Panas terik di kota Makassar siang tadi sangat menusuk. Udara kering dan berdebu di jalanan terasa kurang bersahabat. Saya, yang sedang mengendarai sepeda motor, tiba-tiba harus berhenti. Roda belakang motor kempes, karena tertusuk paku.
"Hufff...," saya membatin sembari melihat ke atas, ke arah matahari, yang sinarnya semakin panas saja. Saya mencoba mencari tempat berteduh. Nihil. Tersisa hanya bayangan tanaman-tanaman saja. Itupun hanya di dalam ingatan. Dulu, sebelum jalan propinsi satu-satunya di kota Makassar ini diperlebar, masih mudah mencari tempat berteduh.
Dulu, masih banyak pohon Akasia raksasa, berumur puluhan tahun di sisi kiri dan kanan jalan. Masih ada juga beberapa pohon pelindung besar dan rindang.
Sekarang, hanya terlihat beberapa tanaman Trembesi, Glodokan Tiang, dan Palem Raja yang masih remaja. Satu-dua tanaman terlihat daunnya menguning. Bahkan, beberapa tanaman sudah berwarna coklat. Kering. Itu pertanda, bahwa ajal menjemputnya.
Saya menyusuri pinggiran jalan terpadat dan tersibuk di kota Makassar. Jalan Urip Sumoharjo namanya. Ia satu-satunya jalan menuju Bandara Sultan Hasanuddin dari arah kota, selain melalui jalan tol, yang juga satu-satunya ada di Makassar. Mendorong sepeda motor di tengah panas terik matahari memang tidak mudah. Saya harus lebih sering menyeka keringat, yang mengucur seperti butiran-butiran air pada sebotol minuman dingin, yang sering digambarkan di iklan-iklan sebagai ikon kesegaran. "Fresh..!!!" Kata ini yang berusaha ditonjolkan oleh tim kreatif pemasaran perusahaan minuman dalam kemasan itu.
Namun, mustahil saya 'fresh' saat itu. Saya malah nyaris frus....tasi..!!! Bola mata saya liar mencari tukang tambal ban, yang biasanya ada di pinggiran jalan. Syukurlah. Sebelum semangat dan tenaga saya benar-benar terkuras habis, saya berhasil menemukan seorang tukang tambal ban. Hati saya gembira. Tapi, itu hanya sesaat.
Saya menyaksikan tukang tambal ban itu sedang marah-marah. Di depannya berdiri seorang anak kecil, yang membawa karung di pundaknya. Tanpa bermaksud menyela, saya pun mulai menyapa, "Bisa tambal ki', Daeng?". Tukang tambal itupun tiba-tiba berubah. Ekspresi marah di rona wajahnya menjadi ekspresi ramah. Ia tersenyum sembari berujar, "Iye' ki..".
Anak kecil itupun berlalu tanpa sepatah kata pun.
Naluri 'jurnalis' di batinku bergejolak. Saya berontak dan tidak rela membiarkan peristiwa itu berlalu begitu saja tanpa bertanya. Tapi, niat itu saya urunkan sementara. Tukang tambal ban itu masih sibuk membuka roda belakang ban motor, karena sebelumnya saya minta ia menggantinya saja dengan ban dalam baru.
Saya biarkan ia sejenak sibuk dengan aktifitasnya. Sementara saya juga tidak berdiam diri. Tentu, saya tidak bisa membantunya. Kejadian pada awal tiba tadi membuat saya mengingat pada peristiwa kurang lebih sebulan lalu....
Pemulung kecil itu tertunduk lesu. Ia sedang dimarahi oleh seorang ibu paruh baya, karena ketahuan mencoba mengambil sepasang sandal jepit usang, yang salah satu talinya sudah putus dari depan pintu gerbang pagar halaman rumahnya. Sandal itu sudah lebih seminggu terletak di sana.
Sekelumit cerita dari anak bangsa ini, yang tetap termarginalkan saat ia mencoba mengais rejeki di alam 'kehalalannya'.
Saya benar-benar tersentuh oleh peristiwa ini. Selain terjadi di depan mata, saya pun belum habis pikir, mengapa semakin mahal saja harga sebiji kepedulian? Apa susahnya merelakan sepasang sandal butut itu diambil oleh seorang pemulung, apalagi ia tidak memerlukan sandal itu. Batinku saat itu. Hal itu pun saya jadikan sebagai 'status' pada salah satu situs jejaring sosial terbesar di jagat ini. 'Status' saya itu mendapat banyak perhatian, komentar, dan pertanyaan yang dialamatkan ke kotak surat pribadi saya. Untunglah, masih ada juga peduli. Ungkapku saat itu pada diri sendiri.