Pernikahan adalah salah satu hal sakral yang penting dalam hidup seseorang. Menurut UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974, pernikahan adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Mengapa sakral? “Di era moderen ini ada masyarakat yang menganggap sebuah ikatan pernikahan sesuatu yang sederhana.
Ini berdampak pada rendahnya partisipasi masyarakat, keluarga maupun pasangan suami istri mempertahankan rumah tangga. Ini juga dipengaruhi situasi kekinian yang menganggap pernikahan sesuatu yang mudah sehingga perceraian juga mudah dilakukan,” kata Profesor Hamid yang dimintai tanggapannya terhadap liputan khusus Serambi edisi Minggu (14/2) berjudul ‘Banyak Istri Minta Cerai’.
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN), menyarankan usia 20-21 tahun untuk perempuan dan 25 tahun untuk laki-laki, sebagai batas usia pernikahan yang ideal.Tetapi ternyata masih banyak terjadi pernikahan di usia dini yaitu dibawah usia ideal seperti yang dipaparkan diatas. Contohnya adalah pernikahan dini yang terjadi di daerah Sulawesi Barat.
Hal ini diperlihatkan oleh hasil data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007 Sulawesi Barat menunjukan rata-rata usia kawin pertama berada pada usia 19,3 tahun dan hasil data SDKI 2012 menunjukan angka 19,1 tahun. Data ini menggambarkan adanya penurunan rata-rata usia kawin pertama (UKP) pada perempuan di Sulawesi Barat yang seharusnya angka ini harus dinaikkan.
Rendahnya usia kawin pertama perempuan di Sulawesi Barat berakibat pada tingginya angka kelahiran usia dibawah 20 tahun. Ini di tunjukkan dengan data SDKI 2007 bahwa angka Age Specifik Fertilitas Rate (ASFR) umur 15-19 tahun sebanyak 80 kelahiran dan SDKI 2012 naik menjadi 103 kelahiran per 1000 wanita umur 15-19 tahun, atau 10 kelahiran per 100 wanita atau 1 kelahiran per 10 wanita umur 15-19 tahun. Badan Pusat Statistik Sulawesi Barat tahun 2015 juga merilis data bahwa ada 11,58% wanita di Provinsi Sulawesi Barat menikah dibawah usia 16 tahun. Pun juga provinsi ini memiliki prevalensi terbesar di Indonesia untuk anak perempuan yang menikah di bawah usia 15 tahun.Berikut adalah sebuah contoh kasus yang dipaparkan oleh Unicef. Ia adalah Ani*, seorang wanita dari sebuah desa di Sulawesi Barat. Saat ini ia sedang membesarkan anak pertamanya dari seorang pria yang menikahinya. Tetapi baru satu tahun ternyata pernikahan tersebut kandas. Suaminya menceraikannya dan kini ia yang harus mengambil alih tanggung jawab atas anaknya.
Sebelumnya, ia adalah gadis yang cerdas yang bersekolah di bangku SMP. Ia ingin sekali kembali ke sekolah. Motivasinya untuk kembali ke sekolah sangat sederhana. Ia ingin sang anaknya kelak bisa belajar langsung mengenai banyak hal dari Sang Ibu. “Kalau bukan saya yang ajarkan, saya takut anak saya jadi tidak baik.” Jelas Ani. Keinginannya tersebut ia sampaikan kepada sang bapak. Karena rasa bersalah, orang tuanya pun menyetujui permintaan Ani. Saat ini mereka sedang berusaha mengurus proses administrasi agar Ani bisa masuk di Sekolah Satu Atap (SATAP): Program pemerintah yang didukung oleh UNICEF. Sementara menunggu proses tersebut, Ani menjadi pelayan toko di pasar dekat rumah.
Ternyata, ada beberapa penyebab yang mendorong mereka melakukan pernikahan dini. Penelitian terbaru yang dilakukan Plan International dalam rilis yang diterima Liputan6.com di Jakarta, Kamis (12/11/2015) membuktikan kuatnya tradisi dan cara pandang masyarakat, terutama di pedesaan, masih menjadi pendorong bagi sebagian anak perempuan menikah dini. Penelitian ini menunjukkan pernikahan anak, termasuk yang berusia 12-14 tahun, masih terjadi karena adanya dorongan dari sebagian masyarakat, orangtua, atau bahkan anak yang bersangkutan.
Hasil penelitian yang menjadi dokumen laporan Plan International bertajuk 'Getting the Evidence: Asia Child Marriage Initiative' ini dilakukan Plan dan lembaga penelitian berbasis di Inggris, Coram International di Indonesia, Banglades dan Pakistan.
Hasil penelitian menyimpulkan, penyebab utama pernikahan anak adalah rendahnya akses pendidikan, kesempatan di bidang ekonomi, serta kualitas layanan dan pendidikan kesehatan reproduksi, terutama untuk anak perempuan. Selain itu tingkat kemiskinan juga turut menentukan situasi pernikahan anak.
Sebuah survey membuktikan bahwa salah satu alasan orang tua menikahkan anaknya adalah karena jika anaknya melakukan pernikahan di usia muda/remaja (pernikahan dini) mereka sudah lepas tanggung jawab terhadap si anak karena sudah ada yang lebih bertanggung jawab. Anggapa-angapan inilah yang harus di hilangkan pada masyarakat indonesia bahwa pernikahan di usia muda atau pernikahan dini sangat membawa dampak negatif bagi negara indonesia.
Mengapa isu pernikahan dini menjadi krusial? Isu pernikahan dini adalah salah satu topik yang menjadi perhatian penting pada kerangka kerjasama Sustainable Development Goals. Pemerintah di seluruh dunia sudah bersepakat menghapus perkawinan anak pada 2030.