Selamat malam Kompasianer!
Sudah berapa lama ya sejak artikel terakhir saya di Kompasiana ini? Hehehe, maaf, saya terpaksa menghilang untuk beberapa saat karena perkuliahan saya yang semakin padat, apalagi di semester lima yang katanya paling berat ini.
Well, saat ini masih hari Sabtu. Apa yang ada di benak Anda ketika mendengar hari Sabtu? Tidak lain tidak bukan adalah liburan atau malam mingguan.
Kegiatan yang dinamakan malam mingguan atau yang biasa disebut satnite (Saturday nite) ini memang sangat populer, terutama di kalangan remaja. Hari Sabtu sudah otomatis diasosiasikan pada kegiatan keluar rumah untuk menyegarkan pikiran bersama pasangan atau keluarga. Ditambah lagi, baru-baru ini di kalangan remaja kosakata yang muncul setiap Sabtu malam selain satnite adalah jomblo. Jika saya amati di Twitter, sudah banyak tweet yang mengatakan “Mblo, malem ini ke mana?”Kata ‘mblo’ di sini adalah panggilan singkat untuk remaja yang tidak mempunyai pasangan alias para jomblo. Masih banyak lagi kata jomblo yang keluar di timeline Twitter dan sekarang menjadi tren setiap Sabtu malam.
Tren ini membuat saya bertanya-tanya karena ada sesuatu yang terasa aneh. Kenapa jomblo selalu direndahkan setiap Sabtu malam? Haruskah kita merendahkan para jomblo setiap Sabtu malam? Apa gunanya?
Saya menggunakan kata ‘merendahkan’ di sini karena saya telah mengamati tweet-tweet yang bermunculan di timeline Twitter yang sebagian besar mencemooh dan menghina para jomblo, baik secara langsung atau tidak langsung. Kalimat-kalimat seperti inilah yang membuat saya tercengang:
“Yang jomblo, selamat menikmati waktu sendiri di rumah :’)”
“Pacaran: sms-an/telpon | LDR: Skype-an | Jomblo: nge-scroll timeline tiap menit”
“Mblo, udah mandi belom? Walopun gak kemana-mana jangan lupa mandi loh”
Sebenarnya apa sih tujuan dari ungkapan-ungkapan yang seperti itu? Sudah cukup lama saya memikirkan pertanyaan ini, tapi belum ada jawaban pantas yang bisa saya temukan. Di sini saya mendeteksi adanya penurunan status sosial dari para jomblo yang menjadi semakin rendah di Sabtu malam. Dengan kata lain, yang punya pasangan ‘derajat’-nya lebih tinggi dari yang jomblo. Selain malam Sabtu, para jomblo sudah memiliki status sosial yang rendah daripada yang memiliki pasangan dan menjadi semakin rendah di malam Sabtu. Kenapa remaja Indonesia menjadi seperti ini sekarang?
Fenomena ini tidak terjadi di masa lalu, saat semua remaja di Sabtu malam hanya memikirkan acara malam mingguan mereka masing-masing. Jika dibandingkan dengan tren yang ada saat ini, apakah ini berarti pola pikir remaja semakin menurun? Semoga firasat saya salah.
Waah, pasti penulisnya lagi jomblo ya? Mungkin ada yang berpikir seperti itu sekarang. Saya memang sedang jomblo, tapi bukan itu alasan saya untuk berargumen seperti di atas. Saya tidak sedang membela para jomblo ataupun yang punya pasangan. Di sini yang saya perihatinkan adalah hilangnya rasa toleransi dan saling pengertian di kalangan remaja di saat-saat seperti Sabtu malam yang seharusnya dirundung suasana bahagia ini. Aneh sekali bukan, perilaku seperti ini?
Bagi siapapun yang merasa memiliki ide yang sama dengan kalimat-kalimat yang saya kutip di atas, atau yang tertawa melihatnya, saya ingin Anda bertanya pada diri sendiri. Benarkah pola pikir yang seperti itu? Sebagian besar dari Anda pasti sedang punya pasangan. Pernahkah Anda memikirkan para jomblo ketika membaca kalimat-kalimat itu? Saya bisa menjamin bahwa hati mereka pasti sedih. Kalau saya sih, tidak tega membuat kalimat-kalimat seperti itu lagi. Itu sama saja dengan rasisme. Tak ada alasan yang logis dan pantas untuk merendahkan para jomblo, kapanpun waktunya. Memang, orang-orang yang mempunyai pasangan dianggap lebih bahagia daripada yang tidak memiliki pasangan. Tapi bukan berarti itu bisa dijadikan alasan untuk mencemooh dan membuat mereka seakan-akan tidak punya kehormatan. Orang-orang yang sekarang punya pasangan pun, dulu sempat jadi jomblo, ‘kan? Jadi, mencemooh para jomblo sama dengan mencemooh diri sendiri.
Selain itu, tidak menutup kemungkinan bahwa orang-orang yang mencemooh itu adalah para jomblo juga. Nah lho… Mungkin mereka sedang berusaha menutupi kesedihannya dengan cara menyindir atau mengejek para jomblo. Ada lho orang yang seperti itu. Ada.
Jika Anda, terutama para remaja merasa memiliki moral yang baik, Anda pasti akan mempertimbangkan argumen saya. Pola pikir dan kebiasaan seperti ini tidak akan menghasilkan apa-apa selain kepuasan sementara. Pada kenyataannya, tidak semua jomblo merasa sedih dan tidak semua yang punya pasangan merasa bahagia. Ini berarti hidup itu adil, tidak ada yang lebih baik ataupun yang lebih buruk.
Jadi, tidak ada alasan untuk melecehkan para jomblo, ‘kan? Tak ada alasan untuk repot-repot membicarakan para jomblo. Mind your own business, guys.
Semoga bermanfaat. Have a nice weekend! :)
Na∂ıa SЯ ♥
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H