Kami para sarjana dituntut akan banyak hal. Terlebih karena kami adalah pengemban amanah suci dari tanah air untuk mencerdaskan anak bangsa. Empat tahun kami ditempa, empat tahun kami bergelut dengan akademik yang "katanya" kelak akan mempengaruhi perjuangan kami dimedan pendidikan.
Kami dibangun dengan harapan. Namun semua angan kami kandas begitu study dikampus terselesaikan. Birokrasi untuk menuju tenaga pendidik yang diidam - idamkan sangat panjang dan tak mudah. Bahkan bagi para senior kami yang telah lama berkecimpung dilembaga pendidikan pun akhirnya terkatung - katung saat menghadapi ujian guru honorer apalagi kami sarjana muda?
Terseok - seok langkah kami mengajukan diri kami untuk mengabdi. Pada saat itu pula kami berusaha berlapang hati menyadari kenyataan pahit bahwa kami ditolak oleh negeri tercinta kami.
Sekolah - sekolah memastikan tenaga yang dimiliki telah cukup. Bahwa pengambilan guru dari seleksi BKD yang info penyelenggaraannya kurang tersebar luas. disisi lain "orang dalam" dipendidikan membangun "kerajaan"nya sendiri dengan menggandeng sanak family dan kenalan dekat. Jadilah kami sarjana pendidikan Indonesia tercecer dimana - mana tanpa harapan.
Sebagian mencoba merintis lembaga pendidikannya sendiri meski terkadang melompat jauh dari konsentrasi ilmu yang diambil semasa kuliah. Misalkan, membuka bimbel bahasa Inggris sementara jurusan yang diambil dahulu adalah pendidikan Agama Islam. Masih mending ada keterkaitan dengan pendidikan. Sebagian yang lain - penulis yakin prosentasenya lebih besar- memilih banting setir ke usaha swasta hingga lambat laun ijazah yang dahulu menguras periode empat tahun dalam hidup kini tertimbun debu, tak ubahnya berlembar - lembar makalah dan skripsi yang pernah dibuat dengan peluh dan keringat.
Memang kami pun memahami bahwa birokrasi ini adalah salah satu bentuk usaha pemerintah dalam menjamin tenaga pendidik berkualitas diIndonesia.
Yang menjadi tanya bagi kami, mengapa penyiapan kualitas tersebut tak dilakukan sejak dini bagi kami penerus pejuang pendidikan hingga kami tak harus terlunta - lunta seperti ini. Alangkah baiknya jika birokrasi yang ketat itu telah ditempakan pada kami dari semasa kuliah, sehingga kami yang belum mampu mencapainya akan kembali belajar karena masih dalam kondisi yang kondusif. Sedangkan bagi yang telah mampu maka ketika lulus kuliah akan bisa langsung terjun ke dunia pendidikan.
Tak perlu mengulur - ulur waktu lagi karena usia produktif akan segera berlalu tanpa disadari. Ditambah lagi bonus demografi yang akan diperoleh Indonesia tahun 2025. Tenaga pendidik profesional adalah sebuah keniscayaan. Tapi perlu pula perhatikan proses penempaan calon pendidik tersebut agar perolehan lebih maksimal.
Dan sekali lagi apalah daya kami para sarjana pendidikan yang tak memiliki "gandengan" didunia harapan kami - dunia pendidikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H