Kualitas pendidikan di Indonesia semakin dipertanyakan. Kita sebagai manusia sudah sewajarnya menuntut ilmu setinggi mungkin, bahkan jika harus mencarinya sampai ke ujung dunia. Namun menurut databoks, masyarakat Indonesia yang berusia di atas 15 tahun lebih memilih untuk tidak melanjutkan pendidikannya ke jenjang sarjana. Pada tahun 2023, tercatat 30,22% siswa di atas 15 tahun memilih untuk tidak melanjutkan pendidikannya setelah menyelesaikan Sekolah Menengah Atas (SMA). Sayangnya hanya 10,15% yang memutuskan untuk menempuh pendidikan mereka ke perguruan tinggi.
Terlepas dari data tersebut, pemerintah memfasilitasi mahasiswa dengan berbagai program. Salah satunya, mewadahi mahasiswa dengan beasiswa ke luar negeri melalui program Indonesian International Student Mobility Awards (IISMA) yang diresmikan sejak tahun 2021 di bawah kebijakan Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek).
IISMA sendiri merupakan peluang yang luar biasa untuk mahasiswa Indonesia yang nanti akan menentukan nasib Indonesia kedepannya. Program ini memiliki tujuan yang mulia, yaitu memberikan hak dan kesempatan untuk dijadikan pijakan bagi mahasiswa Indonesia yang ingin mengeksplorasi ilmunya ke jenjang internasional. Singkatnya, IISMA salah satu sarana untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
Akan tetapi, IISMA mulai menuai kontroversi di kalangan mahasiswa bahkan seluruh masyarakat Indonesia dengan julukan "big source, less impact". Julukan tersebut diberikan bukan dengan cuma-cuma, faktanya pada tahun 2020-2022 anggaran untuk program IISMA mencapai 399,43 miliar, angka tertinggi anggaran merdeka belajar kampus merdeka menurut Goodstats. Pasalnya banyak pendidikan di Indonesia belum merata, Bahkan bisa kita lihat dari jangkauan penerima beasiswa tersebut, sebagian besarnya adalah masyarakat menengah ke atas. Target jangkauan IISMA memang tidak dibatasi untuk golongan nterpilih, semua golongan memiliki kesempatannya.
Namun dilihat dari urgensinya, rasanya kurang ada kepentingan yang mendesak serta malah menunjukan kesenjangan hak untuk mendapatkan pendidikan yang tinggi bagi para mahasiswa menengah ke bawah. bahkan hal tersebut diperburuk dengan banyaknya mahasiswa penerima beasiswa yang terpilih, mengunggah ke khalayak ramai melalui media sosial mereka dengan menunjukan kehidupannya yang terkesan menghambur-hamburkan biaya yang didapatkan dari pemerintah.
IISMA sendiri mempunyai tahapan dan seleksi yang ketat, juga diperlukan banyak biaya untuk persiapan dokumen-dokumen yang diperlukan. Seperti tes TOEFL atau IELTS, pembuatan passport, SKBN, SKCK, Visa, Apostille, EPT, dan biaya lainnya. Menurut akun X @nottolatte kurang lebih biaya yang diperlukan untuk persiapan pendaftaran program beasiswa IISMA adalah 2,8 juta rupiah. Tentunya kalangan menengah ke atas mempunyai posisi yang lebih diuntungkan, mereka tidak merasa keberatan mengeluarkan banyak biaya hanya untuk persiapan pendaftarannya, bahkan mereka akan memiliki kesempatan dan peluang besar untuk lolos karena faktor pengalaman dan pengetahuan yang lebih unggul.
Kebanyakan dari mereka akan mengikuti kelas-kelas berbayar untuk mendapatkan tips dan trik melewati berbagai tahap penerimaan, biasanya kelas tersebut akan memberikan pengalaman sang moderator mengenai tes wawancara dan bagaimana cara menghadapinya. Maka tidak heran mengapa kalangan menengah ke atas cenderung memiliki peluang yang lebih tinggi untuk mendapatkan program IISMA.
Lalu bagaimana dengan kalangan menengah ke bawah? Mereka seharusnya juga memiliki peluang dan kesempatan belajar yang sama. Kesempatan tersebut hanya bisa digapai dengan kerja keras berkali-kali lipat dari yang lain. Wajar jika masyarakat berpikir bahwa program IISMA hanya memberikan kesempatan pada masyarakat menengah ke atas.
Aspek-aspek tersebut menjadi kritik keras terhadap pemerintah aliansi pendidikan. Pasalnya efektifitas dari program ini mulai dipertanyakan oleh masyarakat Indonesia, seperti yang dikatakan oleh @caleeida pada akun X nya "Dari semua program beasiswa atau exchange ya memang gue paling gak sreg sama IISMA. Barrier to entry jelas bias dan tinggi buat kelas menengah ke bawah. Target gak tepat dan impact minim, which is okay kalo negara ini bukan negara miskin. The thing is, it is,"
Hak pemerataan pendidikan bagi semua kalangan akan terpenuhi, jika pemerintah bisa memberikan kesempatan menuntut ilmu yang sama bagi semua kalangan. Namun nyatanya kalangan menengah ke atas lebih diuntungkan dari banyak aspek. Menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) yang dilaksanakan Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2021, menginformasikan bahwa usia 18-23 tahun, 21%nya memiliki akses ke perguruan tinggi. Bahkan pembagiannya pun tidak merata, kalangan terbawah hanya mencapai 10%, sedangkan kalangan teratas mencapai angka 50% yang dapat melanjutkan pendidikannya ke tingkat perguruan tinggi.
Anggaran yang dikeluarkan memang sangat besar, namun biaya untuk mendaftarnya pun juga besar, maka sangat disayangkan pembagian program ini menjadi tidak merata. Anggaran 400 miliar jadi terasa sia-sia karena yang mendapatkannya pun orang-orang yang bisa membiayai sekolah mereka dengan cukup, bahkan anggaran tersebut bisa menyekolahkan siswa yang tidak mampu secara finansial untuk melanjutkan sekolahnya.