Namanya Ibrahim, namun ia lebih dikenal dengan nama Tan Malaka. Keturunan Minang dan punya darah bangsawan.
Tan Malaka menjadi tokoh yang mewakili sejarah kisah dari sayap kiri di Indonesia. Di masa awal-awal pergerakan Partai Komunis Indonesia (PKI), ia aktif berkegiatan di sana. Di mancanegara, salah satu kiprahnya sebagai tokoh kiri adalah pernah menjabat sebagai wakil Komintern (Organisasi Komunis) di Asia Tenggara.
Poularitasnya di luar tanah air di antaranya karena langkahnya yang melanjutkan kuliah di negeri Belanda. Tan Malaka, banyak berkenalan dengan tokoh-tokoh politik di sana. Soal pendidikan, Tan Malaka berujar dan mengkritik anak muda lewat buku berkudul "Madilog".
Tulisan dalam buku ini menyoroti jika anak muda yang punya pendidikan tinggi, janganlah berpikiran jika mereka ekslusif. Mentang-mentang punya kesempatan pendidikan yang lebih banyak diberikan pada mereka, bukan artinya tak usah lagi melebur bersama masyarakat sederhana atau anak muda bercita-cita sederhana.
Baca juga:Â "Ibuku Pahlawanku", Sabar dalam Mendidik 5 Anak yang Memiliki Sifat yang Berbeda-bedaÂ
Latar belakang keluarga Tan Malaka
Darah bangsawan yang Tan Malaka milikki didapat dari sang Ibu yang merupakan keturunan Minangkabau yang memiliki budaya matrilineal. Itu sebabnya, ia juga memiliki gelar "Datuk" yang diberikan padanya di tahun 1913. Maka dari itu, ia sering dianggap sebagai privilese.
Tan Malaka dan keterlibatannya dengan dunia politik
Dijelaskan dalam buka Tan Malaka: Sebuah Biografi Lengkap yang ditulis Masykur Arif Rahman, di tahun 1916 Tan Malaka disebutkan mulai mengikuti Indische Vereeneging. Saat itu organisasi ini diketuai oleh Ki Hadjar Dewantara dan Mangunkusumo. Ia aktif ikut rapat dan berdiskusi membahas kemerdekaan di organisasi ini.
Di tahun 1917, ia mulai banyak berkenalan dengan tokoh-tokoh kiri, seperti Heenk Sneevliet, yang berasal dari Rusia. Tan Malaka kembali dari Hindia Belanda pada tahun 1919. Kepulangannya ini tertahan selama beberapa lama, akibat pecahnya Perang Dunia I.
Menempuh pendidikan ke luar negeri, kepulangan Tan Malaka dianggap sebagai pemuda sukses oleh keluarga dan guru semasa sekolahnya. Oleh karena itu ia disarankan untuk mengajar anak-anak buruh di Deli. Di masa itu Deli punya julukan sebagai "Tanah Emas" karena menghasilkan keuntungan.
Namun, bagi Tan ungkapan ini hanya dari kaum imperialis dan kapitalis. Kenyataannya, ia melihat banyak buruh yang memeras keringat dan menjadika Delhi sebagai tanah neraka mereka. Perjalanannya dilanjutkan pada tahun 1921 ke Yogyakarta dan Semarang.
Baca juga: Duo Srikandi Tangguh dalam Hidupku