Mohon tunggu...
Nadia Seassi Roesdiono
Nadia Seassi Roesdiono Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Bachelor of English Literature, majoring in Cultural Studies. 23. Growing up. Learning. Understanding.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Panggilan 'Papa-Mama', Tidak Islami?

19 Agustus 2011   09:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:38 5972
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Biasanya saya tidak pernah secara intensif nonton sinema elektronik (sinetron) di televisi karena minimnya kualitas tayangan tersebutut. Tetapidi bulan Ramadhan, ada tayangan khusus, yakni sinetron Para Pencari Tuhan yang ditayangkan setiap pukul 03.00 dan 18.00 WIB di salah satu stasiun televisi swasta.

Ini sebetulnya sinetron dakwah, yang dikemas indah dengan skenario cerdas, lucu dan dengan contoh-contoh yang membumi, dan jauh dari kesan mengguruui. Setiap adegan rata-rata bermuasal dari ajaran-ajaran Islam yang ingin disampaikan.Salah satu contoh adalah episode di mana tokoh Juki mengkritisipanggilan nama suami-istri, atau cara panggil satu sama lain.

Selama ini kita kenal banyak panggilan untuk suami-istri, seperti: mama-papa, ayah-bunda, bapak-ibu, umi-abi, mami-papi, emak-abah, mas-dik, bahkan mimi-pipi dan panggilan-panggilan lain. Kelihatannya memang sangat umum dan wajar, namun ternyata ajaran Islam berkata lain.

“…panggilan papa-mama atau yang sejenisnya itu sebenarnya tidak Islami karena Nabi Muhammad SAW mencontohkan, beliau memanggil istri-istrinya dengan namanya masing-masing, seperti Aisyah, bukannya dengan nama lain. Nama istri-istrinya pun tidak mengikuti nama Rasulullah, melainkan namanya sendiri, misalnya Siti Aisyah binti Abu Bakar,” begitulah kurang lebih penjelasan Juki, salah satu tokoh Para Pencari Tuhan kepada ibu dan ayahnya dalam suatu adegan. Dari situ kita bisa pahami bahwa panggilan-panggilan di kalangan suami-istri tersebut bukan budaya Islam, melainkan lebih ke sebutan karena perkembangan peran-peran di dalam keluarga.

[caption id="attachment_125693" align="alignnone" width="400" caption="foto : google.com"][/caption]

Nama istri yang mengikuti nama suami saya yakin adalah pengaruh budaya barat yang mengacu kepada garis patrilokal (garis ayah). Jika Bu Aryani menjadi istri Pak Mahmud, maka di dalam kehidupan sosial dan budaya (di kampung, di kelompok arisan, dikalangan kantor suami) ia akan dikenal sebagai Bu Mahmud. Budaya Islam tidak kenal sebutan ‘Bu Mahmud’ seperti ini, yang menyiratkan bahwa Islam sudah menerapkan kesetaraan gender sejak lama.

Salah kaprah sejenis juga terjadi di kalangan muda. Sekarang bahkan di antara sepasang kekasih, sebutan papa-mama sudah mulai dipakai. Padahal, sebutan ini biasanya baru dipakai mengikuti kehadiran di buah hati. Remaja pacaran bangga dengan panggilan seperti itu dan bangga pula mempertontonkannya.

Bahwa ajaran Islam dalam hal ini sungguh realistis dan aktual bisa saya rasakan sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Saya punya tetangga, yang selama ini saya kenal dengan sebutan ‘Bu Gunadi’. Namun, sejak dua bulan lalu, ia tak menoleh bila dipanggil ‘Bu Gunadi’, karena ia sudah cerai dari suaminya yang bernama ‘Gunadi’. Sekarang ia lebih suka dipanggil dengan ‘Bu Fitria’ namanya sendiri, atau mungkin dengan nama suami barunya kalau ia berniat menikah lagi.

Salam Kompasiana. ♡ Ną∂ı∆ SЯ ♡

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun