Mohon tunggu...
Nadira Manunu
Nadira Manunu Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Pengembara di dunia sosial, selalu penasaran dengan perspektif baru.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Moderasi Beragama di Bumi Nyiur Melambai: Aksi Nyata atau Sekedar Slogan?

27 Januari 2025   00:23 Diperbarui: 27 Januari 2025   00:23 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Konflik Tersembunyi di Balik Perdamaian

            Moderasi beragama menjadi isu krusial di Indonesia dengan berbagai regulasi dirancang untuk meningkatkan eksistensinya. Namun, asumsi bahwa moderasi beragama berjalan baik sering kali hanya menjadi mitos belaka. Konflik agama masih terjadi di beberapa daerah bahkan wilayah yang tampak damai seperti Sulawesi Utara menyimpan potensi konflik tersembunyi. Meski jarang terungkap ke permukaan, gesekan keagamaan tetap menjadi ancaman nyata.

Kementerian RI menyatakan bahwa moderasi beragama adalah cara pandang dan perilaku seseorang yang senantiasa bersikap adil, seimbang dan menjauhi ekstremisme. Hal ini menunjukkan bahwa pada dasarnya agama tidak dimoderasi akan tetapi perspektif dan sikap seseorang dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama yang perlu dimoderasi, sehingga terhindar dari sikap ekstrem atau berlebihan dalam penerapannya. (Kalangi, 2022)

Dalam indeks kerukunan umat beragama (IKUB) Provinsi Sulawesi Utara menempati urutan pertama pada tahun 2023. Moderasi beragama di Sulawesi Utara didukung oleh budaya lokal bernama Mapalus. Mapalus adalah sistem kerja sama khas Suku Minahasa yang menekankan gotong royong dan kebersamaan untuk menjaga kepentingan bersama. (Bolmora.com, 2023)

Antara Realitas dan Slogan Tanpa Makna

Berlandaskan falsafah hidup masyarakat Bumi Nyiur Melambai yaitu "Makopu-kopusan, Maesa-esaan, Masembong-sembongan" yang artinya saling mengasihi, hidup dalam kebersamaan, dan saling membantu. Dengan kata lain, "torang samua basudara, torang ciptaan Tuhan". Inilah yang kemudian menjadi padanan gerakan moderasi beragama yang digaung-gaungkan oleh pemerintah kita saat ini. Namun, apakah hal ini sudah benar-benar diterapkan, atau hanya menjadi slogan kosong yang kehilangan maknanya?

Tentu hal ini masih diterapkan, hanya saja belum benar-benar menyentuh semua aspek masyarakat. Masih ada beberapa celah yang harus diperbaiki termasuk kebijakan sistem yang harus lebih terstruktur. Sebagai contoh yang dilansir dari republika.co.id, konflik yang terjadi di Kota Bitung pada tahun 2023, FKUB Sulawesi Utara menghadapi kritik karena insiden bentrokan antara massa pendukung Palestina dan Israel (Nasrul Erdy, 2023). Saya menilai langkah yang diambil oleh FKUB  kurang inovatif dan belum fokus pada dasar persoalan. Doa bersama yang dilakukan belum cukup untuk mengatasi permasalahan yang ada apalagi mencari tahu penyebab utama konflik terjadi, seperti kesenjangan pemahaman dan diskriminasi dalam masyarakat.

Di sisi lain, daerah tempat tinggal saya yakni Desa Tompaso Dua pernah terjadi diskriminasi, di mana seluruh masyarakat setempat menolak keras pembangunan masjid, madrasah, mushollah dan sejenisnya. Hal ini terpampang nyata dalam spanduk yang terletak di lahan madrasah. Adanya penolakan yang keras dari masyarakat setempat mengakibatkan tertundanya pembangunan tersebut hingga saat ini, karena masyarakat lokal dengan aksi-aksinya seperti bakar-bakar, serta membangun tenda di depan lokasi pembangunan, telah menunjukkan seberapa keras penolakan atas pembangunan madrasah di wilayah ini. Ini mengindikasikan bahwa kurangnya edukasi dan fasilitas pemerintah terkait dengan penerapan moderasi beragama didukung juga dengan ideologi masyarakat setempat yang memandang bahwa kebenaran absolut ada pada kelompoknya dan diperkuat dengan keberadaan mereka sebagai mayoritas di sana. Hal ini tentunya tidak sejalan dengan ajaran dari tiap-tiap keyakinan yang kita anut di Indonesia, contohnya seperti ajaran agama islam dalam Q.S  Al-Baqarah ayat 143:

Terjemahan: demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat pertengahan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Nabi Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Kami tidak menetapkan kiblat (Baitulmaqdis) yang (dahulu) kamu berkiblat kepadanya, kecuali agar Kami mengetahui (dalam kenyataan) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berbalik ke belakang. Sesungguhnya (pemindahan kiblat) itu sangat berat, kecuali bagi orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.

            Dalam ayat ini memiliki konsep wasathiyyah yang menyebut umat Islam sebagai ummatan wasathan (umat yang moderat). Seperti yang diutarakan Syekh Yusuf Al-Qardhawi yang dijuluki sebagai bapak moderasi islam modern, bahwa "wasathiyyah adalah implementasi dari sikap tawazun (seimbang), adil dan tidak ekstrem, baik dalam keyakinan maupun perilaku" (Luthfi and Nursikin, 2023). Sehingga mencerminkan bahwa ajaran islam sebagai "Rahmatan lil 'Alamin" yang kehadirannya di tengah kehidupan masyarakat mampu mewujudkan kedamaian dan kasih sayang bagi manusia maupun alam semesta.

            Hal ini selaras dengan ajaran umat Nasrani dalam kitab Injil Matius 22:39 "kasihilah sesamamu manusia sama seperti dirimu sendiri".  Bermakna bahwa dengan berbagai latar belakang perbedaan haruslah menerapkan cinta kasih tanpa batas. Demikian pula dalam ajaran umat Hindu yaitu "Vasudhaiva Kutumbakam", kita semua bersaudara, seluruh dunia ini adalah satu keluarga tunggal tanpa membedakan suku Bahasa budaya tradisi dan warna kulit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun