Dari perspektif budaya, kemacetan di pulau Bali merupakan penanda perubahan sosial masyarakat yang dulunya sebagai masyarakat rural (pedesaan) menjadi masyarakat urban (perkotaan). Beberapa daerah di pulau Bali seperti Kuta, Seminyak, dan Legian yang tadinya adalah wilayah desa dan persawahan yang sepi dalam tiga dekade berubah menjadi daerah yang padat, sibuk, dan macet.Â
Langkah yang dapat diambil untuk mengatasi masalah kemacetan yang ada di pulau Bali ini bisa mulai dilaksanakan oleh masyarakat penduduk Bali itu sendiri. Seperti untuk para pengusaha sewa kendaraan bermotor, sebaiknya sebelum mereka menyewakan kendaraan kepada wisatawan, pihak pemilik sewa memberi tahukan apa saja peraturan-peraturan lalu lintas di Bali yang perlu dipatuhi dan tidak boleh dilanggar agar para wisatawan mengetahui akan adanya peraturanperaturan tersebut.Â
Pihak polisi dan pengatur jalan lalu lintas pun sebaiknya berani untuk menindak tegas para pelanggar lalu lintas. Dengan penerapan sanksi yang tegas, diharapkan itu dapat membuat pelanggar lalu lintas jera dan tidak mau mengulanginya lagi. Yang terakhir dan yang paling penting, untuk mengatasi masalah kemacetan yang ada di pulau Bali ini, masih sangat diperlukan kesadaran dari para wisatawan itu sendiri. Wisatawan mau tidak mau harus mau ikut mematuhi seluruh aturan berlalu lintas yang ditetapkan di daerah Bali.Â
Wisatawan juga harus mengetahui apakah mereka benar-benar butuh menggunakan kendaraan saat perjalanannya atau tidak. Apabila jarak tempat destinasi yang akan dituju cukup dekat, sebaiknya wisatawan pergi dengan berjalan kaki saja.Â
Mengamati perkembangan pariwisata di Bali, terlihat jelas bahwa trend pariwisata di Bali bergerak mengikuti trend wisata dunia. Wilayah Selatan Bali adalah sebuah kasus di mana pariwisata berkembang mengikuti selera pasar yakni selera wisatawan atau turis barat. Tumbuhnya pusat-pusat hiburan seperti night club, cafe, dan sejenisnya membuktikan dunia malam atau night life sudah menggejala di Bali Selatan.Â
Sebuah keadaan yang sangat berbeda dengan kondisi tiga puluh tahun lalu. Dulu masyarakat penduduk Bali yang bersahaja tidak memiliki banyak aktivitas di malam hari. Kaum Wanita tinggal di rumah, para pria berkumpul menghabiskan waktu untuk sekedar mengobrol atau membahas lontar.Â
Saat ini suasana seperti itu sudah sulit ditemukan di pulau Bali. Malam yang dulunya sepi dan tenang kini berubah menjadi gemerlap cahaya lampu-lampu diskotik dan suara hingar binger musik sebagai penanda kehidupan malam di Bali. Jelas bahwa gaya hidup yang ditunjukkan oleh masyarakat Bali kontemporer bukan berasal dari budaya asli tradisional Bali, melainkan karena adanya pengaruh budaya asing yang lebih menonjolkan permukaan diri dari pada sisi ini.Â
Alangkah baik jika para wisatawan asing yang datang untuk berwisata ke pulau Bali dapat menempatkan diri dan menyadari akan kebudayaan asli tradisional Bali yang jelas berbeda dengan kebudayaan mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H