Mohon tunggu...
Nadia Wahyu Lurinda
Nadia Wahyu Lurinda Mohon Tunggu... Lainnya - Pengajar lembaga pendidikan non formal

Penikmat karya sastra yang menyukai topik politik, leadership, romance dan pengembangan diri.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hati yang Berusaha Pulih Sendiri

21 Agustus 2024   09:02 Diperbarui: 21 Agustus 2024   09:08 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi terasa berbeda saat Raya membaca pesan whatsap dari nama yang sudah lama terlupa. “Assalamualaikum, kapan pulang ke rumah?”, pesan yang menimbulkan pertanyaan dalam hati yang diiringi degup jantung, semakin cepat. Tak begitu jelas bagaimana pesan itu dibalas, namun raut wajah berubah menjadi kosong, pikiran menampilkan kisah-kisah usang yang sudah lama dibenamkan pada masa lalu. 

Undangan pernikahan hendak dikirimkan oleh orang yang semasa remaja mengukir cerita, kisah yang butuh waktu lima tahun untuk dibunuh.  Raya tiba-tiba terhuyung jatuh di kursi, menyadari jemarinya bergetar dan air mata yang ternyata sudah terjatuh dari tadi. Nama pengantin perempuan yang ternyata adalah nama saat kisah mereka mulai retak dan tak terselamatkan. “Lalu apa artinya waktu itu aku berharap? 

Hampir aku menanti sepanjang sisa waktuku”. Raya marah pada diri sendiri. Ia mengingat kebodohan yang telah dia lakukan. Sepenggal cerita itu dengan hikmat didengarkan oleh sahabat Raya sekarang, Ayu. 

Ayu mengenal Raya sebagai figur wanita dewasa yang mandiri dan kuat, seketika itu menatap sahabatnya dengan sedikit iba namun beribu sayang. “Oke, itu kan dah lama berlalu. Buktinya kamu sedang di sini sekarang, utuh dan baik-baik saja. Good job, kamu keren dah melalui semua itu”, Ayu memecah keheningan lalu meneguk milkshake strawberry yang sempat terabaikan karena kisah tadi. Sembari menikmati camilan yang mereka pesan, Ayu mengingatkan Raya atas segala pencapaiannya sekarang. 

Raya bisa dibilang sungguh baik dalam menjalani hidupnya, karir, pertemanan dan bahkan pendidikan. Ayu mengira, dengan begitu Raya jadi semakin percaya diri. Sayangnya raut wajahnya berubah saat menyadari Raya menghela napas panjang dan melanjutkan ceritanya. “Itulah, mungkin ini adalah ujian dari Tuhan. Alhamdulillah, Allah mengizinkan semuanya lancar, kecuali satu hal. Percintaan.”

Ingatan Raya tiba-tiba masuk pada masa empat tahun silam. Saat dia bertemu sesorang yang mampu memperlakukannya sebagaiamana dia ingin diperlakukan. Layaknya wanita yang sedang bersama lelakinya, Raya begitu nyaman, tenang, dan merasa dilindungi. Hingga suatu malam setelah sebuah kejadian tidak diinginkan. 

Pertengkaran sering terjadi selama kurang-lebih satu minggu. Tidak jelas penyebabnya, namun Raya merasa takut kehilangan lelakinya itu. Pesan terus dikirimkan, pertanyaan, perhatian dan upaya-upaya untuk bertemu untuk berbincang dilakukan secara (mungkin) berlebihan. “Aku nggak nyaman sama sikapmu. Aku pengen kita kayak awal-awal aja. Kamu berubah, aku nyaman dengan kamu yang dulu. 

Terserah kamu mau bilang aku jahat tapi aku gak bisa melanjutkan hubungan denganmu yang seperti ini”, lagi-lagi pesan whatsapp yang membuat malam Raya tidak ada rasanya. Menangis, meminta maaf, namun tidak juga memperbaiki hubungan. Bukan laki-laki seperti ini yang dia harapkan, namun kenapa hati tidak bisa membiarkan dia pergi. 

“Kadang, kita membayangkan masa depan yang terlalu pasti dengan orang yang tidak pasti. Itu sepenuhnya salahku sendiri, padahal aku cuma berusaha menyatakan impian”, ungkap Raya dengan tetesan air mata. Sedikit air mata, tapi garis wajah nanar jelas terbaca. “Impian apa?” 

Ayu berucap lirih, dia ingin membantu sahabatnya agar menjadi lega dengan bercerita. “Aku ingin menjadi layak dicintai seorang laki-laki, laki-laki yang menjadi imam untuk hidupku, bersedia datang kepada orang tuaku untuk memintaku. Itu hal yang paling diharapkan orang tuaku saat ini”, kali ini air mata keluar tidak sedikit. Raya sesenggukan menundukkan kepala sambil terdengar sedang mengatur napasnya. 

Usia Raya memang sudah umum untuk berumah tangga. Namun, belum pernah seorang laki-laki pun mendekatinya untuk hubungan yang serius. Mendekati kondisi depresi.  Itu adalah gambaran kondisi mental Raya saat ini. Dia bisa terlihat sangat baik-baik saja diantara orang-orang, sesaat kemudian jika ada pemicu maka dia bisa berlari ke ruangan sepi sendiri, menagis sejadi-jadinya tanpa suara. 

Kemudian, dalam hitungan menit, mencuci muka dan kembali terlihat baik-baik saja. Berulang-ulang, mata sembab tak dapat disembunyikan, namun orang-orang pun sangat percaya bahwa dia baik-baik saja. Mahir menata ekspresi, itu keahlian utamanya.

Ayu dan Raya bertemu sore itu memang dengan tujuan bercerita. Ayu mendengarkan dan Raya bercerita tentang upayanya bertahan. Raya sedang berusaha memulihkan hati yang patah untuk ketiga kalinya, hal yang sama kembali terulang. Patah kali ini terasa setelah kemarin malam Raya berbicara dengan Pandu. 

Pandu adalah laki-laki yang dia kagumi selama tiga tahun terakhir. Mereka bekerja sama dalam sebuah project, saling memahami, membantu, saling bercerita dan menerima. Bagi Raya, Pandu adalah orang yang dia pikir akan bersamanya di masa depan. Begitu pula bagi Pandu, Raya juga dia bayangkan bersamanya di masa depan, dalam setiap pekerjaan. 

Ya, bayangan yang sama namun beda rasa. Kenyataan itu Raya dapatkan pada malam itu, langsung dari Pandu. Setelah bertahan, dan menebak-nebak apa yang terjadi diantara mereka, Raya memberanikan diri untuk memperjelas semuanya. Benar, semuanya menjadi jelas sekaligus menjadi pudar bagi perasaan Raya yang terlanjur dalam untuk Pandu.

Sejak sebelas tahun yang lalu, Raya bertemu dengan tiga laki-laki yang sempat menjadi cerita cinta. Awal yang berbeda-beda namun akhir yang kurang lebih sama. Seperti sudah terlatih, Raya sangat tahu apa yang harus dia lakukan. Menangis, menyalahkan diri, bercerita, lalu melanjutkan hidup seolah hati dan pikirannya baik-baik saja. 

Raya meyakini, pura-pura akan menjadi biasa kemudian nyata. Lagipula, tidak ada bedanya, bukankah manusia selalu memang bermain peran? Kali ini Raya kembali bermain peran yang menjadi keahliannya, pulih dari patah hati, mencoba utuh lalu sembuh, meski sungguh kacau batin dan perasaanyya. Raya kembali melanjutkan perannya sebagai wanita mandiri, yang menjalani hidup dengan caranya sendiri, menata ulang semuanya dengan caranya sendiri. Segalanya, sendiri, dengan caranya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun