Mohon tunggu...
Anggiat Simatupang
Anggiat Simatupang Mohon Tunggu... profesional -

Sederhana, namun mencoba bahagia

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Toh Tidak Dilihat

28 Juli 2011   04:46 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:18 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Halo... bisa bicara dengan salah sambung?” terdengar suara dari speker telepon rumah. Lalu, suara itu menghilang seiring dengan putusnya nada pembicaraan. “Dasar iseng...” kata saya suatu hari, tanpa mencoba terusik, meski sedikit tergelitik.

Perkembangan alat teknologi komunikasi, khususnya telepon belakangan ini semakin marak. Berbagai perangkat telepon, yang sering disebut gadget bukanlah hal asing lagi. Bukan hanya di kota-kota besar, bahkan masyarakat di pelosok pedesaan pun sudah sangat akrab dengan benda ini. Berbagai bentuk, merek dan model gadget hadir di tengah masyarakat. Meski tertarik dengan perkembangannya, saya lebih memilih menulis tentang penggunaannya. Biarlah para pakar yang berkompeten berbicara tentang itu. Saya masih sedikit trauma dengan apa, yang Roy Suryo alami.

“Men Behind the Gun”

Bangsa Indonesia terkenal sebagai orang yang ramah. “Tag-line” ini sudah akrab di telinga saya sejak kecil. Tapi, betulkah.....? Ya, betul. Kendati, saya masih belum setuju sepenuhnya, bila warisan ungkapan leluhur itu juga berlaku bagi penggunaan alat-alat komunikasi, baik telepon rumah, telepon genggam, internet, dan sebagainya.

Dialog di awal tulisan ini hanya satu contoh kecil dari sekian banyak kejadian tentang kekecewaan soal penyimpangan penggunaan perangkat komunikasi, apapun bentuknya. Setiap orang tentu mempunyai pengalaman kekecewaan berbeda terhadap “orang di balik gadget” saat berkomunikasi. Pengalaman itu bisa mulai dari pembicaraan lewat telepon yang diputus, meski pembicaraan belum selesai, sampai pada, maaf, penggunaan kalimat-kalimat kasar, yang belum tentu terjadi, bila hal itu dilakukan secara tatap muka, dan sebagainya.

Intinya, alat-alat komunikasi seolah-olah cenderung membuat segelintir orang menjadi liar, dan kerap melupakan etika. “Toh tidak dilihat...!” Ini jelas sebuah ungkapan keliru dalam prinsip pemanfaatan alat-alat komunikasi. Kita bisa bangga ketika memiliki gadget, mulai dari sederhana sampai tercanggih. Apalagi, bila kita tidak mudah memperolehnya. Tapi, memilikinya bukan berarti, kita bisa sembunyi dari norma yang ada. Sesungguhnya, berkomunikasi menggunakan berbagai gadget tidak ubahnya sama dengan berbicara tatap muka.

Selamat bergadget-ria.

Makassar, 28 Juli 2011

usai makan siang, 12:44 WITA

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun