Mohon tunggu...
Nadia Saragih
Nadia Saragih Mohon Tunggu... Akuntan - Pelajar

Pelajar Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sisi Lain dari Pemimpin

6 Mei 2015   16:12 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:19 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menjadi pemimpin adalah sebuah tanggung jawab yang berat. Pemimpin harus menjaga anggota kelompoknya agar tetap utuh, memastikan peraturan kelompok dapat berjalan dengan semestinya, dan yang lainnya. Meskipun pemimpin mempunyai tim yang membantu meringankan pekerjaannya, tetapi tetap saja pemimpin punya hak untuk menyetujui atau menolak kebijakan yang dibuat oleh timnya. Selain itu, seorang pemimpin juga akan menjaga citra baik yang ada dalam dirinya supaya masyarakat melihat dirinya sebagai figur yang baik. Padahal bekerja seperti ini sebenarnya dapat juga berakibat buruk pada psikis sang pemimpin.

Jika digambarkan dalam piramida, sang pemimpin berada di posisi paling puncak, di paling atas piramida. Ini dapat terjadi karena tentu saja pemimpin mau terlihat hebat dengan segala kelebihan yang ia miliki dan ia terus melakukan banyak hal supaya membuat dirinya lebih baik daripada orang lain. Pada posisi ini, sang pemimpin dapat terasa begitu hebat dan tinggi, sehingga orang lain yang melihat akan merasa bahwa sang pemimpin adalah orang yang yang tidak dapat disaingi, selain itu, mereka juga akan melihat bahwa sang pemimpin pasti memiliki hidup yang bahagia karena punya posisi yang bagus. Padahal sebenarnya tidak seperti ini. Justru, kabnyakan pemimpin yang menempati posisi ini ada dalam kondisi yang perlu diselamatkan. Kebanyakan pemimpin yang telah sampai pada posisi ini akan hidup dalam kesendirian dan jika terus dibiarkan maka sang pemimpin ini akan terus tenggelam dalam kesendirian karena banyak orang yang tidak sebanding dengan seang pemimpin.  Kesendirian yang dialami oleh sang pemimpin bias saja akan berdampak lebih buruk lagi, yaitu ketika sang pemimpin menghidupi kesendiriannya dengan bersikap angkuh, terus menyendiri, dan tenggelam dalam kesedihan dan kesuraman. Dari artikel Goenawan Muhammad yang berjudul “Pemimpin” yang diterbitkan oleh Tempo tanggal 23 Februari 2015, ada sebuah solusi yang dapat menyelamatkan sang pemimpin dari kesuramannya, yaitu dengan memulai percakapan.

Pemimpin yang suram tentu saja tidak membagi jalan pikirannya yang kompleks dengan orang-orang, oleh karena itu, dibutuhkan seorang penyelamat yang dapat mendengarkan keluh kesah, mengerti pikiran-pikiran rumitnya, dan bias diajak berdiskusi dengan sang pemimpin. Dengan cara-cara seperti diatas, sang penyelamat dapat menghentikan sang pemimpin yang terus tenggelam dalam kesendiriannya dan mencegah sang pemimpin melakukan hal-hal yang tidak bermoral.

Tentu saja tidak semua pemimpin adalah orang yang suram seperti yang digambarkan, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa peristiwa tidak bermoral sering terjadi karena sang pemimpin tenggelam dan menghidupi kesendirian dan keangkuhannya. Truman adalah contohnya. Pada saat Perang Dunia ke dua menjatuhkan bom atom ke Jepang walaupun sebenarnya hal itu tidak perlu dilakukan karena Jepang sudah nyaris menyerah, tetapi karena keangkuhannya, ketakutan terus membayangi warga Jepang dan perlombaan senjata tidak akan pernah berhenti sampai sekarang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun