Mohon tunggu...
Nadilla Meylani
Nadilla Meylani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Seorang penggemar literatur yang gemar memperluas wawasan melalui membaca. Menyukai berbagai topik, mulai dari fiksi hingga kajian sosial, dengan semangat untuk memahami dunia lebih dalam lewat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Stunting dan Akses Pangan sebagai Tantangan Ketahanan Pangan di Aceh

6 Oktober 2024   19:00 Diperbarui: 6 Oktober 2024   19:01 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Grid Health - Grid.ID

Stunting masih menjadi isu serius di Provinsi Aceh. Menurut data SSGI, pada tahun 2022 prevalensi stunting di Provinsi Aceh sebesar 31,2%, menempatkan Provinsi Aceh sebagai angka stunting tertinggi kelima di Indonesia. Di berbagai wilayah kota Provinsi Aceh, seperti Kabupaten Aceh Selatan, angka stunting bahkan menyentuh 41,6%.

Hal ini jelas melampaui ambang batas dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sekitar 20%. Data ini menggambarkan masalah yang cukup serius, dimana penyebabnya tidak hanya tentang ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan gizi, tetapi juga akses pangan yang masih terbatas.

Akses pangan merupakan salah satu sub sistem ketahanan pangan yang menghubungkan antara ketersediaan pangan dengan komsumsi atau pemanfaatan pangan. Akses pangan dapat dikatakan baik jika semua anggota rumah tangga memiliki sumber daya yang cukup untuk mendapatkan pangan, ini mencakup aspek kuantitatif, kualitatif dan keragaman pangan.

Namun, di Aceh sendiri banyak keluarga yang masih kesulitan dalam memenuhi kriteria tersebut. Gizi anak-anak yang menderita stunting seringkali tidak seimbang, hal ini diakibatkan dari keterbatasan ekonomi dan ketidakpahaman mengenai pola makan sehat. Selain itu, kondisi sanitasi yang buruk dan terbatasnya akses air bersih serta rendahnya cakupan imunisasi juga menjadi penyebab tingginya angka stunting di Aceh.

Menurut World Food Programme (2009), akses pangan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu fisik, ekonomi, dan sosial. Infrastruktur distribusi pangan di Aceh masih belum memadai, terutama di daerah terpencil seperti Kecamatan Kluet Utara dan Samadua yang berada di Aceh Selatan, angka stunting di daerah tersebut masing-masing mencapai angka 41,6% dan 32,2%. Data tersebut menunjukkan bahwa ketersediaan pangan mungkin ada, tetapi akses fisik untuk mendapat pangan masih sangat terbatas.

Ada beberapa faktor penyebab akses fisik masih terbatas, seperti infrastruktur dan kondisi alam. Banyak jalanan rusak terutama akses jalan penghubung antara Kecamatan Kluet Utara menuju Kluet Tengah, kondisi jalan dipenuhi lubang-lubang besar dan diperarah akibat hujan. Hal tersebut juga berimbas pada transportasi umum yang terbatas. Curah hujan tinggi, banjir serta longsor menjadi penghalang terhadap akses fisik ketersediaan pangan di wilayah tersebut.

Faktor ekonomi ikut berperan besar dalam akses pangan. Angka kemiskinan dan pengangguran di Aceh cukup tinggi, bahkan pada tahun 2022 Aceh di tetapkan sebagai provinsi termiskin di Sumatera atau urutan 6 secara nasional versi Badan Pusat Statistik, hal ini dipandang sebagai sebuah ironi di tengah jumlah APBA mencapai Rp 17,3 triliun. Akibatnya banyak keluarga di Aceh yang mengalami kesulitan ekonomi, sehingga daya beli rendah dan tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan yang seimbang dan cukup secara kuantitatif maupun kualitatif.

Ketimpangan ekonomi antar wilayah di Aceh turut memperburuk akses pangan, terutama di daerah dengan Ketimpangan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang rendah. Kesulitan juga semakin terasa pasca-pandemi, karena berimbas pada cakupan angka imunisasi turun akibat dari ketidakpercayaan masyarakat karena pengaruh informasi bohong atau hoaks tentang vaksinasi Covid-19. Hal ini tentu memengaruhi tumbuh kembang anak dan meningkatkan kasus stunting di Aceh.

Dari segi faktor sosial seperti pendidikan dan pola asuh, memengaruhi dalam akses pangan. Angka pernikahan dini di Aceh sangat tinggi dan telah terbukti menjadi salah satu penyebab tingginya prevelansi stunting. Bahkan, pada tahun 2024 jumlah pernikahan anak dibawah 18 tahun mencapai 4.319 orang, ini dipengaruhi oleh faktor pendidikan dan faktor budaya seperti di Kelurahan Bonto Duri.

Orang tua yang masih muda cenderung belum memiliki pengetahuan yang cukup untuk memberikan pola asuh yang benar, dan rendahnya tingkat pendidikan bagi orang tua mengakibatkan ketidakpahaman tentang pentingnya gizi seimbang untuk anak-anak. Faktor lain yang bisa menyebabkan stunting juga karena waktu kelahiran yang terlalu dekat, melahirkan terlalu tua, dan terlalu banyak anak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun