Mohon tunggu...
Nadine Ayu Meishandra
Nadine Ayu Meishandra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Universitas Brawijaya

Mahasiswi Universitas Brawijaya

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Liburan di Tengah Pandemi, Amankah?

23 Mei 2021   16:25 Diperbarui: 25 Mei 2021   09:22 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto oleh Mikechie Esparagoza (Pexels.com)

Presiden Joko Widodo telah mengumumkan larangan mudik untuk semua warga negara setelah sebelumnya bersifat imbauan saja. Hal ini penting mengingat saat ini telah memasuki bulan suci Ramadhan yang dari tahun ke tahun diwarnai arus mudik yang tinggi. Larangan ini tidak lain demi mencegah penyebaran Covid-19. Keputusan ini patut diapresiasi mengingat bahaya yang akan timbul bila mudik tetap berjalan. Larangan ini sebenarnya selaras dengan berbagai imbauan, arahan, dan keputusan yang sudah tersebar secara masif untuk tetap tinggal di rumah. Keputusan ini sangat dibutuhkan dalam rangka penguatan arahan tetap tinggal di rumah, belajar di rumah, bekerja dari rumah, beribadah di rumah, menjaga jarak, dan tidak berkerumun. Sebelumnya, pelarangan ini hanya untuk ASN, pegawai BUMN, dan personel TNI-Polri. 

Berpuasa dan berlebaran bersama keluarga di kampung halaman kerap menjadi impian para perantau karena mudik memang merupakan tradisi yang menyertai perayaan lebaran di Indonesia. Namun, pandemi virus corona tahun ini menghadang rencana mudik para diaspora Indonesia. Kebijakan mudik lebaran di masa pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) menimbulkan polemik. Rencana larangan mudik ini sempat simpang siur sebelum akhirnya pemerintah memutuskan tidak melarang mudik lebaran 2020, meski di tengah merebaknya wabah virus corona. Bahkan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marinves) sekaligus Menteri Perhubungan Ad Interim, Luhut Binsar Pandjaitan, telah menegaskan tak ada larangan mudik di lebaran 2020 dengan tujuan agar roda ekonomi, terutama di daerah, bisa tetap berjalan kondusif. 

Tujuan utama dari kegiatan mudik lebaran ini selain untuk bermaaf-maafan dengan kerabat juga untuk saling menjalin tali silaturahmi kembali yang mungkin sudah lama tidak lama terjalin. Kegiatan ini sebenarnya dapat dilakukan kapan saja, namun mumpung masih termasuk dalam rangka bulan Ramadhan kegiatannya pun biasanya dilakukan seminggu sebelum dan setelah dari jangka waktu bulan tersebut. Dampak positif yang dapat diambil dari bidang ekonomi adalah masuknya devisa dari luar negeri dalam jumlah yang cukup besar karena adanya TKI kita di luar negeri. Ditambah dengan makin meluasnya peredaran uang dari daerah perkotaan ke daerah pedesaan, sehingga dapat membuat desa menjadi lebih makmur. 

Adapun dampak negatif dari kegiatan ini dari segi keamanan, yaitu seperti meningkatnya resiko kecelakaan saat perjalanan dikarenakan volume kendaraan yang membludak hingga memenuhi jalan, terjadi kemacetan, dan membahayakan pemudik ketika berada di jalan yang rusak. Terdapat beberapa dampak negatif lainnya yang cukup signifikan, diantaranya adalah arus urbanisasi yang cukup besat setelah hari raya, angka kriminalitas yang meningkat, dan angka kecelakaan yang meningkat karena kurang berhati-hati di jalan saat mudik. Selain itu, dampak negatif dari bidang kesehatan adalah adanya tingginya angka penularan dan kematian masyarakat maupun tenaga kesehatan akibat wabah Covid-19 setelah hari-hari raya dan adanya libur panjang. Namun, larangan mudik lebaran yang dijalankan ini juga memberi dampak negatif khususnya bagi pelaku usaha dan pekerja dalam bidang transportasi umum darat yang terancam kehilangan mata pencaharian. 

  • Pro-Kontra Mudik di Kala Pandemi : 

Meskipun demikian, tampaknya pro dan kontra terhadap kebijakan mudik lebaran di masa pandemi Covid-19 ini tak terhindarkan. Secara umum, pandangan yang pro terhadap kebijakan mudik lebaran didasarkan pada alasan ekonomi. Lantas bagaimana kita memahami dan menyikapi polemik kebijakan mudik lebaran di masa pandemi corona ini dari perspektif transportasi? Pertama, jangan larut berkepanjangan dalam polemik kebijakan mudik. Kritik terhadap suatu kebijakan itu memang penting dan perlu senantiasa disuarakan. Apalagi proses lahirnya keputusan itu terkesan inkonsisten alias mencla-mencle. Namun, ketika pemerintah tetap bersikukuh pada keputusannya yang tetap mengizinkan mudik di masa pandemi corona ini, maka kita tak perlu larut dalam polemik berkepanjangan. Selanjutnya, marilah kita mulai lebih fokus untuk memikirkan upaya meminimalisir dampak dari implementasi kebijakan tersebut. Terutama penyebaran virus corona akibat mobilitas orang di saat mudik lebaran.

 Tingginya mobilitas penduduk di saat mudik. Tradisi mudik melibatkan mobilitas orang (social mobility) dalam jumlah yang sangat banyak. Berdasarkan data pada tahun-tahun sebelumnya, jumlah pemudik biasanya sekitar 20 juta orang yang melakukan pergerakan ke seluruh wilayah Indonesia. Angka tersebut tentu sangat fantastis untuk ukuran volume pergerakan lalu lintas yang menggunakan berbagai moda transportasi, baik angkutan pribadi maupun angkutan umum. Jika mudik dalam kondisi normal saja tak mudah dikendalikan, kita bisa bayangkan bagaimana mengendalikan pergerakan pemudik dalam jumlah yang sangat besar di masa pandemi covid-19. Katakanlah dengan kampanye dan himbauan yang masif, serta pemberian insentif bagi penduduk yang tidak mudik, lalu terjadi penurunan jumlah pemudik, misalnya hingga 50 persen. 

Pemerintah sebaiknya tidak perlu mengeluarkan kebijakan larangan mudik melainkan bisa dengan menggiatkan kampanye protokol kesehatan dan konsekuensi yang mesti ditanggung oleh masyarakat ketika memutuskan mudik lebaran. Pendekatan dengan cara kampanye persuasif akan lebih membuat masyarakat tersadar pentingya tak mudik dibandingkan dengan melarang secara terang-terangan. Adanya larangan, masyarakat justru akan berpikir untuk mengakali kebijakan tersebut, misalnya dengan memanfaatkan angkutan pelat hitam. Menteri Kesehatan (Menkes), Budi Gunadi Sadikin juga telah mengutarakan bahwa setiap kali liburan selalu ada peningkatan kasus antara 30-50% baik dari kasus terkonfirmasi positif maupun kasus aktif Covid-19. Bahkan dampak dari kenaikan kasus pada masa libur Natal dan tahun baru lalu, jumlah kasus aktif Covid-19 sampai saat ini masih terus meningkat. 

Tak ada jaminan pemudik terbebas dari Covid-19. Penyataan “Mudik Boleh Asal Tak Bawa Virus Corona” tampaknya tidak realistis. Mengingat 10 juta atau 20 juta orang pemudik merupakan jumlah yang sangat banyak. Protokol kesehatan wajib diberlakukan pada simpul-simpul transportasi seperti bandar udara, pelabuhan laut, pelabuhan penyeberangan, stasiun, terminal penumpang, halte bus, dan rest area di jalan tol. Hal ini penting karena pada simpul transportasi tersebut menjadi salah satu tempat berkerumunnya pemudik untuk meneruskan aktivitas perjalanan mudik ke kampung halaman. Mari wujudkan keamanan dalam mudik lebaran dengan memperhatikan protokol kesehatan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun