Mahasiswa dan ibadah membaca. Dua hal yang (seharusnya) memang tidak bisa dipisahkan. Dosa mahasiswa jika mereka lalai terhadap ibadah ini, begitu tulis Fatih Abdulbari pada mimbar mahasiswa beberapa pekan lalu di subrubrik Mimbar Mahasiswa Solopos. Bagaimana mungkin diskusi-diskusi kritis dapat berjalan di ruang-ruang akademik kampus jika mahasiswanya tidak mempunyai cukup pengetahuan. Tidak ada sanggahan kritis, semuanya diamini sebagai tanda pembenaran.
Sebagai mahasiswa Sastra Indonesia, saya menyangsikan fenomena membaca di kampus saya sendiri. Mahasiswa satra tapi tak kenal buku sastra, begitu yang saya lihat. Bahkan suatu hari saya pernah bertanya kepada seorang kawan yang juga mahasiswa sastra Indonesia. Selain novel-novel remaja populer semacam Tere Liye, Wina Efendi, dan Ilana Tan, bacaan paling banternya adalah Andrea Hirata. Bahkan di era digital, bacaan standar nyastramasa kini bisa didapatkan dari aplikasi gratis bernama wattpad. Sesekali dia membaca cerpen-cerpen “bermutu” standar kompas hanya ketika mendapatkan tugas dari dosen.
Ya cukup. Lalu saya tergelitik untuk bertanya soal berapa kali ia membaca Majalah Horison, -yang menurut hemat saya adalah bacaan wajib minimal mahasiswa sastra Indonesia yang terlampau malas dengan buku- dan jawabannya adalah dapat dihitung jari. Bahkan hingga tahun ke empatnya menyandang gelar mahasiswa sastra. Padahal jika hanya bermodal karya populer tidak akan ada bedanya mahasiswa sastra dengan masyarakat umum tanpa dibekali teori dan bacaan mumpuni.
Kematian majalah Horison ini seharusnya menjadi tamparan besar bagi maasiswa sastra Indonesia. Secara kasat mata berarti pula perhatian juga kepedulian terhadap sastra mulai berkurang. Sastra yang dianggap bacaan berat mulai ditinggalkan, digantikan dengan bacaan praktis populer. Saya jadi mengingat sebuah acara gelar wicara nasional yang diadakan salah satu prodi di lingkungan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret 4 November lalu. Gelar wicara bertajuk Bangun Mimpi Berkarya dengan Sejuta Cintayang menghadirkan penulis kawakan macam Tere Liye berhasil menarik animo mahasiswa dan masyarakat umum. Auditorium UNS saat itu penuh, sesak oleh orang-orang yang ingin mendengatkn kuliah bang Tere perihal menulis. Katanya menulis adalah bentuk dedikasi kepada Tuhan, menulislah supaya menghibur, bermanfaat, dan menginspirasi.
Coba bandingkan dengan diskusi bertajuk Horison dari Masa ke Masa bersama Joni Ariadinata dan Bandung Mawardi yang digelar di Balai Soedjatmoko Agustus silam. Balai saat itu tak seberapa penuh. Ketika saya datang bersama seorang kawan kemudian secara iseng mengamati peserta diskusi ternyata peserta yang datang dengan memmbawa label mahasiswa sastra hanya segelintir. Dapat dihitung jari. Tidak ada semacam kewajiban, atau setidaknya kepedulian moral terhadap majalah sastra satu-satunya di Indonesia ini.
Dalam diskusi itu Joni sempat berujar bahwa keputusan menghentikan produksi cetak majalah adalah karena ketiadaan biaya. Keuntungan yang didapat tak sebegitu besar dan subsidi dari pemerintah sudah tak lagi mengalir. Meski sekolah dan institusi pendidikan sudah diwajibkan berlangganan, namun itu semua tak bisa menutup biaya produksi. Jarang sekali orang-orang mau membaca Horison, apalagi membelinya. Menyedihkan sekali jika dibandingkan dengan angka penjualan buku-buku populer best selleraliran Tere Liye.
Alternatif lain yang diberikan adalah akan mengalihkan Horison versi cetak menjadi daring. Keputusan yang tepat, begitu katanya. Toh apapun medianya sastra tidak akan kehabisan peminat jika berkualitas. Ketika saya membuka laman Horison versi daring itu ternyata sungguh mengejutkan. Rubrik catatan kebudayaan paling baru bertanggal 25 Juli 2016. Itu pun adalah rubrik yang pernah dimuat di edisi cetak terakhir. Cerpen paling anyar bertanggal 15 September 2016 dan kakilangit 23 Juli 2016. Padahal dulu hampir setiap bulan pada makalah versi cetak kita bisa menikmati rubrik-rubrik itu setiap pergantian bulan.
Kita mungkin tidak menyadari, akibatnya mahasiswa sastra bakal kalah bersaing di dunia sastra setelah mereka keluar dari kawah candradimukanya. Coba lihat seberapa banyak mahasiswa sastra yang tetap menulis ketika mereka lulus kuliah. Ada beberapa novel yang saya tahu ditelurkan oleh alumnus fakultas sastra yang bisa berbicara di ajang Dewan Kesenian Jakarta. Ratih Kumala dengan Tabula Rasa (2003), Dewi Kharisma Michella dengan Surat Panjang tentang Jarak Kita yang Jutaan Tahun Cahaya(2012), dan Mahfud Ikhwan dengan Kambing dan Hujan(2014), dari ketiga nama itu, setidaknya hanya Mahfud Ikhwan yang jebolan Sastra Indonesia. Dua nama lainnya Sastra Inggris dan Sastra Perancis. Selebihnya karya sastra populer dan penyair banyak didominasi dari latar belakang pendidikan yang lain. Taufiq Ismail sang penyair itu juga alumnus Kedokteran Hewan kok.
Dan pada akhirnya semuanya hanya berkesimpulan tidak apa-apa tidak membaca karya sastra, tidak apa-apa tidak ada majalah sastra. Toh mahasiswa fakultas sastra tetap bisa lulus kok. Lulus dan bekerja apa saja, selain menjadi sastrawan tentunya. Kalau sudah begini ya mau bagaimana lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H