Mohon tunggu...
Yuda Rangga
Yuda Rangga Mohon Tunggu... Guru - nadhratul asri adalah Yang berbeda

"berjuang menggenggam malam dengan pagi, berusaha untuk slalu bersyukur dan sabar"

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kepala Desa Muda yang Cinta Bahasa

28 April 2011   22:22 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:17 482
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menjadi seorang pemimpin adalah tuntutan kita dari Sang Pencipta, minimal memimpin diri kita sendiri. Kita di berikan akal untuk berfikir, serta hati untuk merasakan. Maka dari itu amanah memimpin bumi Tuhan berikan kepada kita, manusia. Namun menjadi pemimpin yang baik tidaklah mudah. Terutama jika harus memimpin rakyat yangbanyak jumlahnya seperti di Negara kita ini, Indonesia.

Tapi sebuah pengalaman telah mengajari saya dengan baik. Bahwa menjadi pemimpin haruslah penuh tanggung jawab dan mau turun tangan membantu rakyatnya yang membutuhkan, serta mencintai budaya Negara nya sendiri. Hal ini yang di berikan oleh bapak Agus, seorang Kepala Desa Sawangan, kec. Pakis, kab. Magelang, Jawa Tengah.

Ini adalah kisah lama saat saya sedang bekerja dinas keluar kota pada bulan Oktober 2009 di daerah Jawa Tengah, lebih tepatnya Daerah Istimewa Yogyakarta dan sekitarnya. Saat itu saya bekerja sebagai teknisi antena VSAT untuk proyek MERAH PUTIH Telkomsel, yang mencakup seluruh Indonesia dari sabang sampai marauke. Singkat cerita, kantor saya memberikan tugas kepada saya untuk memasang telepon umum tanpa kabel (wireless) di salah satu “Desa Berdering” terpilih, yakni di Desa Sawangan, kec. Pakis, kab. Magelang.

Itu kali pertamanya saya pergi ke Jawa Tengah. Jadi saya masih tidak tahu jalan. Beruntunglah orang-orang jogja baik sekali. Bahkan tukang ojeknya pun sangat ramah kepada saya. Saat saya bertanya alamat desa Sawangan, hampir semua tukang ojek di sana mengetahui jalan ke desa tujuan saya. Tapi mereka tidak mau rebutan mengambil penumpang. Sudah di atur dengan urutan yang sudah mereka tetapkan sendiri.

[caption id="attachment_103950" align="alignleft" width="150" caption="Dok.Pribadi - Kebun Desa Sawangan"][/caption]

Sesampainya di sana, saya langsung di sambut oleh Kepala desa dan warganya. Walau terhitung desa yang cukup banyak penghuninya, namun desa Sawangan ini termasuk desa yang tenang dan tentram. Dari 167 Keluarga, hampir 50% mata pencahariannya adalah berkebun. Sisanya pedagang, pegawai negeri dan terakhir guru. Setelah berkenalan dengan bapak Agus, sang kepala desa ini pun mengajak saya untuk berkeliling desa melihat kebun dan juga pemandangan sekitar. Luar biasa, ternyata Indonesia memiliki pemandangan alam yang sangat indah di tanah Jawa ini.

1304026988895218359
1304026988895218359

[caption id="attachment_103955" align="alignright" width="150" caption="Dok.Pribadi - Luar biasa!"]

1304027909113031859
1304027909113031859
[/caption]

Saya juga di ajak berkeliling dengan motor pak Agus. Dan tidak hanya pemandangan alamnya saja yang menakjubkan, tapi orang-orangnya juga hebat. Mereka berjuang keras membawa hasil panen kebun mereka yang melimpah ke pasar hanya dengan sebuah mobil bak tua. Namun ada hal yang sangat di sayangkan, yakni ada beberapa ibu-ibu yang menaiki hasil panen menggunung di mobil bak itu tanpa pengaman sama sekali. Hal itu cukup berbahaya bagi dirinya juga pengguna jalan sekitar.

*****

Hari pertama disana saya habiskan untuk berkeliling desa juga berkenalan dengan beberapa warga desa. Jadi belum mulai bekerja. Malamnya, setelah pak Agus memberi tau letak kamar tidur saya, beliau mengajak saya untuk berbincang-bincang tentang Indonesia. Beliau menyatakan bahwa sebenarnya beliau tidak mau menjadi kepala desa, karena amanahnya begitu berat.

“aku iki wong cilik, mas yuda. Rasanya aku gak sanggup untuk memimpin warga di sini dengan baik. Masih banyak kekurangan.” Ujarnya kepadaku. Padahal menurut saya, di zaman susah seperti sekarang ini banyak orang-orang yang berebut untuk menjadi pejabat. Tapi ternyata tidak dengan beliau. Umur beliau masih termasuk muda, yaitu baru 32 tahun. Tapi saya terkejut ketika mendengar semangat beliau untuk melestarikan bahasa Jawa dan Indonesia.

“Sebagai guru, aku melihat banyak murid–murid ku yang lebih tertarik belajar bahasa inggris dari pada bahasa Indonesia. Wong terlihat dari nilai mereka, banyak yang jeblok saat ada ulangan bahasa Indonesia. Sedangkan bahasa inggris lebih sering tinggi nilainya. Padahal bahasa daerah dan negri sendiri harusnya di lestarikan.” Tuturnya. Mendengar percakapan semakin hangat, saya pun berupaya untuk mencatat jawabannya kedalam buku catatan. Saya juga sempat bertanya, mengapa beliau begitu antusias melestarikan bahasa Indonesia. Dengan kesederhanaannya beliau menjawab.

“Aku terinspirasi dari sosok bung karno, yang menjadi penyambung lidah rakyat. Dia pemimpin agung yang pernah ada di Negara ini. Dia bangga pada Negara nya, juga bahasa nya sendiri, bahasa Indonesia. Aku juga setuju dengan kalimatnya yang ini ‘..Bangsa yang tidak percaya kepada kekuatan dirinya sebagai suatu bangsa, tidak dapat berdiri sebagai suatu bangsa yang merdeka’.”

***

Ke esokan harinya, saya langsung mengabarkan pak Agus bahwa pagi ini saya akan mulai bekerja memasang jaringan VSAT di Kantor Desa Sawangan. Beliau mempersilahkan saya untuk mulai bekerja. Pak Agus juga meminta maaf karena baru bisa membantu saat siang nanti, setelah ia selesai mengajar dan rapat di kantor kecamatan. Tapi dia mengatakan bahwa pekerjaan saya akan di bantu beberapa warga desa laki-laki yang kebetulan tidak sedang berkebun.

Siang harinya, saat saya masih memasang tiang penyanggah utama parabola bersama dengan beberapa warga desa laki-laki yang membantu, beliau datang dengan masih memakai seragam kerjanya.

“Sek..sek yo.. aku biar ganti baju desek. Nanti pasti ta’ bantu, hehehe..” ucapnya penuh senyuman yang ceria. Selang lima menit, langsung saja beliau siap dengan kostum sederhananya : Kaos, Topi dan juga Sarung. Kami berlima pun gotong royong memasang antenna untuk jaringan telepon di samping Kades(Kantor Desa) Sawangan. Setelah tiang utama dan piringan parabola terpasang, masalah pun datang. Ternyata saya kurang teliti menghitung putaran maskimal azimuth antenna, sehingga piringan antenna bisa berbentur atap Kantor desa sebelum mendapatkan sinyal yang cukup untuk membuat jaringan.

“Waduh, piye iki pak? Parabolanya mentok dengan kerangka genteng. Bisa-bisa mengke ora dapet sinyal” ujar saya dengan bahasa campuran Indonesia-Jawa. Beberapa warga yang membantu dan pak Agus pun memandang saya, serta tertawa ringan mendengar saya bisa berbahasa jawa. Tak habis akal, ternyata pak Agus punya ide cemerlang. Beliau pamit sebentar menuju rumahnya. Saat ia kembali, ternyata ia membawa gergaji kayu.

“Untuk apa itu pak?” tanya saya.

“Ya untuk memotong kerangka genteng ini lah mas yuda..” jawabnya singkat sambil menyuruh warga desa mengambil tangga di gudang belakang. Tanpa basa-basi dan perintah, dia langsung naik tangga untuk memotong kerangka genteng kantor desa.

“Wah pak, jangan bapak yang naik. Biar saya saja..” pinta saya tak tega melihat pak Agus yang mengerjakannya.

“Wah.. tidak usah mas yuda.. ini kerjaan saya. Tenang saja..”. Akhirnya beliaulah yang turun tangan membantu pekerjaan saya.

13040273431784699164
13040273431784699164
***

Hari ketiga jaringan sudah online. Sehingga saya bisa langsung pamit sore harinya. Namun sebelum pamit, pak Agus sekali lagi mengajak saya berkeliling desa, tapi kali ini tidak menggunakan motor. Bersama dengan sekertaris desa, bendahara dan juga penjaga kantor desa Sawangan, kami pun berpotret ria bersama dengan latar belakang perkebunan desa Sawangan.

[caption id="attachment_103954" align="aligncenter" width="538" caption="Dok.Pribadi - Personil Desa Sawangan dan Saya"]

13040274761027437122
13040274761027437122
[/caption]

Sore di hari ketiga sudah tiba, waktunya saya pamit menuju desa selanjutnya. Suasana haru memenuhi perpisahan kami. Walau pak Agus ini masih lajang atau belum berkeluarga, tapi di rumahnya banyak sekali saudara-saudaranya yang memang tinggal di situ. Sehingga perpisahan saya dengan Desa Sawangan begitu ramai yang menghadiri.

Saat aku menanyakan alamat desa selanjutnya kepada pak Agus, beliau mengingat sebentar lalu berkata “aku tau tempat itu mas.. yuk, aku antar kesana.” Mendengar tawaran pak Agus ini, saya jadi takjub dengan beliau. Sudah banyak pelajaran merakyat dari beliau yang saya dapatkan. Dari mulai semangatnya melestarikan bahasa Indonesia, juga mau untuk terjun langsung membantu rakyatnya yang membutuhkan. Salut untuk pak Agus, yang asli orang Magelang ini, orang Indonesia.

Kamipun berangkat ke desa Pakis dengan mengendarai motor. Sempat sebelum pergi jauh dari desa Sawangan, saya meminta fotonya di tiang penunjuk “TERSEDIA TELEPON UMUM” yang saya pasang kemarin. Tiang ini berguna bagi warga desa Sawangan agar tahu letak telepon umum dan juga adanya sinyal Telkomsel di desa yang termasuk pedalaman Magelang itu. (Yang fotonya ada di paling atas artikel)

Hanya dalam waktu tiga puluh menit, sampailah kami di desa Pakis, kec. Pakis, kab. Magelang. Ternyata pak Agus sudah kenal dengan beberapa warga desa ini, terutama keluarga pak Edy, Kepala Desa Pakis. Kami pun berbincang sebentar. Saya yang sudah bisa sedikit-sedikit bahasa jawa, mencoba berbincang dengan mereka. Derai tawa pun pecah saat itu, karena masih banyak penggunaan kata saya yang belum sesuai.

Usai bebrincang, pak Agus pun pamit meninggalkan kami. Tapi sebelum pak Agus pergi, saya menghampirinya untuk bersalaman dan memberinya ‘amplop’ sebagai rasa terima kasih saya karena sudah mau berbaik hati mengurus saya selama di desanya. Namun begitu murah hatinya beliau, dia menolak pemberian saya dengan sopan.

“Ojo gitu mas yuda.. aku iki ikhlas ko membantu sampean. Karena sampean juga sudah baik pada warga desa Sawangan. Matur nuwun yo…”

Beliau pun akhirnya pamit dengan di iringi salam dan suara deru motornya. Sampai saat itu pun aku masih terngiang senyum beliau yang begitu wibawa dalam menjalankan tugasnya menjadi pemimpin desa Sawangan.

Begitulah tiga hari bersama pak Agus, Kepala Desa Sawangan di Magelang. Sesorang pemimpin yang mengaku wong cilik, namun bangga dengan Negara dan bahasanya, Bahasa Indonesia tercinta. :-)

Semoga bermanfaat

Created by MasDa

29 April 2011, 4:11 AM

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun