Mohon tunggu...
nadine cheria natalie
nadine cheria natalie Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Ilmu Komunikasi PSDKU Universitas Padjadjaran

Mahasiswa yang mengamati isu sosial di masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Salah Persepsi Mengenai Satwa, Terancam 5 Tahun Penjara?

31 Oktober 2024   20:06 Diperbarui: 31 Oktober 2024   20:08 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kesadaran masyarakat tentang pentingnya satwa dilindungi terus menjadi persoalan yang membutuhkan perhatian serius. Meskipun ada undang-undang yang mengatur perlindungan spesies-spesies tertentu, banyak orang masih kurang memahami mengapa satwa-satwa ini harus dijaga dengan ketat. Hal ini bisa dilihat dari masih maraknya perburuan liar dan perdagangan satwa ilegal. Selain itu, banyak yang tidak sadar bahwa hilangnya satu spesies satwa dilindungi dapat berdampak buruk pada keseimbangan ekosistem, yang pada gilirannya juga mempengaruhi kualitas hidup manusia.

Pemahaman masyarakat tentang satwa dilindungi, meskipun sudah mengalami peningkatan dalam beberapa tahun terakhir, masih jauh dari ideal. Banyak yang belum benar-benar memahami mengapa satwa-satwa tersebut masuk dalam daftar dilindungi dan apa saja ancaman yang mereka hadapi. Padahal, hewan-hewan ini memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Sayangnya, informasi mengenai status satwa dilindungi dan bahaya perburuan liar masih belum tersebar luas di kalangan masyarakat umum. Hal ini menyebabkan sebagian orang masih menganggap bahwa upaya konservasi tidak sepenting isu-isu lainnya, seperti ekonomi atau pembangunan infrastruktur.

Lebih parah lagi, ada persepsi keliru yang cukup mengakar di tengah masyarakat, terutama tentang risiko memelihara satwa liar sebagai hewan peliharaan. Banyak yang menganggap bahwa memiliki hewan eksotis, seperti burung langka atau reptil besar, sebagai simbol status sosial atau hobi yang menarik. Namun, sedikit yang menyadari bahwa tindakan ini bukan hanya ilegal, tetapi juga berbahaya. Satwa liar yang dipelihara sering kali mengalami stres dan menjadi agresif karena lingkungan yang tidak sesuai dengan habitat aslinya, yang pada akhirnya bisa membahayakan pemiliknya. Selain itu, pemeliharaan satwa dilindungi juga berpotensi mempercepat laju kepunahan spesies tersebut, terutama jika perburuan ilegal untuk perdagangan satwa semakin meningkat.

Pada awal tahun lalu, kasus Nyoman Sukena menjadi sorotan ketika ia ditangkap karena memelihara seekor landak jawa, salah satu satwa yang dilindungi di Indonesia. Nyoman, seorang petani asal Bali, mengaku tidak mengetahui bahwa landak yang ia pelihara termasuk dalam kategori satwa yang dilindungi oleh undang-undang. Ia menemukannya di hutan sekitar desanya dan memutuskan untuk memeliharanya, tanpa menyadari bahwa tindakannya tersebut melanggar hukum. Kasus ini menimbulkan perdebatan, terutama terkait bagaimana hukum diterapkan dan apa dampaknya terhadap masyarakat yang kurang mendapat informasi.

Kasus Nyoman Sukena adalah cermin dari banyak kesalahan persepsi yang terjadi di masyarakat. Di banyak daerah, edukasi mengenai satwa dilindungi masih sangat minim. Banyak masyarakat, terutama yang tinggal di pedesaan atau dekat kawasan hutan, sering tidak mengetahui bahwa hewan yang mereka temui sehari-hari adalah bagian dari spesies yang dilindungi. Mereka menganggap satwa-satwa tersebut bisa dipelihara atau dimanfaatkan tanpa masalah. Persepsi ini diperparah dengan kurangnya sosialisasi dari pemerintah atau lembaga terkait mengenai satwa apa saja yang dilindungi serta ancaman yang dihadapi oleh spesies tersebut.

Apakah hukuman berat adalah solusi yang tepat?

Dalam kasus Nyoman Sukena, pertanyaan penting yang muncul adalah apakah memberikan hukuman berat kepada seseorang yang tidak mengetahui bahwa mereka melanggar hukum adalah keputusan yang bijak? Nyoman hanya berusaha menyelamatkan seekor landak yang ia temukan terluka, tanpa ada niat untuk merusak lingkungan atau melanggar undang-undang. Ketidaktahuan ini menimbulkan dilema dalam penegakan hukum. Di satu sisi, penting untuk menegakkan aturan demi melindungi satwa yang terancam. Namun, di sisi lain, menghukum seseorang yang tidak memiliki akses informasi yang memadai mengenai undang-undang ini tampak tidak adil.

Dalam konteks ini, peran pemerintah dan lembaga konservasi sangatlah krusial. Mereka memiliki tanggung jawab besar untuk memberikan edukasi yang tepat kepada masyarakat mengenai pentingnya melindungi satwa dilindungi. Program-program sosialisasi harus lebih sering dilakukan, terutama di wilayah yang berdekatan dengan habitat satwa liar. Selain itu, kampanye di media sosial, sekolah, dan komunitas bisa menjadi cara efektif untuk menanamkan pemahaman bahwa satwa-satwa ini tidak hanya penting untuk ekosistem, tetapi juga dilindungi oleh hukum. Tanpa edukasi yang memadai, kasus serupa dengan Nyoman Sukena mungkin akan terus terjadi, dan masyarakat akan tetap berada dalam kegelapan terkait isu ini.

Namun, penegakan hukum dalam kasus satwa dilindungi juga patut dikritisi. Terkadang, hukum diterapkan secara kaku tanpa mempertimbangkan konteks sosial dan tingkat pengetahuan pelaku. Alih-alih hanya fokus pada hukuman, sebaiknya ada pendekatan yang lebih bersifat mendidik dan preventif. Misalnya, ketika seseorang kedapatan memelihara satwa dilindungi tanpa sadar, alih-alih langsung dihukum berat, mereka bisa diarahkan untuk mengikuti program rehabilitasi dan edukasi tentang konservasi satwa. Hukum tidak hanya berfungsi sebagai alat untuk menghukum, tetapi juga sebagai sarana untuk memperbaiki kesalahan persepsi di masyarakat.

Kasus seperti ini mengingatkan kita bahwa perlindungan satwa tidak hanya memerlukan aturan yang ketat, tetapi juga kesadaran kolektif dari seluruh lapisan masyarakat. Tanpa edukasi yang menyeluruh, penerapan hukum yang keras bisa berujung pada ketidakadilan bagi mereka yang sebenarnya tidak berniat melanggar, tetapi terjebak dalam ketidaktahuan.

Kasus Nyoman Sukena dengan jelas mencerminkan dampak dari ketidaktahuan masyarakat mengenai status satwa dilindungi. Ia hanyalah satu contoh dari banyaknya orang yang tanpa sadar melanggar hukum karena kurangnya akses terhadap informasi yang memadai. Ketidaktahuan ini tidak hanya merugikan satwa-satwa yang seharusnya dilindungi, tetapi juga masyarakat itu sendiri, yang bisa terjebak dalam masalah hukum tanpa niat buruk.

Oleh karena itu, penting bagi kita semua untuk menjaga keseimbangan antara upaya konservasi dan penegakan hukum. Pemerintah dan lembaga terkait harus lebih aktif dalam memberikan edukasi yang mudah diakses, sementara masyarakat perlu lebih proaktif dalam mencari informasi dan memahami pentingnya melestarikan satwa liar. Dengan kolaborasi yang baik antara edukasi dan kebijakan, kita bisa mencegah kasus serupa di masa depan dan memastikan bahwa perlindungan satwa dilindungi berjalan efektif tanpa mengorbankan hak masyarakat yang kurang berpengetahuan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun