Mohon tunggu...
nadia anthony
nadia anthony Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa ilmu politik universitas padjadjaran

mahasiswa ilmu politik universitas padjadjaran

Selanjutnya

Tutup

Politik

Indonesia dan UUD 1945 : Mengapa Kita Berjarak dari Nilai Dasar Konstitusi

26 Desember 2024   21:28 Diperbarui: 26 Desember 2024   21:31 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Nadia Anthony, Husin M. Al-Banjari

Amandemen Undang Undang Dasar 1945 merupakan salah satu hal penting dalam sejarah kenegaraan Indonesia. Urgensitas untuk menyesuaikan konstitusi dikarenakannya perkembangan zaman dan memperbaiki kelemahan-kelemahan yang ada. Selama ini hanya batang tubuh dari Undang-Undang Dasar 1945 yang diubah untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman,
bagaimana dengan pembukaan Undang-Undang Dasar 1945? Pembukaan yang tidak pernah di ubah sejak berdirinya Indonesia dikarenakan alasan historis dimana pembukaan tersebut tidak bisa diubah, tetapi sebanyak empat kali batang tubuh nya diubah-ubah dalam kurun waktu yang cukup dekat. Amandemen seharusnya secara menyeluruh karena apabila hanya batang tubuhnya saja, maka pembukaan dan isi dari Undang-Undang 1945 sudah sangat jomplang dengan eksistensinya yang ada di Indonesia. Perlu adanya kajian ulang mengenai amandemen ini.

Pembahasan mengenai amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 terus menjadi topik yang hangat di Indonesia. Sejak pertama kali diamandemen pada era Reformasi, UUD 1945 telah mengalami perubahan signifikan, terutama pada batang tubuhnya. Namun, apakah amandemen ini sudah cukup relevan? Apakah perubahan hanya pada batang tubuh tanpa menyentuh Pembukaan UUD 1945 sudah mencerminkan kebutuhan bangsa saat ini? Berikut adalah beberapa poin refleksi yang dapat menjadi bahan diskusi.

Amandemen UUD 1945 telah berlangsung selama beberapa dekade, namun prosesnya cenderung parsial dan tidak menyeluruh. Salah satu alasannya adalah kehati-hatian dalam menjaga fondasi konstitusi negara. Banyak pihak khawatir bahwa perubahan besar-besaran dapat mengganggu stabilitas politik dan ideologi bangsa. Namun, kehati-hatian ini justru menimbulkan pertanyaan: apakah kita terlalu takut berubah hingga mengorbankan relevansi konstitusi dengan perkembangan zaman?

Sejauh ini, amandemen UUD 1945 hanya menyentuh batang tubuh, sementara Pembukaan tetap dibiarkan utuh. Hal ini terjadi karena Pembukaan dianggap sebagai bagian sakral yang tidak boleh diubah. Namun, jika kita melihat relevansi isi Pembukaan dengan kondisi saat ini, ada banyak hal yang perlu dikaji ulang. Misalnya, apakah cita-cita yang tertuang dalam Pembukaan masih sesuai dengan tantangan globalisasi dan dinamika masyarakat modern?

Jika kita serius ingin melakukan amandemen, maka tidak cukup hanya mengubah batang tubuh. Pembukaan UUD 1945 juga perlu dikaji ulang agar lebih relevan dengan konteks zaman. Misalnya, konsep "kemerdekaan" dan "keadilan sosial" dalam Pembukaan harus diterjemahkan ke dalam kebijakan yang lebih konkret dan aplikatif untuk menjawab tantangan masa kini. Tanpa revisi pada Pembukaan, amandemen batang tubuh saja terasa seperti tambal sulam tanpa arah yang jelas.
 
Ada pula pandangan bahwa jika kita ingin mempertahankan UUD 1945 sebagai warisan sejarah bangsa, maka sebaiknya tidak ada amandemen sama sekali. Mengubah sebagian tetapi tetap mempertahankan bagian lain menciptakan ketidaksesuaian antara konsep dasar dan implementasi. Ini ibarat seseorang dengan tubuh muda tetapi kepala sudah tua---sebuah ketidakharmonisan yang membuat bangsa sulit bergerak maju.

Jika kita merujuk pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila, Indonesia seharusnya menjadi bangsa yang menjunjung tinggi musyawarah dan perwakilan. Namun, realitas demokrasi kita saat ini justru bertentangan dengan nilai-nilai tersebut. Pemilihan presiden (pilpres) dan kepala daerah (pilkada) dilakukan secara langsung, bukan melalui mekanisme musyawarah atau perwakilan sebagaimana diamanatkan oleh sila keempat Pancasila.

Selain bertentangan dengan nilai musyawarah, pemilihan langsung juga menimbulkan biaya politik yang sangat besar. Kampanye pilpres dan pilkada membutuhkan anggaran triliunan rupiah yang seharusnya bisa dialokasikan untuk pembangunan nasional. Jika kita benar-benar ingin menerapkan sila keempat Pancasila, mengapa tidak kembali ke mekanisme perwakilan yang lebih hemat biaya dan sesuai dengan jati diri bangsa?

Amandemen UUD 1945 adalah isu kompleks yang membutuhkan kajian mendalam. Jika ingin melakukan perubahan, maka harus dilakukan secara menyeluruh, termasuk pada Pembukaan UUD 1945 agar lebih relevan dengan zaman. Namun, jika memilih untuk mempertahankannya tanpa perubahan berarti, maka kita harus konsisten menjalankan nilai-nilai asli konstitusi tersebut tanpa kontradiksi.

Indonesia saat ini berada di persimpangan jalan: apakah akan terus bertahan pada tradisi lama atau berani mengambil langkah besar menuju pembaruan? Pilihan ada di tangan kita sebagai bangsa untuk menentukan arah masa depan bersama.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun