Mohon tunggu...
Nadia Falasiva
Nadia Falasiva Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN JAKARTA

No one can make you feel inferior without your consent.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Bachtiar Siagian, Jejak Sutradara Kiri dan Film-film yang Hilang

14 Desember 2020   21:56 Diperbarui: 14 Desember 2020   21:58 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada era modern kini, mendengar nama Bachtiar Siagian terasa begitu asing di telinga kita. Mungkin terhitung hanya segelintir orang yang mengenalnya. Padahal Siagian termasuk orang pertama yang berkecimpung dalam dunia perfilman Indonesia. Bagaimana tidak? Sejak Orde Baru, nama Bachtiar Siagian, serta sutradara-sutradara kiri lain seperti Pramoedya Ananta Toer, Basuki Effendy, Kotot Sukardi, dan sutradara-sutradara kiri lainnya seolah dihapus dari sejarah perfilman Indonesia. 

Bahkan, hampir keseluruhan film karya sutradara-sutradara kiri telah hilang dimusnahkan. Padahal, tahun 1960 an, Bachtiar dikenal sebagai sutradara film besar. Nama Bachtiar Siagian kerap disandingkan dan dianggap memiliki kemampuan yang setara dengan Usmar Ismail, bapak film Indonesia sekaligus sutradara yang menonjol di era 1950-an hingga 1960-an

Bachtiar Siagian merupakan sosok sutradara sekaligus penulis skenario asal Indonesia kelahiran 19 Februari 1923 di Binjai, Sumatra Utara. Sebelum berkecimpung ke dalam dunia perfilman, Siagian telah aktif menulis naskah drama, naskah-naskahnya diantaranya The Blood of Worker, The Blood People, dan Rosanti. Kemudian pada tahun 1974, melalui Pudovkin's Book, Siagian terjun mempelajari penulisan skenario. Lalu, pada tahun 1955, Siagian terjun ke dalam dunia perfilman sebagai sutradara film Tjorak Dunia.

Ada total 13 film yang digarap oleh Bachtiar. Film pertamanya berjudul Kabut Desember (Mist Desember) tahun 1955. Namun, film tersebut tidak terlalu diminati penonton Indonesia, sebab harus segera diterbangkan ke Cekoslowakia, Polandia, dan Tiongkok. Sebelum Kabut Desember, pada 1950, di kantor kecilnya, Grand Hotel, Medan, Bachtiar pernah melakukan eksperimen membuat film dengan judul Musim Badai. Namun, film tersebut gagal total sebab terjerat masalah keuangan dan ekonomi yang tidak baik saat itu. 

Film-film lain karya Bachtiar, antara lain berjudul Turang, Tjorak Dunia, Melati Sendja, Notaris Sulami, Piso Surit, Violetta dan film terakhirnya berjudul Sekedjap Mata. Namun, dari semua film karya Bachtiar, Violetta menjadi satu-satunya film miliknya yang selamat dari pemusnahan karya-karya sutradara kiri pada peristiwa berdarah tahun 1965 dan masih dapat dinikmati secara utuh hingga saat ini. 

Padahal, tidak semua film yang digarap oleh Bachtiar berbau kiri atau komunis. Misalnya saja film Piso Surit, sebuah film romantis tentang percintaan mahasiswi dan tukang kuda. Begitu pun Turang, yang menceritakan tentang kisah revolusi yang menarik. Film Turang banyak mendapat apresiasi. Karena penggambarannya yang sejalan dengan cita-cita revolusioner bangsa yang baru saja merdeka, dan kemampuan Bachtiar menyerap pengaruh neorealisme pada film-filmnya.

Sepanjang aktif dalam dunia perfilman, Siagian juga kerapkali menulis di berbagai media massa, khususnya tentang perfilman serta hal-hal yang berhubungan dengan dunia perfilman seperti kritik film, "pelajaran sinematografi", dan lain sejenisnya. Bachtiar pun dikenal sebagai Ketua Lembaga Film Indonesia (Lekra).

Sementara itu, di tahun-tahun aktifnya menyelami dunia perfilman, Siagian seringkali berselisih dengan kepemimpinan PKI. Film-filmnya kerapkali bertabrakan dengan Badan Sensor. Salah satunya, adalah Daerah Hilang yang mendapatkan gunting sensor dari pemerintah sehingga tidak bermakna apa-apa. Secara komersial Daerah Hilang dianggap gagal. Lembaga sensor menganggap bahwa karya Bachtiar Siagian ini terlalu ekstrim dalam menggambarkan kesenjangan sosial. Selain itu, kritik terhadap penggusuran atas nama pembangunan cukup keras. Hal ini tidak sejalan dengan proyek pemerintah Orde Lama yang ingin membuat kawasan-kawasan elit baru, termasuk Kebayoran Baru.

Terlepas dari kerja kerasnya yang berdarah-darah, Pada 1960, Bachtiar Siagian meraih Piala FFI sebagai Sutradara Terbaik pada tahun 1960 untuk karya filmnya yang berjudul Turang. Kemudian pada 2016, Siagian mendapat penghargaan Anugerah Kebudayaan untuk Kategori Pencipta, Pelopor, dan Pembaru dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Siagian dinilai sebagai salah seorang pembaharu dalam penyutradaraan dan penulisan skenario film yang berlandaskan realitas sosial sebagai kekuatan ekspresi. Namun, sayang sekali, film-film terbaik Bachtiar seolah menghilang dari sejarah. Bahkan anaknya Bunga mengaku tidak dapat menemukan keseluruhan karya-karya terbaik Ayahnya. Para penikmat seni dan sastra pun berpendapat bahwa karya-karya Bachtiar Siagian sangat sulit dicari, seolah-olah karya-karyanya menghilang tanpa bekas. 

Sementara itu, tahun 1998 kesehatan Siagian mulai menurun. Sutradara penuh perjuangan ini kemudian menghembuskan napas terakhirnya pada 19 Maret 2002 dan disemayamkan di Kalimulya, Depok, Jawa Barat. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun