme dapat dimanfaatkan sebagai pembunuh kuman. Oleh karenanya, eco enzyme dapat dimanfaatkan menjadi hand sanitizer, campuran air bak mandi, berkumur, hingga sabun untuk memandikan hewan peliharaan. Selain itu, eco enzyme juga dapat digunakan untuk membersihkan lantai rumah.

"Kalau kita pakai eco enzyme itu untuk ngepel lantai, anjing dan kucing di rumah jadi tidak berani ngompol lagi di tempat itu. Soalnya, mereka tidak suka baunya," cerita Nengah.

Tidak hanya pada lantai rumah, Nengah juga menyebut bahwa eco enzyme dapat disiramkan pada rumput di halaman rumah. Hal ini biasanya dilakukan untuk mencegah hewan peliharaan buang air sembarangan di sana. Eco enzyme dapat dituang ke tanah dan air, ataupun disemprotkan ke udara. 

"Dengan membuang eco enzyme ke tanah, dia akan memperbanyak jumlah mikroba baik di tanah. Sehingga tanah itu menjadi subur, ke air juga begitu," jelas Nengah.

Eco enzyme yang berbentuk cair dapat membunuh kuman dan membersihkan rumah. Sementara itu, eco enzyme berbentuk padat dan kering bisa dimanfaatkan sebagai obat nyamuk.

Meskipun eco enzyme dan biopori diketahui memiliki banyak manfaat, Nengah mengaku bahwa kebiasaannya ini belum banyak berdampak langsung bagi sekitar. Menurutnya, ini terjadi karena perbedaan orientasi pemikiran di masyarakat. Sehingga masih banyak masyarakat di sekitarnya yang belum menyadari bahwa sisa makanan dan sesajen dapat diolah menjadi eco enzyme serta biopori. 

"Mungkin tidak lebih dari 50% rumah tangga ya di sekitar sini yang membuat eco enzyme dan biopori," tutur Nengah.

Menurut Nengah, kesadaran masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya masih perlu untuk ditingkatkan. Apalagi, tetangganya juga melakukan upacara adat yang sama. Mereka menghasilkan jenis sampah yang sama pula. Pengelolaan sampah menjadi eco enzyme dan biopori dapat menjadi solusi untuk mengurangi jumlah sampah rumah tangga di lingkungan tersebut. 

Media juga menjadi penyebab belum adanya kesadaran dari masyarakat mengenai sampah sesajen. Menurut Nengah, belum banyak media yang membahas topik pengelolaan sampah organik dari sesajen menjadi biopori dan eco enzyme. Nengah menganggap ini sebagai sebuah "tantangan" bagi dirinya serta generasi muda untuk meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarakat di sekitarnya melalui berbagai media.

Wujud Nyata Tri Hita Karana

Sumber: Arsip pribadi I Nengah Wirajana
Sumber: Arsip pribadi I Nengah Wirajana

Mengelola sampah menjadi eco enzyme dan biopori menjadi langkah Nengah untuk terus menjaga lingkungannya. Ia memanfaatkan lungsuran sesajen yang dihasilkan dari persembahyangan. Berlandaskan konsep Tri Hita Karana, Nengah menjalani kesehariannya sebagai seorang pengajar sekaligus kepala rumah tangga yang mencontohkan perilaku ramah lingkungan bagi orang-orang di sekelilingnya.

Nengah bersembahyang setiap hari, menghaturkan sesajen di rumahnya, demi menjaga koneksi batinnya dengan Tuhan. Sampah sisa persembahyangan dan sesajen diolahnya menjadi biopori dan eco enzyme agar tidak menimbun sampah organik yang berakhir di TPA, sebagai wujud penghormatannya pada lingkungan. Pun, dirinya berusaha untuk mengajak keluarga dan orang-orang terdekatnya untuk bekerja sama dalam mengelola limbah rumah tangga, menunjukkan bagaimana ia menjaga keharmonisan hubungan antar manusia. 

Menurut ajaran Tri Hita Karana, ketiga komponen ini merupakan akar yang kuat untuk menciptakan lingkungan yang sehat dan harmonisasi kehidupan. Nengah ingin konsisten dalam melakukan hal-hal baik untuk menjaga lingkungannya. Ia berprinsip, ilmu yang ia dapatkan seharusnya bisa bermanfaat bagi sekitar. Tidak hanya bagi manusia, tetapi juga lingkungan. 

"Iya. Saya berharap dapat terus konsisten dengan menerapkan ilmu-ilmu yang berkonsep tinggi ini menjadi hal-hal sederhana yang bisa bermanfaat untuk kehidupan sehari-hari."

Menurut Nengah, dengan demikian, mungkin dampak yang akan timbul dari kegiatannya selama ini dapat meningkat apalagi terhadap lingkungan sekitarnya. Terutama, kesadaran orang-orang yang berada di sekitarnya untuk mengelola sampah organik dari lungsuran berlandaskan konsep Tri Hita Karana.

Ditulis oleh Aisyah Putri Maulidina, Nadya Yasmine Khaerunnisa, dan Luh Muni Wiraswari

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun