Mohon tunggu...
Nadine Samara
Nadine Samara Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Airlanggaa

Merupakan mahasiswa aktif dari Universitas Airlangga dengan bidang Antropologi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Dampak Perilaku Patriarki dan Kondisi Fatherless pada Anak

28 Juni 2024   13:07 Diperbarui: 28 Juni 2024   13:13 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kondisi Fatherless

Keberadaan ayah dalam keluarga sangat berpengaruh pada perkembangan sosial, emosional dan psikologis anak. Fenomena ketiadaan figur ayah, yang dapat dijelaskan sebagai "tanpa ayah," telah menjadi perhatian dalam masyarakat modern. Ketiadaan ayah ini menggambarkan situasi di mana seorang anak merasakan kekurangan dalam interaksi dan perhatian dari ayahnya, bahkan jika ayah tersebut hadir secara fisik. Lebih dari sekadar absennya sosok ayah secara fisik, istilah "fatherless" lebih menyoroti kekurangan dalam peran ayah dalam proses pengasuhan anak. 

Sementara istilah "father absence" lebih mengacu pada ketiadaan fisik ayah dalam kehidupan seseorang. Menurut Wardah Roudhotina SPsi MPsi Psikolog,  Fatherless, disebut juga sebagai kelaparan figur paternal, mengindikasikan minimnya peranan ayah dalam proses asuhan, bahkan hingga absennya, baik secara psikologis maupun jasmaniyah. Retno Listyarti, seorang pejabat di Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) memaparkan bahwa "Fatherless diartikan sebagai anak yang bertumbuh kembang tanpa kehadiran ayah, atau anak yang mempunyai ayah tapi ayahnya tidak berperan maksimal dalam proses tumbuh kembang anak dengan kata lain pengasuhan".

Kondisi fatherless  bisa disebabkan oleh patriarki, oleh karena itu kedua hal ini bisa saja berkaitan. Patriarki adalah sistem sosial atau budaya di mana kekuasan dan otoritas dipegang sepenuhnya oleh laki laki, baik dalam lingkungan masyrakat ataupun lingkup keluarga. Budaya patriarki ini kerap menempatkan perempuan yang bertanggungjawab untuk urusan domestic serta mengurus anak dan rumah tangga pada saat yang bersamaan, laki-laki berperan dalam mengemban tanggung jawab terkait dengan aspek publik. Dalam hal ini maka, sosok ayah akan kurang mengambil peran dalam mengasuh dan mendidik anaknya. Sehingga meskipun anak memiliki ayah yang ada secara fisik, tapi tidak ada secara peran di kehidupannya.

Dalam observasi penulis,  melibatkan 3  remaja laki-laki berusia 15-18 tahun mengenai pandangan mereka terhadap patriarki dan konsep "fatherless". Dua dari mereka kurang memahami patriarki, tetapi memahami peran ayah dalam keluarga. Hasil wawancara menunjukkan berbagai pengalaman:  

  • KL (Perempuan), Memiliki hubungan buruk dengan ayahnya, yang hanya memenuhi kebutuhan finansial keluarga tanpa dukungan emosional. Ibunya mengambil peran ganda sebagai pendidik dan penyedia dukungan, mengakibatkan ketidakseimbangan peran orang tua dan rasa kesepian pada narasumber.  
  • JM (Perempuan), Mengalami patriarki di keluarganya, di mana pekerjaan rumah tangga dianggap tugas perempuan dan laki-laki memiliki kebebasan lebih. Ia merasa tertekan dan diperlakukan tidak adil karena diskriminasi gender ini.  
  • AA (Laki-laki), Mengalami kekerasan fisik dan patriarki dari ayahnya. Kekerasan dianggap normal oleh orang-orang terdekatnya, tetapi berdampak negatif pada kesejahteraan psikologisnya, menyebabkan trauma dan kecemasan.  Penelitian ini menunjukkan bahwa budaya patriarki memengaruhi pola pikir dan perilaku dalam keluarga, menciptakan ketidakadilan dan diskriminasi gender. Anak perempuan sering kali diperlakukan lebih rendah, sementara ayah yang tidak aktif dalam pengasuhan dapat menyebabkan dampak negatif pada perkembangan anak. Peran ayah seharusnya lebih dari sekadar pencari nafkah; mereka juga harus aktif dalam mendidik dan membesarkan anak, membawa manfaat emosional dan sosial yang signifikan bagi anak.

Fatherless  ada kaitannya dengan patriarki

Dengan ini, Patriarki dapat menjadi salah satu pemicu munculnya fatherless pada anak. Patriarki merupakan suatu format tatanan sosial yang menetapkan laki-laki sebagai pucuk pimpinan yang memiliki wewenang utama. Pemikiran beberapa orang tua terutama ayah yang terkadang hanya menginginkan anak laki-laki daripada anak perempuan. Pola pikir patriarki membuat pandangan bahwa tugas dari seorang ayah hanyalah menjadi tulang punggung keluarga. Pandangan ini beranganggapan bahwa tugas dari seorang ayah tak lebih dari mencari nafkah, sedangkan tugas ibu lebih dari mendidik, merawat dan membesarkan anak. Hal ini menyebabkan kurangnya peran ayah dalam mendidik dan membesarkan anak.

Tak jarang ayah ikut serta dalam mendidik anak anaknya  menggunakan kekerasan. Hal ini masih saja sering ditemui disekitar kita. Kekerasan dianggap menjadi hal yang biasa dalam mendidik anak. Mendidik anak dengan kekerasan dirasa mampu membentuk mental sang anak dan lebih efisien karena jika anak diberi hukuman berupa kekerasan, anak akan cenderung lebih menurut dan mudah diatur. Padahal hal ini berbahaya untuk perkembangan dan mental anak. Mendidik dengan kekerasan dapat berefek negatif baik secara fisik maupun psikoligis.

Patriarki membuat peran ayah dalam keluarga hanya terbatas pada peran sebagai pencari nafkah, sehingga kurang terlibat dalam pengasuhan dan pendidikan anak dalam keluarga. Hal ini membuat peran ibu dalam keluarga terbatas pada peran sebagai pengasuh anak, sehingga ayah kurang terlibat dalam pengasuhan anak. Dalam keluarga patriarki, anak laki-laki dan anak perempuan memiliki peran yang berbeda dan tertentu. Anak laki-laki dikenal sebagai pemimpin, sedangkan anak perempuan bertanggung jawab untuk berbagai tugas dalam rumah, seperti membantu memasak, merawat anak, atau merawat keluarga. Bahkan dalam pengambilan keputusan mungkin hanya dilakukan oleh anak laki-laki,baik keputusan itu akan meenguntungkan satu pihak maupun merugikan pihak tertentu. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa pola asuh dan pola pikir patriarki dapat memicu terjadinya fatherless pada anak karena tidak adanya peran ayah dalam mendidik dan membesarkan anak.

Dampak fatherless dan patriarki

Anak yang mengalami kondisi tanpa ayah (fatherless) dan lingkungan patriarki cenderung mengalami berbagai masalah. Mereka bisa merasa kurang percaya diri, menarik diri dari kehidupan sosial, dan rentan terhadap penyalahgunaan obat-obatan. Anak-anak ini juga mungkin menunjukkan perilaku pemarah, gangguan emosi seperti depresi dan kecemasan, serta kesulitan mengontrol emosi.  Dalam lingkungan patriarki, anak laki-laki dianggap lebih berhak dan bertanggung jawab lebih besar dibandingkan anak perempuan. Anak perempuan yang tumbuh dalam ajaran patriarki cenderung menjadi ketergantungan dan kurang percaya diri, serta sulit mandiri. 

Pengaruh patriarki juga terlihat dalam pembentukan identitas gender, ekspektasi perilaku, dan pilihan pendidikan.  Ketiadaan ayah mempengaruhi anak dalam banyak aspek, terutama emosional. Anak mungkin mengalami ketidakpastian emosional, kesulitan dalam memahami identitas gender, perilaku kurang disiplin, dan kesulitan membina hubungan sosial serta prestasi akademis yang terpengaruh.  Secara keseluruhan, dampak dari patriarki dan fatherless dapat mempengaruhi perkembangan anak baik secara fisik maupun psikologis. Orang tua perlu memberikan dukungan dan perhatian yang cukup untuk mengurangi dampak negatif tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun