Mohon tunggu...
Nadia Seassi Roesdiono
Nadia Seassi Roesdiono Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Bachelor of English Literature, majoring in Cultural Studies. 23. Growing up. Learning. Understanding.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[KCV] Pesawat Kertas Terbang Malam

14 Februari 2012   00:55 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:41 360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1329180814633799755

No 207 : Nadia Seassi Roesdiono dan Dianti Lactea

Sama sekali bukan ide yang baik menyewa ojek untuk menuju desa Kulir di pegunungan Tengger pada pukul 10 malam begini. Namun karena rindu tak tertahan pada ibuku, harus kubujuk tukang ojek. Dan David, teman dekat , bule Australia yang selama ini menempel aku, tak henti menyemangati.

“Sudahmalam, Mbak. Jalanan ke Kulir terjal dan berbahaya. Kami tidak berani,” ujar dua tukang ojek terakhir di desa Ngadisari.

“Berapa lama perjalanan ke sana? Berapa ongkosnya?” tanyaku.

“Di siang hari 1 jam. Malam beginilebih lama. Ongkos normal 25 ribu”

“200 ribu untuk dua ojek. Berani, ndak?” tantangku.

Dua tukang ojek itu berembug sebentar,mereka setuju.

Tukang ojek itu tak bohong. Jalanan ini berbatuan, terjal dan menembus malam gelap berkabut, berdinding pohon-pohon pinus di kanan-kiri. Tak ada yang berubah dari 10 tahun lalu ketika aku meninggalkan desa Kulir.

Hampir dua jam perjalanan itu ditempuh. Dingin makin menusuk ketika tukang ojek menurunkan kami di sebuah pos jaga.

“Kami beraninya cuma sampai di sini, Mbak!” kata tukang ojek pertama. Aku tidak protes.Sisa perjalanan mungkin terlalu berbahaya. Lagian, aku perlu waktu untuk menenangkan agar berani bertemu ibu. Selain itu, yang kudengar, ibu pindah-pindah rumah kontrakan. Jadi perlu informasi tambahan di mana ibuku tinggal kini.

Hati-hati aku menurunkan seikat besar bunga sedap malam yang tadi kubeli di pasar Sukapura. Ibuku suka sekali bunga yang David sebut sebagai tuberose itu. Ibuku biasa menempatkan ikatan bunga itu pada sebuah toples kaca yang biasa dipakai untuk mewadahi krupuk rengginang.

“Sudah sampai?” tanya David dalam bahasa Inggris.

“Mungkin! Aku belum tahu di mana ibuku tinggal,” jawabku. “Kita tanya orang-orang di pos jaga itu”

Aku melangkah bersama David ke pos jaga itu. Tiga lelaki berselimut kain dekil dan kepala berbalut balaklava di pos jaga terus menatap kami dari detik pertama kami turun dari ojek.

“Permisi. Dingin sekali. Boleh ikut berdiang?” aku menyapa tiga lelaki itu.

“Silakan, mbak. Dari Surabaya ya? Bawa turis? Tak biasanya turis ke sini. Biasanya ke Bromo,” kata salah seorang itu.

“Saya orang sini, lama merantau di kota,” kataku, menghangatkan telapak tangan.

David mengeluarkan bungkus rokok dan menawari orang-orang itu.

Aku siap menanyakan alamat ibuku ketika tiba-tiba dalam gelap berkabut aku melihat sebuah pesawat terbang kertas terbang lurus ke arah kami. Pesawat terbang kertas itu meliuk sebentar di antara batang-batang pinus di dekat pos ronda dan jatuh luruh tepat di pangkuanku yang tengah berjongkok di depan perapian.

[caption id="attachment_160988" align="aligncenter" width="500" caption="ilustrasi : churchfun.com"][/caption]

“Pesawat kertas itu berasal dari ventilasi rumah itu,” salah satu dari lelaki itu menunjuk sebuah rumah sekitar 50 meter dari pos ronda. Aku menatap rumah yang dimaksud. Ventilasi di atas jendela terlihat benderang, tapi sebentar kemudian gelap, tanda lampu dimatikan.

Aku menimang pesawat terbang kertas itu. Pikiranku melayang ke seorang warga desa ini yang kutahu betul suka membuat dan menerbangkan pesawat kertas.

“Pesawat ini mengingatkan aku pada Girun, seorang banci dengan nama Lilik. Lilik bekerja pada sebuah grup ludruk, berperan sebagai perempuan. Meski dia laki-laki, dalam pandanganku dia adalah perempuan tulen, dengan perasaan dan kasih sayang seorang perempuan. Namanya lumayan harum di kalangan penggemarseni ludruk. Dengan profesi itu ia mencari nafkah,” kataku pada David.

“Namun hidupnya tak selalu indah. Di siang hari ia harus menjalani kehidupan sosial yang sulit sebagai lelaki. Aku sering melihat ia diledek para lelaki di ketika harus mandi di sungai bagian lelaki; karena para perempuan tak mau terima Girun mandi di sungai bagian perempuan. Ia juga sering tak punya terlalu banyak uang sehingga harus ngutang sana-sini di warung. Kalau ludruk tak memberinya banyak penghasilan, ia biasa menjadi penari ledhek atau sinden. Meski selalu tak punya banyak uang,ia rajin menabung. Karena harus menabung, ia hanya bisa belanjakan limaratus rupiah buat beli kopi bubuk dan gula eceran di warung bu Minah. Harusnya orang beli paling sedikit sotu ons gula dan satu ons bubuk kopi, total Rp 3.000. Untungnya bu Minah baik hati, memberi empat sendok gula dan empat sendok bubuk kopi untuk uang limaratus rupiah Girun, cukup buat ngopi dua kali. Gula dan kopi eceran itu dibungkus kertas bekas. Ngopi sebagai Girun di pagi hari dan sebagai Lilik di sore hari merupakan kenikmatan tiada tara baginya. Girun atau Lilik biasanya meluruskan kertas bungkus gula—kopi, kemudian membentuknya menjadi pesawat terbang kertas. Lipatannya sungguh rapi dan pesawat terbangnya biasanya terbang indah. Aku suka sekali melihat pesawat kertasitu terbang di antara dahan-dahan pinus,” aku menatap David sesaat. “Aku sungguh ingin tahu keadaannya sekarang”

“Sangat menarik, very interesting,” ujar David. “Tapi mungkin kini saatnya kau cerita soal ibumu. Tak banyak yang kutahu tentang perempuan yang kau minta aku temui di desa ini,” tambah David.

Aku menarik nafas panjang. Sungguh sedari tadi aku ingin sekali menghindari pertanyaan ini sampai David benar-benar bertemu ibuku langsung.

“Hal yang paling ingin kukatakan tentang ibukuadalah bahwa sebagai putri satu-satunya, aku berhutang terlalu banyak pada beliau. Boleh pula kubilang aku tak bakal bisa menebus dosa pada ibuku, yang telah bekerja membanting tulang sendiri dalam kehidupan serba sulit di desa ini dan bekerja untuk menghidupiku, yang tak pernah kuberi kabar selama sepuluh tahun terakhir. Berkat ibuku aku bisa bersekolah di SDdesa ini, kemudian SMP dan SMA di Sukapura. Sekolah itu pula yang mengantar aku mendapatkan beasiswa kuliah di Surabaya dan Australia, dan akhirnya dapat pekerjaan terhormat di Jakarta” kataku.

“Supaya bebanmu lebih ringan, katakan apa yang paling ingin kau lakukan?” ujar David.

Aku tak langsung bisa bicara. Kutatap mata David.

“Aku ingin memilik keberanian untuk bersimpuh di kakinya dan memohon maaf, David. Selama ini aku tak pernah bisa membaca tanda-tanda keajaiban ibuku, yang telah tegar bertahan di jalan bergeronjal untuk mewujudkan aku yang sekarang ini. Selama hidup, aku tak pernah berterimakasih pada beliau, tak pernah mengakuinya sebagai orangtua hebat dan tak pernah merasa bangga memiliki ibu seperti dia. Padahal, ia sosok paling mulia dalam hidupku, mungkin jauh lebih mulai daripada ibu-ibu lain yang pernah ada di desa ini,” aku tercenung sesaat. David mengusap rambutku yang baru kubuka dari balutan balaklava.

“Itukah sebabnya kau lebih suka berhenti sesaat di pos ronda ini dan tak segera ingin beranjak mencari tahu di mana ibumu tinggal?” tanya David. Aku mengangguk perlahan, dan menatap pesawat kertas itu.

“Pak, rumah asal pesawat kertasini diterbangkan, rumah siapa?” tanyaku pada salah satu lelaki di pos jaga.

“Rumah Girun alias Lilik, banci tua itu. Orang tua susah, tak punya kerjaan, mana mau orang memperkerjakan dia. Kerja di ladang saja ia tak diterima karena tak bisa. Memangnya kenapa, mbak?”

“Benar dugaanku; ternyata ia masih suka menerbangkan pesawat itu,” kataku tak menimpali pertanyaan orang itu.

David menatapku. “C’mon, Sita, it’s getting late. Kita harus cari rumah ibumu. Tak kau rasakan kembang sedap malam itu mulai merebak mewangi? Tidakkah kau ingin mempersembahkan bunga itu, saat ini, ketika jam sudah merangkak ke tanggal 14 Februari, pada hari kasih sayang? Soal banci tua itu,Lain waktu kita bisa tengok dia kalau dia juga bagian dari nostalgia masa kecilmu”

Aku menatap pesawat kertas itu berlama-lama. Ini membuat David makin yakin aku mengulur-ulur waktu dengan membahas banci tua dan pesawat itu.

“Lihat, ada tulisan di kertas ini. Ini tak biasanya. Biasanya banci itu menggunakan kertas bekas bungkus kopi. Kali ini ia pakai kertas bersih hanya dengan kata-kata yang ia mungkin tulis,” aku menebar kertas itu. Kubaca tulisan itu lewat remang nyala perapian.

Mengunggumu rasanya makin musykil. Kuterbangkan pesawat terakhir ini, berharap sampai di hatimu,” aku menerjemahkannya untuk David.

“Siapa kira-kira yang ia tuju?” David bertanya. Dalam hati aku tahu ia curiga jangan-jangan pesawat kertas itu diterbangkan si banci buat ibuku. Aku tahu David mulai ambil kesimpulan bahwa hal yang menyesakkan dadaku adalah fakta bahwa banci itu mulai jadi lelaki tulen dan jatuh cinta pada ibuku yang selama ini tinggal sendiri.

“Aku tahu yang ia tuju, Dave,” kataku. “Aku harus menemui banci itu sekarang,” kataku, meraih ikat besar bunga sedap malam, dan melangkah menuju rumah ke asal pesawat kertas itu diterbangkan.

“Sita!” panggil David. Aku tak menghiraukannya. Kuketuk langsung pintu rumah Girun atau Lilik. Tak ada jawaban, tidak juga ada bias lampu di bingkai jendela. Lama aku mengetuk, dibantu orang-orang dari pos jaga.

“Ini aneh! Sudah setengah jam kita mengetuk. Tak ada jawaban. Padahal aku yakin Girun ada di dalam,” kata salah satu orang. Tiga orang ini kemudian memutuskan untuk mendobrak pintu rumah, dan langsung mencari Girun di kamarnya.

Aku terpekik! David terpana. Tiga lelaki itu menutup mulut. Girun tergantung kaku dengan leher terikat tali rami di kusen pintu kamar. Aku mendekap kaki Girun alias Lilik dan mulai tersedu-sedu.

Sejam kemudian aparat desa datang berserta anggota polisi warga desa. Mayat Girun diturunkan dari gantungan. David heran melihatku tak mampu mengendalikan diri. Jasad Girun dilentangkan di tempat tidur. Aku menubruknya dan merebahkan ikatan bunga sedap malam di samping Lilik. Kini aku tahu pesawat kertas itu diterbangkan sesaat sebelum ibuku menggantung diri.

“Ibu, maafkan aku. Maafkan aku! Pesawat kertasmu telah sampai padaku. Kenapa kau tinggalkan aku? Ibu!!”

David berdiri mematung. Salah satu orang dari staf kelurahan, yang paling tua, menjelaskan pada David dalam bahasa Indonesia. “Mbak Sita ini dulu anak pungut yang dibesarkan oleh Girun alias Lilik sejak bayi. Orangtua Mbak Sita sendiri entah kemana setelah meninggalkan bayi Sita di teras rumah Girun. Banci inilah yang membesarkan, mendidik, dan menyayangi Sita seperti kasih sayang ibu terhadap anaknya. Girun memang laki-laki, tapi ia memiliki hati seorang ibu. Saya yakin ia akan senang melihat Mbak Sita membawakannya bunga sedap malam, kala u saja Mbak Sita tidak terlambat beberapa menit”

David tak paham sedikitpun kata-kata orang itu. Tapi aku paham, sepaham-pahamnya! Girun, Lilik, Ibuku, tak sempat menghirup segarnya aroma sedap malam yang sengaja kubawakan dengan penyesalan sepenuh hati di hari kasaih sayang ini.

Catatan :

Cerita ditulis oleh Nadia Seassi Roesdiono, diilhami oleh sosok nyata yang pernah dikenal tante Dianti Lactea di desa kelahirannya di kawasan Gunung Bromo.

Untuk membaca karya peserta lainnya, silahkan menuju akun http://www.kompasiana.com/androgini

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun