Sayaberangkat ke dan pulang dari kampus Universitas Airlangga naik angkot. Pertama dari Wiyung ke terminal Joyoboyolalu sambung ke Unair. Perlu 1,5 jam untuk berangkat, dan 1,5 jam lagi untuk perjalanan pulang.
Rutinitas ini mengharuskan saya terbiasa dengan terminal Joyoboyo. Namanya terminal angkutan, Joyoboyo adalah tempat berkumpulberbagai macam manusia dengan masing-masing karakternya; mulai dari sopir, pedagang menetap, pedagang asongan, pengemis, petugas keamanan dan pengamen.Pengamen adalah unsur terminal yang paling menarik hati saya. Biasanya mereka hadir dalam grup yang terdiri dari minimal dua orang (jarang yang sendiri). Mereka membawa alat musik, rata-rata gitar dan gendang seadanya, kadang pula harmonika. Sebelum memulai aksinya, salah satu dari mereka terlebih dahulu menyapa penumpang angkot yang sedang menunggu keberangkatan. Kira-kira seperti ini: ”Permisi, bapak ibu, sambil menunggu, kami akan menghibur Anda”. Setelah itu mereka mulai bernyanyi selama sekitar 2 menit sebelum akhirnya selesai dan mengucapkan kalimat ’perpisahan’ begitu sopir menstart mobil angkot. Kalimat perpisahan itu kurang lebih seperti ini : ”Yak, karena sudah mau berangkatsekian dari kami, terima kasih”. Ini mereka lakukan sambil menyodorkan gelas plastik kosong mantan kemasan minuman mineral untuk melihat seberapa dihargai nyanyian mereka barusan.
[caption id="attachment_130536" align="alignleft" width="240" caption="pengamen terminal (foto: bandunginstyle.blogspot.com)"][/caption] Bagi saya, jika para pengamen menampilkan lagu yang menarik dengan kualitas suara yang bagus, saya akan dengan senang hati memberikan sebagian uang saya. Tetapi sayangnya, sejauh yang saya amati, para pengamen ini sepertinya kurang kreatifitas untuk menampilkan lagu di depan penumpang. Mereka dengan sekenanya saja menyanyi dan memainkan gitar serta gendang. Padahal, jika saya amati, pengamen menampilan lagu dan musik menarik akan mendapat lebih banyak uang.
Saya punya satu grup pengamen favorit saya. Kenapa saya memfavoritkan mereka? Alasannya sederhana. Pertama, lagu yang mereka nyanyikan bukanlah lagu yang sudah terlalu umum seperti lagu-lagu dari Ungu, ST12, dan lainnya, tetapi mereka menyanyikan lagu yang menurut saya populer di kalangan mereka sendiri, namun tetap layak diperdengarkan kepada penumpang. Sangat besar kemungkinan mereka menciptakan sendiri lagu itu. Saya yakin seluruh penumpang di angkot yang sedang saya naiki saat itu (angkot G) belum pernah mendengar lagu tersebut, karena perhatian mereka pada penampilan para pengamen itu cukup besar. Begitu pula dengan apresiasinya yang ditunjukkan dengan jumlah uang jasa sekitar Rp 500 sampai Rp 1.000.
Kedua, mereka menampilkan lagu tersebut dengan niat yang tulus dan bersungguh-sungguh, saya bisa memastikannya lewat ekspresi wajah mereka. Suara mereka cukup lantang sehingga dapat menarik perhatian penumpang dengan kualitas vokal yang pas dengan lagu yang dibawakan. Tema lagu mereka adalah tentang kehidupan masyarakat bawah yang berjuang untuk bertahan hidup dan survive. Cocok sekali, bukan? Inilah sisi istimewa mereka yang tidak dipunyai grup pengamen lainnya. Pertama kali saya bertemu mereka adalah saat saya SMP, lalu sekitar dua hari yang lalu saya bertemu pengamen yang sama.
Pesan yang dapat dipetik dari pengalaman saya ini adalah dalam bahwa hal sekecil apapun,
[caption id="attachment_130537" align="alignright" width="270" caption="harmonika sebagai alat musik tambahan (foto: bandunginstyle.blogspot.com)"][/caption] termasuk mengharap recehan lewat amen, kita harus tetap bersungguh-sungguh. Apapun ’derajad’ kita, bukan berarti kita harus melakukan rutinitas kita dengan setengah hati lantaran beranggapan kita kurang dihargai orang lain. Kita akan selalu dihargai jika kita mau tampil sebaik mungkin, mengerjakan apapun dengan sepenuh hati dan tidak lupa berinovasi, seperti yang dilakukan grup pengamen favorit saya itu. Saya yakin kelak mereka akan jadi seperti Klantink, pemenang Indonesia Mencari Bakat yang berasal dari komunitas pengamen terminal Joyoboyo.
Marilah kita mulai menghargai jerih payah para pengamen, terutama pengamen yang bersungguh-sungguh dan committed mengais recehan dengan berusaha maksimal. Bagi saya, mengamen itu merupakan salah satu bagian ’katup pengaman’ sosial; yang memberi mereka peluang untuk melakukan hal positif. Bandingkan dengan mereka yang terpaksa harus malak atau menjadi preman terminal, yang notabene adalah ’public enemy’ yang berpotensi direndahkan, dilecehkan, dan menuai tuntutan hukum.
Salam Kompasiana.
♡Ną∂ı∆ SЯ♡
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H