Di depan ruang tunggu sekelompok besar pemuda dan pemudi duduk berbaris-baris. Seorang terlihat lelah menanti, sebagian lain nyenyak di atas kursi. Seorang dari yang banyak tiba-tiba sadarkan diri. Bangun. Dia mengeluh, menumpahkan isi hati. Seorang yang lain pun bangun, angkat kaki dan pergi. Dia pulang sambil maki-maki. Yang lain mencoba untuk tetap tegar. Mencoba untuk sabar menanti. Salah satunya aku sendiri.
Itu kisahku beberapa tahun silam di senayan. Ketika aku harus turut mengantre sebelum masuk mengikuti testing pegawai negeri. Sebuah kisah sial, yang sudah sejak itu aku menjadi membenci menjadi pegawai negeri (mungkin seumur hidupku)
Kisahnya. Beberapa bulan sebelum hari itu kudengar kabar ada testing pegawai negeri. Bersamaan dengan berita tentang itu, muncul pula berita lain. Bahwa jika hendak menjadi pegawai negeri di kota sebesar Jakarta, maka kita harus menyiapkan banyak duit. Berapa? Sepuluh juta? Dua puluh juta, puluhan juta dan bahkan ratusan juta? Ah, ada-ada saja. Tapi kabar yang beredar seperti itu. Hal itu diperkuat dengan contoh-contoh kasus yang disampaikan dalam kabar-kabar itu juga.
Padahal ketika itu, duit makan saja aku tidak punya. Di kos-kosan setiap hari hanya makan kerak nasi. Itu jika mungkin. Jika tidak, maka aku harus berlari-lari bersama metro mini ke sana dan ke mari untuk mendapatkan beberapa keping ‘kring’. Recehan.
Nah, jika hendak menjadi pegawai negeri aku harus membeli, apa yang bakal terjadi. Apakah aku harus menggadaikan diri? Tidak mungkin. Sudah sejak itu aku menjadi ‘alergi’ dengan namanya menjadi pegawai negeri. Bukan hanya karena begitu tololnya si peminta duit, tetapi juga aku tidak sudi mengorbankan ke-sarjaana-an yang telah kuperjuangkan selama empat tahun lebih hanya gara-gara menjadi pegawai negeri yang selanjutnya pekerjaan utamanya adalah korupsi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H