Penyebaran dan penularan HIV/AIDS menjadi permasalahan di setiap daerah, banyak upaya dan usaha yang dilakukan untuk mencegah penularan HIV/AIDS. Di mata banyak orang HIV/AIDS saat ini masih dianggap sebagai penyakit yang menakutkan karena belum ditemukan obat yang dapat menyembuhkannya.
Pemahaman masyarakat yang baik dan benar tentang HIV/AIDS sangat diperlukan untuk meminimalisir stigma (cap buruk) terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS) yang berkembang saat ini. Odha tidak bisa terlepas dari stigma, masyarakat lebih mudah memberikan penilaian yang buruk terhadap Odha daripada memberikan penilaian yang baik. Apalagi saat ini penularan yang terbesar disebabkan karena perilaku seks, yaitu melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti.
Stigma yang berkembang di masyarakat menjadi tantangan bagi pihak-pihak yang terkait langsung dengan HIV/AIDS yaitu mengatasi penularan serta penyebaran penyakit tersebut. Bagi Odha stigma dapat menghambat proses pengobatan dan akses ke layanan. Semakin tinggi tingkat stigma di masyarakat, semakin banyak pula Odha akan menutup diri. Hal ini akan berdampak pada pengobatan dan pendampingan, Odha akan cenderung menarik diri. Hal seperti ini menjadi tantangan bagi program Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN). Diharapakan KPAN mempunyai metode khusus untuk pencegahan dan penularan HIV dan AIDS yang berhubungan dengan stigma.
Odha waria juga tidak lepas dari stigma masyarakat, di lingkungan keluarga sendiri masih ada stigma terhadap waria. Bisa dibayangankan bagaimana tekanan psikologis yang dihadapi Odha waria apabila hidupnya dikelilingi oleh stigma. Dalam kesempatan ini saya telah melakukan wawancara terhadap beberapa orang tentang stigma Odha waria. Dari hasil wawancara dapat saya simpulkan, bahwa stigma terhadap Odha waria yang terjadi di masyarakat, yaitu:
- Masyarakat takut tertular apabila berdekatan dengan Odha waria
- Masyarakat punya rasa “jijik” terhadapat Odha waria
- Masyarakat memandang hina terhadap Odha waria
- Masyarakat masih beranggapan bahwa penularan HIV hanya disebabkan oleh hubungan seks saja
Jika masyarakat masih memandang miring terhadap Odha, maka hal ini dapat menjadi “bom waktu” yang siap meledak. Stigma harus segera diminimalisir agar tidak menghambat program pencegahan dan penularan HIV/AIDS yang selama ini sudah dijalankan oleh KPAN. Melihat stigma yang ada di dalam masyarakat, saya akan mencoba memberikan solusi untuk meminimalisir stigma-stigma yang berkembang di masyarakat.
- Sosialisasi HIV/AIDS berdasarkan karakteristik kedaerahan. Sering kita jumpai kalimat ”Sosialisai HIV/AIDS yang baik dan benar”. Saya tidak menyalahkan argumen tersebut, tetapi yang “baik dan benar” itu seperti apa? Apakah penyampaian materi yang baik dan benar sudah dapat menjawab untuk pencegahan dan penularan HIV/AIDS? Kita harus jeli dalam menyampaikan informasi itu kepada siapa dan kita juga kita berada di daerah mana. Misalkan:
- Di suatu wilayah yang sebagai besar masyarakatnya tidak begitu paham dengan bahasa Indonesia karena bahasa sehari-hari yang digunakan bahasa daerah lokal, apakah kita akan memaksakan memberikan informasi dengan bahasa Indonesia? Penyampaian informasi justru tidak akan tepat sasaran, dan masyarakat tidak akan paham dan mengerti apa yg disampaikan oleh
- Pemberian informasi juga harus melihat komunitas apa yang akan kita jumpai. Misalakan pada saat kita memberikan informasi kepada preman, apa gaya bahasa yang kita berikan akan sama dengan kita memberikan informasi kepada komunitas pelajar. Gaya dan logat bahasa kita juga berpengaruh terhadap informasi yang kita sampaikan kepada komunitas.
- Sosialisasi melibatkan masyarkat lokal, hal ini akan lebih efektif dalam penyampaian dan informasi lebih mudah diterima oleh masyarakat sekitarnya.
Kita tidak bisa menyalahkan masyarakat andaikata masyakat tidak mengerti dan paham apa yang mereka terima tentang HIV/AIDS. Sosialisasi yang bersifat kedaerahan sangat diperlukan dan harapan saya agar pemangku kepentingan untuk masalah HIV/AIDS bisa menemukan metode yang tepat bagi semua lapisan masyarakat.
- Pemberdayaan Odha lokal di masyarakat tanpa membuka status HIV-nya. Membantu masyarakat tidak ada rugi nya, kita harus mulai mengetahui permasalahan yang ada di dalam masyarakat. Suatu misal, buta aksara di daerah tempat kita tinggal masih cukup tinggi, kita bisa melibatkan Odha lokal tanpa membuka status nya untuk memberikan les kepada mereka. Dalam proses pemberdayaan ini, kita bisa menggunakan istilah “sambil menyelam minum air”. Di samping kita membantu masyarakat, kita juga bisa memberikan informasi tentang HIV/AIDS. Dua pekerjaan yang sangat berguna bagi masyarkat dan untuk Odha nya sendiri.
Harapan saya, di Pernas AIDS V Makasar kalangan yang terkait langsung dengan HIV/AIDS bisa duduk bersama-sama untuk mencari metode pemberian informasi yang tepat. Semakin banyak masyarakat yang paham dan mengerti tentang HIV/AIDS secara benar, maka stigma Odha akan dapat diminimalisir. ***
Foto: suasana wawancara (Dok Nadia Andjani)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H