Perundungan memiliki efek menghancurkan pada kesejahteraan mental dan fisik para siswa. Namun, banyak dari korban memilih untuk diam karena takut atau percaya bahwa melaporkan kejadian tersebut hanya akan memperburuk situasi. Sebagian besar waktu, pelaku menanamkan rasa takut dalam diri korban sehingga mereka merasa terancam dan tidak nyaman. Akibatnya, para korban mengalami banyak tekanan, merasa malu, dan bahkan melakukan penyalahan terhadap diri sendiri.
Karena citra diri yang rendah dan ketidakpercayaan, banyak dari mereka memilih untuk tidak berbicara atau mencari bantuan bahkan ketika benar-benar membutuhkan. Meskipun sebagian besar kritik bukanlah sesuatu yang diharapkan, perasaan tertekan semacam itu mengarah pada depresi dan dengan demikian mempersepsikan teman-teman sebayanya dengan cara yang menyimpang.
Dukungan sosial tampaknya juga kurang dari lingkungan sekolah yang langsung serta sistem keluarga di sekitarnya, membuat kondisi semakin memburuk. Di samping itu, kebijakan anti-perundungan dari beberapa guru sering kali tidak efektif, meninggalkan korban dengan perasaan putus asa, tanpa mendapatkan bantuan sama sekali. Ketika perundungan menjadi hal yang normal dan tertanam dalam lingkungan, hal itu hanya akan mengasingkan korban lebih jauh.
Oleh karena itu, sangat penting bagi siswa, guru, dan bahkan orang tua untuk bekerja sama mengatasi masalah perundungan ini. Sangat penting bagi sekolah untuk menerapkan dan menegakkan strategi anti-perundungan yang ketat dan didukung dengan bantuan yang cukup, seperti menyediakan fasilitas konseling. Selain itu, perlu ada upaya dalam mengajarkan dan menyebarkan kesadaran tidak hanya tentang perundungan, tetapi juga bahwa adalah hal yang sepenuhnya normal untuk meminta bantuan terutama ketika seorang siswa mengalami perundungan. Fokus semacam ini sangat dibutuhkan bagi para siswa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H