Mohon tunggu...
Nadia Kamila
Nadia Kamila Mohon Tunggu... -

Mahasiswi Ilmu Politik UNSOED Purwokerto\r\n\r\na hijab-diplomat-woman someday :)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

“Suku Sakai di Riau: Terasing atau Diasingkan?”

13 Januari 2014   23:06 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:51 2894
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Indonesia merupakan salah satu negara di Asia Tenggara yang menjadi salah satu negara paling luas dengan luas 5.193.250 km²  ( mencakup daratan dan lautan ). Salah satu fakta tersebut menjadikan Indonesia sebagai predikat negara terluas ketujuh di dunia setelah Rusia, Kanada, Amerika Serikat, Cina, Brasil, dan Australia. Selain itu, Indonesia “dianugerahi” kenyataan bahwa hasil proyeksi atas penghitungan jumlah dan laju pertumbuhan penduduk oleh Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia selama 25 tahun mendatang akan terus meningkat yaitu dari 205,1juta pada tahun 2000 menjadi 273,2 juta pada tahun 2025.

Indonesia menjadi semakin kaya dengan kenyataan bahwa Indonesia dipenuhi dengan sumber daya alam yang sangat berlimpah dari berbagai sektor, mulai dari pertanian, kehutanan, kelautan, tambang, bahkan panas bumi sehingga banyak negara asing yang tertarik untuk menyusun kerja sama di berbagai bidang dengan Indonesia. Untuk itu, kestabilan ekonomi berupa perdagangan bebas dan tantanganglobalisasi lainnya seringkali menjadi permasalahan yang paling diperhatikan oleh Pemerintah Indonesia. Namun, hal tersebut ternyata bukanlah satu-satunya permasalahan Indonesia yang perlu diselesaikan karena pada kenyataannya sekarang ini yang menjadi masalah terpendam dan dapat berpengaruh besar bagi perkembangan Indonesia ke depan bahkan sekaligus ancaman adalah pluralisme(kemajemukan) di dalam masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, etnis, dan agama yang seharusnya menjadi sebuah multikulturalisme (penghilangan sisi minoritas dan mayoritas atau kesederajatan).

Saat ini Indonesia berada pada jumlah keragaman masyarakatnya yang dikategorikan sangat banyak. Hal ini dibuktikan dengan adanya jumlah 1.128 suku bangsa dan 546 bahasa yang berbaur menjadi satu di Indonesia. Fakta tersebut menunjukkan bahwa Indonesia mempunyai keindahan pluralisme tersendiri yang tidak dimiliki oleh negara lain di dunia. Kondisi multikultural dalam sebuah masyarakat yang plural seperti itu merupakan sebuah kenyataan yang tidak dapat dihindari atau dibatalkan. Secara kultural heterogen, anggota-anggota masyarakat tersebut mengikuti sistem kepercayaan dan praktek-praktek kebudayaan yang berbeda antara satu dengan yang lain.

Perbedaan-perbedaan (diversitas) kultural tidak hanya mengacu kepada sumber-sumber seperti multiplisitas jumlah etnis, ras, agama, maupun budaya dalam teritori sebuah negara, melainkan juga banyak sumber lain. Bkhikhu Parekh misalnya, membedakan tiga bentuk diversitas kultural yang menurutnya paling umum ditemui, yaitu diversitas sub-kultural (subcultural diversity), diversitas perpektival (perpectival diversity), dan diversitas komunal (communal diversity). Diversitas sub-kultural merujuk kepada sekelompok anggota masyarakat yang hidup dalam sebuah budaya bersama tetapi memilih bentuk kepercayaan dan praktek-praktek yang kehidupan yang berbeda (seperti gay atau lesbian). Diversitas perspektival merujuk kepada sekelompok orang yang sangat kritis terhadap prinsip-prinsip atau nilai-nilai utama dari kebudayaan yang ada (seperti kaum feminis). Dan yang terakhir, diversitas komunal meliputi komunitas-komunitas yang cukup terorganisir, percaya, dan hidup dengan sistem dan praktek kepercayaannya sendiri seperti kelompok minoritas imigran, agama, dan kultural (masyarakat adat pedalaman). Dalam pembahasan esai ini mengangkat keberadaan Suku Sakai di pedalaman Riau yang terasing atau diasingkan oleh negara. Hal ini masih menjadi pro dan kontra dalam masyarakat. Suku Sakai di Riau ini menjadi salah satu contoh nyata bahwa Indonesia dengan berbagai modernisasinya masih memiliki kelompok minoritas bagian diversitas komunal yang perlu dianalisis lebih mendalam.

Keberadaan Suku Sakai di Riau

Kepulauan Riau adalah salah satu provinsi di Indonesia yang didiami oleh 5.538.367 jiwa yang terdiri dari 2.853.168 laki-laki dan 2.685.199 perempuan (menurut hasil Sensus Penduduk tahun 2010 oleh Badan Pusat Statistik Kep.Riau). Kepulauan Riau didiami oleh berbagai suku bangsa lokal yang kaya akan budaya karena Riau menjadi salah satu alternatif tujuan daerah transmigrasi dari Pulau Jawa. Mulai dari Suku Batak, Jawa, Minang, bahkan Bugispun ada di Riau. Dari banyak suku pendatang yang ada di tanah Riau tersebut terdapat salah satu suku lokal yang sudah ada sejak ratusan tahun lalu, yaitu Suku Sakai. Suku Sakai merupakan salah satu suku asli Kepulauan Riau yang cukup kaya akan budaya. Mulai dari banyaknya tradisi adat yang beragam (mulai dari tradisi upacara menanam padi, upacara menyiang, upacara sorang sirih, dan upacara tolak bala), tari-tarian tradisional, hingga nyanyian-nyanyian adat setempat. Namun, dibalik segala “keindahan pesona budaya” yang dimiliki oleh Suku Sakai, Suku Sakai termasuk ke dalam salah satu dari enam suku terasing di Kepulauan Riau. Kelima suku selain Suku Sakai tersebut adalah Suku Laut, Suku Hutan, Suku Talang Mamak, Suku Bonai, dan Suku Akit. Oleh karena itu, dengan semakin berkembangnya modernisasi dan masuknya transmigran dari berbagai daerah di Indonesia menjadikan Suku Sakai yang menjadi penduduk lokal Riau menjadi semakin terpinggirkan.

Orang-orang Sakai menyebar di daerah Kabupaten Bengkalis dan khususnya terdapat paling banyak di Kecamatan Mandau, Riau. Suku Sakai pada saat ini digolongkan sebagai masyarakat terasing, baik secara kultural maupun secara fungsional dalam kaitannya dengan sistem nasional Indonesia sebagaimana telah dijelaskan oleh Departemen Sosial RI. Hal ini sangat bertentangan dengan sikap bagaimana Pemerintah harus merangkul semua golongan warga negaranya tanpa memandang ia dari suku apa atau agama apa. Suku Sakai memiliki identitas tersendiri untuk menonjolkan bagaimana sisi kehidupannya. Identitas yang dimiliki Suku Sakai sendiri menggambarkan hasil atas sebuah proses yang berjalan lama sejak nenek moyang Suku Sakai dan hal tersebut bukanlah sesuatu yang mudah untuk dimusnahkan dari kehidupan Suku Sakai yang tradisional.

Identitas yang melekat pada Suku Sakai seperti penggunaan Bahasa Sakai dalam kehidupan sehari-hari yang telah turun-menurun, pekerjaan yang berubah-ubah (karena bertempat tinggal masih di pedalaman hutan) maupun gambaran fisik yang “unik” dari tiap anggota Suku Sakai menjadi salah satu dari sekian poin yang membuat Suku Sakai berbeda (ciri khas) tetapi cukup membingungkan karena tidak adanya identitas yang stabil tumbuh di Suku Sakai (karena masih menggantungkan hidupnya lebih banyak pada alam). Oleh karena itu, saya mengira pemerintah sudah saatnya memperhitungkan keberadaan Suku Sakai yang memegang kewarganegaraan secara sah walaupun secara fisik mereka tampak tradisional dan masih harus tetap berkutat dengan alam sesuai kepercayaan mereka.

Minoritisasi Suku Sakai

Dari karya-karya terdahulu seperti yang ditulis Parsudi Suparlan (1995), dijelaskan bahwa masyarakat Sakai pernah disebut sebagai “masyarakat terasing”. Sebutan ini kemudian diganti dengan sebutan “masyarakat tertinggal” sehingga dipandang perlu untuk dibina oleh Departemen Sosial. Suku Sakai, dengan para kelompok ‘elit’nya, saat ini telah banyak berusaha untuk menghilangkan ketertinggalannya dengan manusia Indonesia yang modern, namun nampaknya upaya-upaya yang dilakukan oleh kelompok ‘elit’ lokal Suku Sakai tersebut tidak berpengaruh signifikan. Menurut Pak Mara (salah satu tokoh Suku Sakai) berpendapat bahwa Suku Sakai belum banyak berubah atau pergi dari keterasingan walaupun sudah banyak yang berupaya menghilangkan itu. Nampaknya hal ini disebabkan karena belum adanya kesepahaman yang sama atas upaya kemajuan Suku Sakai antara Suku Sakai dengan pemerintah. Selain itu, walaupun masyarakat Sakai adalah warga negara RI yang sah, mereka tidak mendapat hak penuh sebagai warga negara sehingga terjadi banyak hambatan menuju proses modernisasi Suku Sakai.

Ketika Indonesia memutuskan untuk melakukan perubahan sosial melalui proyek-proyek pembangunan infrastruktur ekonomi, sosial, maupun budaya, mereka tidak banyak dilibatkan di dalamnya. Hal ini semakin menunjukkan adanya kesenjangan yang jauh antara Pemerintah Daerah, khususnya, dengan masyarakat Sakai. Keberadaan identitas penggunaan Bahasa Sakai sebagai salah satu alat interaksi paling efektif terhadap Suku Sakai, diharapkan Pemerintah dapat menyampaikan apa yang sekiranya menjadi pilihan terbaik bagi pembangunan daerah sekitar Suku Sakai melalui Bahasa Sakai tersebut. Jika hal ini tidak dilaksanakan, secara otomatis, Masyarakat Sakai banyak yang menilai bahwa mereka hanya dimanfaatkan dengan berbagai keputusan pembangunan yang dilaksanakan Pemerintah tanpa mengetahui prospek jangka panjang bagi Suku Sakai sendiri.

Sekiranya bahasa akan menjadi sebuah kekuatan di mana bahasa dapat menjadi alat politik yang dapat menguntungkan kedua pihak antara pemerintah dan Suku Sakai sehingga tidak ada yang merasa dirugikan jika terdapat penggunaan Bahasa Sakai yang tepat sebagai penghubung. Pilihan penyampaian sikap melalui komunikasi intens dengan bahasa yang interaktif dapat Pemerintah lakukan sebagai pengartian dalam keberpihakan politik. Suku Sakai bukanlah sebuah suku yang modern atau sudah maju secara keseluruhan. Masih banyak anggota masyarakatnya yang tidak mengenyam pendidikan sama sekali dan adanya stereotip turun-menurun bahwa pemerintah hanya memanfaatkan mereka bagi perkembangan proyek pembangunan dan menyisihkan mereka dari kehidupan politik negara, sehingga dengan adanya kekuatan bahasa sebagai penyambung tali komunikasi interaktif diharapkan sebagai penengah di atas permasalahan ini. Dengan demikian, upaya-upaya permulaan tersebut saya lihat cukup berpengaruh kepada pandangan Suku Sakai terhadap pemerintah, serta adanya penghargaan terhadap adanya Suku Sakai yang menjadi setara dengan suku-suku lainnya dalam memberikan aspirasi kepada pemerintah disertai dengan upaya meminimalisir konflik yang sangat memungkinkan dapat terjadi sebagai dampak dari ketidaksepahaman di antara kedua belah pihak.

Sebuah konformitas merupakan wujud naluri yang sangat kuat. Ada rasa aman yang disediakan dalam kekuatan jumlah dan berada di luar jumlah itu dibutuhkan lebih dari sekedar naluri untuk bisa berbeda dari orang lain. Menjadi mayoritas dalam jumlah memberi sebuah rasa aman kepada individu karena disediakanlah kesamaan-kesamaan dalam jumlah besar. Akan tetapi, sekelompok individu justru menjalani kehidupannya berbeda dengan mayoritas dapat disebabkan karena pilihan ataupun sebab-sebab historis tertentu, seperti pengabaian oleh negara dalam kebijakannya atau kesalahan sebuah representasi dalam wacana. Entah sebagai pilihan atau karena historis dan politis diciptakan, kelompok minoritas akan selalu ada dalam setiap negara, terutama minoritas berbasis agama atau suku bangsa seperti yang dialami Suku Sakai. Oleh karena itu, Suku Sakai menjadi salah satu dari sekian minoritas yang ada dan tidak terlihat oleh mayoritas ( para manusia modern ) yang ada di Indonesia dan hingga saat ini tidak adanya perubahan signifikan atas keterasingan mereka.

Kesimpulan

Indonesia telah menjadi sebuah tempat unik bertebarnya beragam etnis, bahasa, agama, nilai, dan identitas yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Perbedaan-perbedaan tersebut seakan mustahil untuk disatukan karena tiap individu memegang primordialnya masing-masing. Dengan adanya sistem demokrasi yang dianut Indonesia saat ini, sudah menjadi hak setiap warga negara di provinsi manapun di Indonesia untuk mendapatkan perlakuan dan pengakuan yang sama dari negara. Suku Sakai sebagai salah satu suku bangsa asli Indonesia yang mendiami Riau dan semakin terasingkan akibat tidak mampu mengejar ketertinggalan modernisasi juga mendapat hak untuk tetap hidup tenang, aman, dan nyaman serta tidak terusik dengan modernisasi tersebut.

Saat ini terjadi dilema politik setelah terbebas dari rejim otoritan yang memegang kendali penuh terhadap setiap warga negara. Di satu sisi, banyak yang mengajukan tuntutan bagaimana bisa menghormati para pelaku diversitas kultural tetapi di sisi lain, banyak juga yang mengkhawatirkan pecahnya konflik akibat politik perjuangan identitas. Dengan demikian, penciptaan multikulturalisme yaitu dengan menyamaratakan hak-hak mereka sebagai warga negara dan sebagai manusia seutuhnya sudah merupakan tindakan tepat sehingga diversitas kultural tersebut dapat diterima dan disesuaikan dengan keadaan negara ini yang sedang berkembang pesat tanpa menghilangkan keragaman yang ada sebagai wujud masyarakat plural Indonesia dan kesetaraan yang ada sebagai konsep yang dijunjung oleh multikulturalisme bangsa yang memang sangat diharapkan ada bagi setiap negara majemuk



DAFTAR REFERENSI

Bab.4 Penduduk dan Ketenagakerjaan Provinsi Riau. www.riau.bps.go.id. Diakses pada tanggal 25 Desember 2013. http://riau.bps.go.id/publikasi-online/riau-dalam-angka-2011/bab-4-penduduk-ketenagakerjaan.html.

Berapa Jumlah Suku di Indonesia ?.www.anneahira.com. Diakses pada tanggal 26 Desember 2013. http://www.anneahira.com/jumlah-suku-di-indonesia.htm.

Budiman, Hikmat. Hak Minoritas : Ethnos, Demos, dan Batas-batas Multikulturalisme. (Jakarta: Yayasan Interseksi, 2009).

Budiman, Hikmat. Hak Minoritas : Dilema Multikulturalisme di Indonesia. (Jakarta: Yayasan Interseksi, 2005).

Luas Wilayah Negara Indonesia. www.invonesia.com. Diakses tanggal 23 Desember 2013. http://www.invonesia.com/luas-wilayah-negara-indonesia.html.

Parekh, Bhikhu. Rhetinking Multiculturalism : Cultural Diversity and Political Theory (Basingtoke : MacMillan Press, 2000).

Pertumbuhan Penduduk di Provinsi Riau. www.datastatistik-indonesia.com. Diakses pada tanggal 31 Desember 2013. http://www.datastatistik-indonesia.com/portal/index.php?option=com_content&task=view&id=919.

Suku Sakai dalam Tiga Kekuasaan. www.scribd.com. Diakses tanggal 24 Desember 2013. http://www.scribd.com/doc/72771828/Makalah-Adat-Istiadat-Suku-Sakai.

Suparlan, Parsudi. Orang Sakai di Riau : Masyarakat Terasing dalam Masyarakat Indonesia. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995).

NADIA KAMILA – F1D012025 – FILSAFAT DAN PEMIKIRAN POLITIK

Luas Wilayah Negara Indonesia. www.invonesia.com. diakses tanggal 23 Desember 2013, http://www.invonesia.com/luas-wilayah-negara-indonesia.html.

Pertumbuhan Penduduk di Provinsi Riau. www.datastatistik-indonesia.com. diakses pada tanggal 31 Desember 2013. http://www.datastatistik-indonesia.com/portal/index.php?option=com_content&task=view&id=919.

Berapa Jumlah Suku di Indonesia ?. www.anneahira.com. diakses pada tanggal 26 Desember 2013. http://www.anneahira.com/jumlah-suku-di-indonesia.htm.

Hikmat Budiman, Hak Minoritas : Ethnos, Demos, dan Batas-batas Multikulturalisme (Jakarta: Yayasan Interseksi, 2009), hal. 1.

Bikhu Parekh, Rhetinking Multiculturalism. Cultural Diversity and Political Theory (Basingtoke: MacMillan Press, 2000), hal.3-4.

Bab.4 Penduduk dan Ketenagakerjaan Provinsi Riau, www.bps.go.id, diakses pada 25 Desember 2013, http://riau.bps.go.id/publikasi-online/riau-dalam-angka-2011/bab-4-penduduk-ketenagakerjaan.html.

Suku Sakai dalam Tiga Kekuasaan. www.scribd.com. Diakses tanggal 24 Desember 2013. http://www.scribd.com/doc/72771828/Makalah-Adat-Istiadat-Suku-Sakai.

Pasurdi Suparlan, Orang Sakai di Riau : Masyarakat Terasing dalam Masyarakat Indonesia (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995), hal. 394.

Hikmat Budiman, Hak Minoritas : Dilema Multikulturalisme di Indonesia (Jakarta: Yayasan Interseksi, 2005), hal. 90.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun