Menurut UU RI NO.18 Tahun 2014, gangguan jiwa merupakan suatu kondisi dimana seseorang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalani fungsi orang sebagai manusia. American Psychiatric Assiciation (APA) menyatakan bahwa gangguan jiwa merupakan pola psikologis atau pola perilaku yang penting secara klinis, yang terjadi pada individu dan dihubungkaan dengan adanya stres atau disabilitas (ketidakmampuan pada salah satu bagian atau beberapa fungsi penting) atau disertai peningkatan risiko untuk mati, sakit, ketidakmampuan atau kehilangan kebebasan.
Menurut WHO, terdapat satu orang meninggal setiap 40 detik dengan rentan usia 15-29 tahun karena emosi yang belum stabil. Gangguan mental menyumbangkan banyak angka kematian di global dan Asia Tenggara. Pada tahun 2016, jumlah kematian penduduk akibat bunuh diri sekitar 8.000 dari 260 juta jiwa penduduk Indonesia. Menurut data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS), 14 juta jiwa penduduk Indonesia mengalami gangguan mental berupa kecemasan dan depresi yang menyebabkan kecacatan. Jenis gangguan mental yang banyak terjadi di Indonesia yaitu gangguan depresi, cemas, skizofrenia, bipolar, gangguan prilaku, autis, gangguan prilaku makan, cacat intelektual, dan Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD).
Gangguan jiwa dan mental dapat dipengaruhi oleh faktor genetis. Gen tertentu yang dapat mempengaruhi seseorang terkena gangguan jiwa masih belum ditemukan. Namun penelitian yang dilakukan oleh National Institute of Health di Amerika Serikat kepada pasien dengan diagnosis skizofrenia, autis, ADHD, Bipolar Disorder dan Mayor Depressive Disorder menemukan adanya variasi genetik yang dapat mengganggu fungsi otak. Variasi genetik tersebut yaitu CACNA1C dan CACNB2 yang berpengaruh terhadap memori, perhatian, cara berpikir dan emosi.
Sesorang yang memiliki anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa menjadi lebih rentan terkena gangguan jiwa. Akan tetapi seseorang yang terkena gangguan jiwa atau mental tidak akan menurunkan gennya kepada anak cucunya, hanya saja anak cucunya memiliki risiko yang lebih besar. Orangtua yang memiliki gangguan jiwa dapat menurunkan gen kepada anaknya sebesar 10%. Sedangkan untuk keponakan atau cucu dapat menurunkan gen sebesar 2% hingga 4%. Untuk saudara kembar identik dapat menurunkan gen sebesar 48%.
Faktor sosial juga dapat berpengaruh besar terhadap gangguan jiwa atau mental seseorang. Faktor sosial tersebut dapat berupa pekerjaan, kegiatan sosial, keluarga, teman, serta pendidikan. Penelitian yang dilakukan pada pasien gangguan jiwa yang dirawat di Ruang Akut RS Jiwa Dr. Marzoeki Mahdi Bogor menunjukkan bahwa faktor predisposisi penyebab gangguan jiwa pada pasien yang tidak bekerja memiliki jumlah paling banyak dengan 41 responden atau 23.8%. Di urutan kedua terdapat pasien dengan penyebab tidak mengikuti kegiatan sosial dengan 30 responden atau 17.4%. Selanjutnya diikuti dengan penyebab tidak mempunyai teman dekat (16.3%), konflik dengan keluarga atau teman (13.4%), penghasilan kurang (11.1%), tidak sekolah atau putus sekolah (10.5%), kehilangan orang berarti (7.6%).
Di kehidupan masyarakat, orang yang tidak bekerja dianggap rendah karena tidak memiliki penghasilan sehingga tidak dapat menghidupi dirinya sendiri. Tak jarang orang yang tidak bekerja mendapatkan hujatan dari masyarakat yang lama kelamaan membuat orang tersebut merasa terbebani dan berakibat terkena gangguan jiwa atau mental. Selain itu, orang yang tidak mengikuti kegiatan sosial cenderung tipe orang yang tertutup. Orang dengan tipe ini lebih memilih untuk menyimpan permasalahannya sendiri yang dapat menyebabkan orang tersebut menjadi stres bahkan depresi karena merasa terlalu banyak masalah dan tidak dapat menyelesaikannya.
Menurut saya, faktor genetis dan faktor sosial sangat mempengaruhi seseorang terkena gangguan jiwa. Kesehatan mental sangat penting untuk dijaga karena bukan hal yang sepele dan susah untuk dilakukan. Tidak hanya menjaga kesehatan mental diri sendiri, kita juga harus menjaga kesehatan mental orang lain, terutama orang yang memiliki risiko lebih besar untuk terkena gangguan jiwa. Hal tersebut dilakukan karena lebih baik mencegah daripada mengobati.
DAFTAR PUSTAKA
Aulia, Ahmad Chasina. 2019. Paradigma Kesehatan Mental [online]. http://news.unair.ac.id/2019/10/10/paradigma-kesehatan-mental/. (diakses tanggal 22 September 2021)
Rinawati Fajar, Alimansur Moh. 2016. ANALISA FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB GANGGUAN JIWA MENGGUNAKAN PENDEKATAN MODEL ADAPTASI STRES STUART. Jurnal Ilmu Kesehatan, 5(1), pp. 36-37.
Farmaku.com. 2020. Informasi A-Z Tentang Kesehatan mental [online]. https://www.farmaku.com/artikel/informasi-tentang-kesehatan-mental/. (diakses tanggal 22 September 2021)
Masyharudin. 2017. Gambaran faktor-faktor... [online]. http://repository.ump.ac.id/4187/3/MASYHARUDIN%20BAB%20II.pdf. (diakses tanggal 20 September 2021).
Suryani. 2013. Mengenal gejala dan penyebab gangguan jiwa [online]. http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2015/04/12-Mengenal-gejala-dan-penyebab-gangguan.pdf. (diakses tanggal 20 September 2021)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H