Mohon tunggu...
Nadia Rochadhatul Aiys
Nadia Rochadhatul Aiys Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

seorang mahasiswa yang mempunyai hobi membaca

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Pengakuan Hukum dan Perlindungan Adat Istiadat Batak Toba

31 Maret 2024   10:05 Diperbarui: 31 Maret 2024   10:08 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Sebagian besar orang Batak tinggal di Sumatera Utara, dan mereka bersifat patrilinial, yang berarti mereka berasal dari pihak laki-laki atau bapak. Menurut Hilman Hadikusuma, suku Batak  terdiri dari enam subsuku: Batak Toba yang tinggal di sekitar Danau Toba, Batak Karo yang tinggal di sekitar Kabanjahe, Batak Simalungun yang tinggal di sekitar Simalungun atau Pematang Siantar, Batak Pak-Pak yang tinggal di Sidikalang, Batak Angkola yang tinggal di sekitar Angkola, dan Batak Mandailing yang tinggal di sekitar Tapanuli Selatan.

Entitas Sosial Masyarakat Adat dan Keterkaitannya dengan Tanah Ulayat

Adat adalah konsep yang digunakan untuk mendefinisikan entitas sosial yang memiliki hubungan tanah. Pengaturan tanah memengaruhi struktur sosial seperti bis, portalian, golat, huta, marga, dan horja. Bius, menurut Ypes, adalah unit teritorial superior yang terdiri dari bius na bolon yang hebat dan bius na metmet yang kecil, di mana beberapa marga tinggal bersama. Fokus utamanya adalah ritualistik, yaitu mengatur upacara syukuran tahunan yang berkaitan dengan siklus pertanian untuk menjamin keberhasilan penanaman dan pemanenan. Setiap bius memiliki kelompok marga, atau kelompok garis keturunan, yang disebut marga.

Prinsip konvensional menerima bahwa ada hubungan antara manusia dan tanah, dan kemudian menghubungkannya dengan hubungannya dengan makhluk tertinggi. Persatuan tanah terkait dengan kelompok orang yang saling berhubungan berdasarkan garis keturunan laki-laki. 

Kelompok ini menyembah dan memuja orang tua yang sama, seperti yang dikatakan dalam pepatah, "Si runggu, si tata." Ada perdebatan di si hita juguk. Artinya, orang percaya bahwa mereka memiliki hubungan langsung dengan Tuhan dan roh nenek moyangnya di tanah tempat mereka tinggal. Orang-orang menggambarkan hubungan segitiga antara tanah, orang, dan pemujaan leluhur.

Aturan keanggotaan marga dalam wilayah marga sangat rumit bagi seorang wanita. Ada dua faktor yang menentukan apakah seseorang memiliki hak akses tanah yang kuat atau lemah: status perkawinan dan tempat tinggal setelah perkawinan. Seorang wanita pada dasarnya memiliki hak atas tanah marga ayahnya karena sebelum menikah dia menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari marga ayahnya. Setelah menikah, seorang wanita mengaitkan dirinya dengan marga suaminya, tetapi dia tetap dikenal sebagai anak perempuan (boru) marga ayahnya. 

Jika dia menikah dan tinggal di huta marga suaminya, dia kehilangan hak untuk memiliki tanah ayahnya sementara dia secara bertahap memperoleh dan mengembangkan hak baru untuk memiliki tanah suaminya sementara dia menjadi tua dan memiliki anak perempuan dan menantu laki-laki. Jika tidak ada, kemungkinan memperoleh hak akses yang lebih kuat ke tanah suaminya dapat dibatasi oleh faktor-faktor ini.

Pengakuan Masyarakat Hukum Adat Menurut Peraturan Perundang-undangan

Jika kita ingin mempelajari mekanisme pengakuan masyarakat hukum adat, kita harus mempertimbangkan undang-undang yang mengatur keberadaan masyarakat hukum adat. Beberapa undang-undang yang dimaksud antara lain:

  • Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Beberapa undang-undang sebenarnya sudah mengatur masyarakat hukum adat. Menurut Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang juga dikenal sebagai UUPA, Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang ini menetapkan bahwa kekayaan alam bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, pada tingkat tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat, sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 33 ayat (3) UUD dan hal-hal yang disebutkan dalam Pasal 1.
  • Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Sejalan dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, yang merupakan landasan konstitusional yang mewajibkan agar bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, penyelenggaraan kehutanan harus dilakukan dengan mengutamakan keuntungan dan kelangsungan hidup, kerakyatan, keadilan, dan berkelanjutan. Pemerintah memiliki otoritas untuk mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan; menetapkan dan mengubah status kawasan hutan; mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang dengan hutan atau kawasan hutan dan hasil hutan; dan mengatur perbuatan hukum mengenai hutan. Ini terjadi meskipun hutan bukan milik pribadi. Selain itu, pemerintah memiliki kewenangan untuk memberikan izin dan hak kepada pihak lain untuk melakukan bisnis yang berkaitan dengan kehutanan. Namun, dengan izin Dewan Perwakilan Rakyat, pemerintah harus mempertimbangkan keinginan rakyat untuk tindakan tertentu yang penting, besar, luas, dan strategis.
  • Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sebelum negara Indonesia dibentuk pada 17 Agustus 1945, masyarakat adat ini sudah ada. Setiap dari mereka memiliki hukum adatnya sendiri. Masyarakat memiliki banyak bentuk dan struktur. Desa di Jawa dikenal sebagai Lembur di Sunda, Banjar di Bali, Nagari di Minangkabau, Banua di Kalimantan, Nggolok di Rote, Kuan di Timor, Wanua di Sulawesi, Huria di Madailing, Huta di Batak, Dusun di Palembang, Gampong dan Meunasah di Aceh, dan sebagainya. Komunitas-komunitas ini telah ada, hidup, dan melakukan aktivitas sosial kemasyarakatannya selama ratusan bahkan ribuan tahun. Dengan menyebarkan nilai dan tradisi yang telah diwariskan dari generasi ke generasi, komunitas tersebut tidak hanya dapat memenuhi kebutuhan untuk berbagai fungsi politik, ekonomi, dan hukum, tetapi juga dapat mempertahankan eksistensinya sendiri.
  • Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa. "Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang," menurut Ayat 2 Pasal 18 B UU Negara Republik Indonesia 1945. Banyak undang-undang desa telah dibuat selama bertahun-tahun. Beberapa di antaranya adalah Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok Pemerintahan Daerah. Untuk mempercepat pembentukan daerah tingkat II di seluruh wilayah Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 Tentang Desa Praja adalah undang-undang transisi seperti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 Tenta 1ng Pemerintahan Desa, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah, dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.

Pengaturan seperti ini menunjukkan bahwa negara mengakui keberadaan suku Aborigin di tanah air mereka sendiri. Namun, masalah berikutnya muncul karena pengakuan yang diharapkan belum sepenuhnya diterapkan di tingkat daerah. Oleh karena itu, diperlukan peraturan praktis untuk melindungi dan mengakui eksistensi Masyarakat Hukum Adat Batak Toba. Ini akan memastikan keberlangsungan dan pelestarian budaya lokal di masa mendatang.

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun