Ketidakseimbangan di dalam hubungan hegemoni kekuasaan antara perusahaan fesyen di negara maju dengan vendor di negara berkembang, menghasilkan kekerasan dan pelecehan berbasis gender yang sifatnya endemic di dalam struktur industri garmen. Ini terjadi karena ketidakseimbangan tersebut melahirkan pola-pola kerja yang tidak sehat bagi perempuan pekerja. Kondisi ini melazimkan situasi dimana perusahaan high fashion berskala besar bisa menentukan detil produksi dengan ketat, dan mensyaratkan target produksi tinggi yang tidak manusiawi jika dibandingkan dengan upah yang semakin tidak berbanding lurus dengan target produksi. Selain itu, demi mencapai target produksi, pemilik perusahaan vendor terdorong untuk melakukan teknik-teknik perundungan, kekerasan dan pelecehan terhadap pekerjanya untuk mempercepat proses produksi.
   Situasi ini diperparah dengan pandemic COVID-19. Resesi ekonomi dunia yang diperburuk oleh pandemic COVID-19, mendorong sejumlah perusahaan fashion internasional untuk secara sepihak, demi melindungi margin laba mereka, membatalkan order manufaktur senilai miliaran dollar Amerika Serikat. Hal ini tentunya amat sangat memukul perusahaan pemasok di negara-negara produsen yang harus tergerus arus kasnya dan menghadapi neraca keuangan yang buruk akibat tuntutan diskon dalam jumlah besar. Sebagai konsekuensinya, mereka mengalihkan sebagian kerugian tersebut kepada pekerja garmen perempuan. Posisi sekunder kaum perempuan pekerja di masyarakat membuat mereka menjadi pihak yang termarjinalisasi. Perusahaan tempat mereka bekerja di negara-negara pemasok memanfaatkan lemahnya posisi perempuan pekerja dalam struktur pencari nafkah keluarga untuk menekan biaya operasional industri garmen serendah—rendahnya.  Keharusan bagi pekerja garmen perempuan untuk tetap bertahan hidup demi dirinya dan keluarganya, baik sebagai pencari nafkah  primer ataupun sekunder, memaksa mereka untuk menerima disproporsionalitas upah dan praktik-praktik pelanggaran HAM di tempat kerja. Hal ini seringkali menempatkan mereka dalam bahaya yang sangat luar biasa.
Tiga Pola KPBG Selama Pandemi Covid-19
   Penelitian yang dilakukan oleh Asia Floor Wage Alliance (AFWA), suatu organisasi nirlaba regional yang bergiat di bidang Serikat pekerja dan aktivitas hak buruh, di Bangladesh, Kamboja, Indonesia, India, Sri lanka dan Pakistan, dengan menggunakan sampling sebanayak 351 buruh garmen perempuan yang tersebar pada 61 pabrik dalam periode waktu antara , menyimpulkan adanya tiga pola kekerasan dan pelecehan berbasis gender yang dialami oleh buruh garmen perempuan selama pandemi COVID-19.
   Bentuk pertama adalah PHK sepihak dan pemotongan upah. Pengurangan tenaga kerja banyak dilakukan oleh perusahaan akibat resesi selama pandemi COVID-19. Selain itu pemotongan upah secara sepihak dan secara disproporsional juga banyak dilakukan oleh perusahaan agar usahanya tetap bertahan selama resesi COVID-19. Hal ini juga didorong sebagai akibat dari penerapan peraturan mobilitas masyarakat selama pandemi COVID-19.
   Bentuk kedua dari KPBG yang ditemukan dari penelitian ini adalah bahwa pengurangan tenaga kerja dan peningkatan target produksi memberi dampak serius bagi perempuan yang dipekerjakan di lini produksi. Terdapat pengabaian  yang serius dari penerapan regulasi tentang hak cuti dan istirahat bagi pekerja, karena ditemukan praktik-praktik dimana buruh garmen perempuan dipaksa bekerja lembur tanpa menerima upah lembur dan hak atas waktu istirahat selama bekerja ataupun hak untuk mengambil cuti sama sekali diabaikan. Pelanggaran ini yang diikuti dengan perilaku kekerasan baik verbal maupun fisik ini sebagian besar ditoleransi karena adanya rasa takut atas ancaman, balasan dan tekanan selama bekerja yang dimana aspek – aspek tersebut menyebabkan kesehatan mental mereka terganggu.
   Ketiga, kekerasan ekonomi dari perusahaan menyebabkan pengaruh negatif yang besar bagi buruh perempuan di rumah mereka. Selain mereka di lain sisi mendapat perlakuan yang buruk oleh keluarga, mereka juga terpaksa untuk menjual sebagian harta untuk mencukupi kebutuhan primer keluarga mereka. Konvensi ILO 1990 menyebutkan bahwa ‘kekerasan ekonomi’ merupakan salah satu bentuk KPBG.
    Dampak atas kesenjangan tersebut menunjukkan bahwa konvensi yang dimiliki perusahaan garmen melalui pengujian sosial telah gagal dalam meningkatkan kesejahteraan para buruh.  Maka dari itu, AFWA menghimbau perusahaan garmen untuk menguji tuntas hak asasi manusia (HAM) di pabrik, khususnya dalam mengatasi problematika KPBG di seluruh rantai suplai. Di lain sisi, AFWA juga menghimbau perusahaan untuk membayar kompensasi atas kesenjangan perlindungan dan layanan sosial di pabrik-pabrik garmen tersebut. Perusahaan pemilik jenama diharapkan dapat berkontribusi bersama dengan para buruh untuk mengevaluasi kesenjangan internal di dalam pabrik dan juga untuk memberikan biaya sepadan kepada para buruh perempuan.
   Kunci utama untuk mengatasi problematika KPGB adalah dengan memberikan upah yanng sepadan kepada buruh perempuan baik dari internal maupun eksternal pabrik. Meskipun demikian, terbatasnya janji terhadap kelayakan upah yang tertuliis di dalam kode etik sukarela masih belum terpenuhi. Oleh karena itu, AFWA menghimbau agar perusahaan jenama busana internasional segera menyetujui kesepakatan upah yang sudah diatur (Enforceable Wage Agreement/EWA) demi kesejahteraan para buruh pabrik perempuan. Dari kesepakatan ini, diharapkan perusahaan busana internasional akan membuat komitmen berkekuatan hukum untuk membayar kontribusi tambahan dalam bentuk premi 25 persen dari setiap pesanan yang dilakukan untuk menjembatani kesenjangan antara upah minimum yang diwajibkan secara hukum dan perkiraan upah layak di negara produsen, termasuk Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H