Mohon tunggu...
Nadya Yasmine Khaerunnisa
Nadya Yasmine Khaerunnisa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Jurnalistik, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran

Seorang mahasiswa yang senang mengeksplorasi. Tertarik terhadap berbagai isu dan ingin menyumbangkan sudut pandang nya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menilik Akhir dari Sesajen

13 Juli 2024   14:02 Diperbarui: 13 Juli 2024   14:05 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi sesajen (sumber: unsplash.com)

Ketika menginjakkan kaki di Pulau Dewata, kamu akan melihat jejeran canang sari di depan rumah warga. Masyarakat yang tinggal di sana percaya bahwa sesajen yang berasal dari janur dan bunga itu tidak boleh diinjak dan dilangkahi, apalagi dengan sengaja. Canang sari dipersembahkan oleh umat Hindu kepada Sang Hyang Widhi Wasa. Karena itulah, canang sari dan sesajen dalam bentuk lainnya perlu dihormati.

Kebiasaan menghaturkan sesajen yang dilakukan oleh masyarakat Hindu di Bali merupakan bagian dari Nitya Yadnya. Yadnya (persembahan) ini, dilakukan setiap hari sebagai bentuk syukur. Tak hanya kepada Tuhan, tetapi juga manifestasinya dalam bentuk lingkungan dan manusia.

Hal ini dilandasi oleh konsep Tri Hita Karana. Konsep ini mengajarkan masyarakat Hindu di Bali untuk menjaga hubungannya dengan Tuhan, sesama manusia, dan lingkungan sekitar. Tiga jenis hubungan ini dirawat dengan baik demi mewujudkan harmonisasi kehidupan.

Lalu, apakah sesajen dibuang setelah persembahan usai?

Bali Partnership dalam sebuah penelitiannya menyebutkan, terdapat timbunan sampah sebanyak 4.281 ton per hari di Bali. Dari total timbunan sampah yang ada, 60% di antaranya adalah sampah organik. Komposisi ini tentunya tak luput dari sampah-sampah yang dihasilkan dari upacara adat.

Sebenarnya, Bali sejak zaman dahulu sudah mengenali cara mengelola sampah organik tradisional untuk diterapkan di rumah tangga. Biasanya, sampah makanan akan diolah menjadi pakan ternak, seperti babi. Selain itu, juga dapat menghasilkan pupuk hijau bagi tanaman di sawah dan kebun.

Namun, seiring pertumbuhan penduduk dan perkembangan teknologi yang pesat, nilai budaya ini bergeser. Masyarakat urban tak lagi memelihara ternak, tak lagi memiliki pekarangan yang luas. Pengelolaan sampah organik secara tradisional tak lagi bisa diterapkan di tengah kepadatan penduduk yang tinggi. 

Dari Biopori Menjadi 1001 Solusi

Sumber: Arsip pribadi I Nengah Wirajana
Sumber: Arsip pribadi I Nengah Wirajana

Di tengah perkembangan zaman, muncul pula teknologi pengelolaan sampah organik yang dapat menggantikan metode tradisional tadi. I Nengah Wirajana, seorang pengajar dan peneliti bioteknologi menerapkan teknologi ini di rumahnya sendiri. Nengah mulai mengolah sampah organik rumah tangga dengan teknik biopori pertama kali di tahun 2020.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun