Beberapa waktu lalu, masyarakat di wilayah Sukoharjo, khususnya Desa Waru, dikejutkan dengan penangkapan seorang terduga teroris berinisial SQ oleh tim Densus 88 Antiteror Mabes Polri. Penangkapan ini semakin memunculkan pertanyaan, terutama mengenai sosok SQ yang selama ini dikenal sebagai pribadi pendiam dan tertutup, tinggal bersama istrinya di sebuah kos-kosan di Baki. Dalam penggeledahan di kos-kosannya, petugas menemukan barang-barang yang mencurigakan, termasuk senjata tajam seperti golok dan pedang, serta sejumlah buku yang belum jelas isinya.
Kejadian ini tentu saja membuka tabir ketegangan yang ada di balik kehidupan sehari- hari yang tampak tenang di sekitar kita. Banyak yang terkejut karena SQ selama ini bekerja di sebuah sekolah tahfidz (sekolah penghafal Alquran), yang seharusnya menjadi tempat pendidikan agama dan pembentukan akhlak. Namun kenyataannya, kedamaian yang tampak bisa saja hanya permukaan yang menutupi potensi bahaya yang lebih besar.
Salah satu hal yang patut dicatat adalah sikap masyarakat dan aparat di tingkat desa, dalam hal ini Kepala Desa Waru, Pardijo Siswomartono. Kades menyebut bahwa SQ dan istrinya adalah pasangan yang sangat tertutup dan jarang berinteraksi dengan warga sekitar. Hal ini seharusnya menjadi perhatian lebih dalam konteks kewaspadaan sosial. Di satu sisi, kebiasaan tertutup dari seseorang memang bukan indikasi langsung dari perilaku ekstrem atau radikal. Banyak orang yang memiliki sifat introvert atau lebih memilih untuk menjaga jarak dengan tetangga tanpa ada niat buruk. Namun, di sisi lain, ketertutupan ini bisa menjadi indikator awal yang perlu diwaspadai.
Pernyataan Kades yang menyebutkan bahwa ia tidak mengetahui detail buku-buku yang ditemukan oleh Densus 88 bisa dipahami, namun hal ini juga menunjukkan bahwa sering kali kita sebagai masyarakat hanya tahu sedikit tentang apa yang terjadi di sekitar kita. Mungkin saja, ada tanda-tanda tertentu yang sudah terlihat, namun tidak mudah untuk memahami atau mencurigai sesuatu yang tampaknya tidak terlalu mencolok. Inilah pentingnya bagi masyarakat untuk lebih peka terhadap lingkungan sekitar tanpa menciptakan ketegangan atau rasa curiga yang berlebihan, tetapi tetap dengan kewaspadaan yang proporsional.
SQ, yang bekerja di sekolah tahfidz, adalah contoh bagaimana radikalisasi bisa terjadi di tempat yang tidak terduga. Pendidikan agama yang seharusnya menjadi ladang untuk menumbuhkan toleransi dan kasih sayang justru bisa disalahgunakan. Salah satu pertanyaan besar yang muncul adalah bagaimana bisa seseorang yang bekerja dalam lingkungan pendidikan Islam yang penuh dengan nilai-nilai damai dan harmoni, terjerumus dalam ideologi radikal? Apakah ini terkait dengan lemahnya pengawasan terhadap individu yang berada di lingkungan pendidikan agama, ataukah ini lebih terkait dengan pengaruh ideologi eksternal yang masuk secara diam-diam?
Pendidikan, baik formal maupun non-formal, seharusnya dapat berfungsi sebagai benteng bagi para generasi muda untuk memahami agama secara komprehensif, tanpa terjebak dalam tafsir yang sempit dan ekstrem. Di sisi lain, lingkungan sekitar dan interaksi sosial juga memegang peranan penting. Radikalisasi tidak terjadi dalam semalam, namun melalui proses panjang yang sering kali dimulai dari ketidakpuasan terhadap kondisi sosial atau ekonomi, dan akhirnya mencari pelampiasan dalam bentuk ideologi yang mengklaim kebenaran mutlak.
Penangkapan terduga teroris SQ, bersama dengan dua terduga lainnya di daerah lain seperti Demak dan Kudus, adalah pengingat bahwa ancaman terorisme bisa muncul di mana saja dan kapan saja. Namun, kejadian ini juga mengajak kita untuk tidak terlalu cepat menilai seseorang hanya berdasarkan penampilan atau sifatnya yang tertutup. Ketertutupan bisa saja merupakan ciri dari seseorang yang mengutamakan kehidupan pribadi, bukan berarti langsung terhubung dengan aktivitas terorisme. Oleh karena itu, kewaspadaan masyarakat terhadap fenomena ini perlu dibarengi dengan edukasi tentang bahaya radikalisasi, serta pentingnya pelaporan jika mencurigai adanya aktivitas yang mencurigakan di sekitar.
Masyarakat tidak boleh terjebak dalam generalisasi atau prasangka terhadap kelompok tertentu hanya karena beberapa individu yang salah arah. Di sisi lain, aparat keamanan harus terus meningkatkan deteksi dini terhadap potensi radikalisasi di berbagai kalangan dan sektor, termasuk di dunia pendidikan agama, yang sejatinya adalah tempat untuk menumbuhkan nilai- nilai damai dan moderasi.
Kisah penangkapan SQ di Sukoharjo menjadi pengingat bagi kita semua bahwa kewaspadaan sosial adalah hal yang penting dalam menjaga keamanan dan keharmonisan masyarakat. Namun, kita juga harus berhati-hati dalam menyikapi perbedaan sifat dan perilaku seseorang agar tidak jatuh pada prasangka buruk. Selain itu, pendidikan dan lingkungan sosial yang sehat tetap menjadi kunci utama dalam menangkal radikalisasi dan terorisme, sehingga kejadian serupa tidak terulang di masa depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H