Mohon tunggu...
Nadia Ika badarsih
Nadia Ika badarsih Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Healing

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Teori empati martim hoffman dalam konteks perkembangan peran sosial emosional

18 Januari 2025   10:15 Diperbarui: 18 Januari 2025   10:15 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Teori Empati Martin Hoffman dalam Konteks Teori Sosial Emosional

Empati, sebagai kemampuan untuk merasakan dan memahami perasaan orang lain, memainkan peran penting dalam perkembangan sosial emosional individu. Salah satu teori yang menonjol mengenai empati datang dari psikolog Martin Hoffman. Teori empati Hoffman menjelaskan bagaimana empati berkembang seiring dengan pertumbuhan anak, serta bagaimana faktor-faktor sosial dan emosional mempengaruhi perkembangan ini.

Martin Hoffman mengemukakan bahwa empati bukanlah suatu sifat yang statis, melainkan suatu kemampuan yang berkembang secara bertahap melalui tahapan kehidupan seseorang. Hoffman menjelaskan bahwa ada beberapa tahap dalam perkembangan empati yang berhubungan dengan perkembangan kognitif dan sosial individu.

1. Tahap Pertama: Empati Global (0-1 tahun)

Pada tahap awal kehidupan, sekitar usia 0 hingga 1 tahun, bayi menunjukkan respons emosional terhadap penderitaan orang lain. Namun, pada tahap ini, bayi belum dapat membedakan dirinya dari orang lain secara jelas. Bayi sering kali merasakan kesedihan atau ketidaknyamanan yang dialami oleh orang lain, dan ini bisa memicu respons yang serupa pada diri mereka. Misalnya, jika seorang bayi melihat orang dewasa menangis, ia mungkin akan mulai menangis juga. Hoffman menyebut tahap ini sebagai empathetic distress, yaitu respons emosional yang masih belum mampu membedakan antara diri sendiri dan orang lain.

2. Tahap Kedua: Empati Perspektif (2-3 tahun)

Pada usia 2 hingga 3 tahun, anak mulai menunjukkan kemampuan untuk memahami bahwa perasaan orang lain mungkin berbeda dari perasaan mereka sendiri. Mereka mulai mengembangkan kemampuan untuk melihat situasi dari perspektif orang lain, yang merupakan dasar dari empati yang lebih kompleks. Di tahap ini, meskipun anak mungkin belum sepenuhnya memahami perasaan orang lain secara mendalam, mereka mulai belajar bahwa orang lain memiliki pengalaman emosional yang berbeda dari mereka.
Hoffman menunjukkan bahwa pada tahap ini, anak-anak dapat lebih responsif terhadap ekspresi emosi orang lain, dan mereka mulai belajar merespons dengan cara yang lebih sesuai dengan perasaan orang lain. Sebagai contoh, mereka mungkin akan menghibur teman yang sedang sedih atau menawarkan bantuan saat melihat seseorang dalam kesulitan.

3. Tahap Ketiga: Empati yang Lebih Kompleks (4-6 tahun)

Pada usia 4 hingga 6 tahun, anak-anak mulai dapat lebih akurat dalam menilai perasaan orang lain dan mampu merespons dengan lebih sesuai. Mereka mulai mengembangkan keterampilan sosial yang lebih baik dan mampu mengidentifikasi perasaan orang lain berdasarkan ekspresi wajah, bahasa tubuh, dan situasi yang sedang berlangsung. Pada tahap ini, empati mulai menunjukkan dimensi yang lebih dalam, dengan anak-anak dapat memahami nuansa emosional orang lain, termasuk perasaan seperti malu atau cemas.
Hoffman berpendapat bahwa pada tahap ini, anak-anak juga mulai merasakan empati yang lebih bernuansa, yaitu tidak hanya memahami perasaan orang lain, tetapi juga merasa terdorong untuk membantu mereka. Anak-anak dalam rentang usia ini menunjukkan perilaku prososial yang lebih jelas, seperti berbagi atau memberikan dukungan emosional kepada teman-teman mereka.

4. Tahap Keempat: Empati Terhadap Ketidakadilan Sosial (7 tahun ke atas)

Saat anak mencapai usia sekitar 7 tahun, mereka mulai menunjukkan empati yang lebih mendalam terhadap orang yang kurang beruntung atau mengalami ketidakadilan. Pada usia ini, anak-anak mampu memahami konsep-konsep sosial yang lebih kompleks, seperti keadilan, hak asasi manusia, dan kesetaraan. Mereka bisa merasakan penderitaan orang yang tertindas atau terpinggirkan, dan ini bisa memotivasi mereka untuk bertindak melawan ketidakadilan sosial.
Hoffman berpendapat bahwa kemampuan untuk merasakan empati terhadap ketidakadilan sosial ini berakar pada perkembangan kognitif anak, serta pengaruh sosial dan budaya yang membentuk pandangan mereka terhadap dunia. Dalam tahap ini, anak-anak cenderung menunjukkan minat dalam isu-isu sosial yang lebih luas, seperti perbedaan ras, gender, atau kondisi ekonomi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun