Mohon tunggu...
Kortal Nadeak
Kortal Nadeak Mohon Tunggu... -

Saya hanya seorang Guru SD yang belajar menulis opini.

Selanjutnya

Tutup

Politik

KETIKA PENGKRITIK LEBIH BANYAK DARI PEKERJA

12 September 2015   13:42 Diperbarui: 12 September 2015   13:42 287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh: Kortal Nadeak

Guru SD yang sedang belajar menulis.

 

Sebenarnya saya ingin membuat judul tulisan “Ketika Penfitnah Lebih Banyak dari Pekerja”, tetapi karena saya menganut paham adat ketimuran saya berusaha “menghaluskan” bahasa saya biar enak dibaca semua orang. Sebenarnya saya tidak kompeten dalam menulis dalam topik politik, tetapi karena dorongan hati yang sangat kuat maka saya berusaha menuangkannya dalam tulisan ini.

Akhir-akhir ini topik yang paling hangat dibahas adalah tentang melemahnya mata uang kita terhadap Dollar dan pekatnya asap di beberapa provinsi terutama Riau. Hampir di setiap berita online topik ini dibahas dan dibumbui dengan komentar yang bebas kebablasan. Ya, komentar dari para pembaca yang cenderung seenak hatinya menyalahkan pemerintah tanpa mengetahui fakta yang sebenarnya. Jika ada pembaca yang membela pemerintah maka langsung dicap “mendewakan Pak Jokowi”.

Seperti biasanya, reaksi pertama masyarakat adalah menyalahkan presiden. Ketika mata uang kita menembus Rp14.000,00 per 1 Dollar Amerika, ribuan komentar langsung menyalahkan presiden dengan membabi buta. Kritik pedas atau fitnah langsung ditujukan kepada presiden (pemerintah). Isu lama langsung diangkat ke permukaan, presiden boneka Megawati, presiden plonga-plongo, presiden kurus krempeng, presiden bla-bla, dan seterusnya dan kalau mau dimuat daftarnya bisa sampai 100 halaman dan seluruhnya komentar negatif ini tidak berkorelasi langsung dengan penyebab melemahnya mata uang rupiah. Di saat yang sama masyarakat ramai-ramai berbelanja produk luar negeri, misalnya hp, kamera, tas, dan lain-lain. Meskipun slogan “cinta produk dalam negeri” didengung-dengungkan akan tetapi itu hanya tinggal slogan semata. Kesalahan pemerintah dikorek sedalam-dalamnya tetapi di saat yang sama masyarakat kita ikut andil sebagai faktor internal melemahnya rupiah kita.

Saya tidak menggeneneralisasi bahwa seluruhnya komentar netizen adalah buruk. Banyak juga yang mengkritik dengan cerdas yang disertai argumen dan beberapa tawaran solusi. Akan tetapi, mayoritas netizen berkomentar seenak hati, seakan pemerintah diam dan tidak berusaha memperbaiki keadaan. Pemerintah sudah berupaya siang dan malam mencari solusi untuk mengatasi masalah. Terlalu naif kita jika menghakimi pemerintah sudah gagal mengurus bangsa ini karena periode yang dijalani baru 1 tahun dari 5 tahun masa pemerintahan.  Budaya instan telah merusak pondasi budaya kita sehingga berharap bisa mengubah keadaan seperti membalikkan telapak tangan.

Selanjutnya, masalah yang menyita perhatian masyarakat adalah asap yang menyelimuti beberapa provinsi di Indonesia. Seperti saya utarakan di atas, reaksi pertama masyarakat adalah menyalahkan presiden. Ibarat kebakaran di rumah sendiri lalu menyalahkan pak lurah. Tanpa dikomandoi, segunung makian langsung meluncur bebas ditujukan langsung ke pemerintah. Akan tetapi presiden langsung turun langsung ke lapangan dan meninjau lokasi. Lagi-lagi isu pencitraan di angkat ke permukaan seakan-akan semua hal baik adalah pencitraan. “Presiden kan bisa memerintahkan menteri?” begitu kira-kira komentar yang masih saya ingat. Saya secara pribadi sangat bangga kepada Bapak Presiden Joko Widodo tidak memakai masker saat meninjau ke lapangan kebakaran hutan. Beliau bukan berlagak sok jago atau pamer ketahanan tubuh. Satu-satunya cara untuk memahami keadaan yang sesungguhnya adalah mengalami kejadian di lapangan.  Beliau ingin mengetahui perasaan masyarakat dengan ikut serta menghirup asap.

Jika kita prihatin dengan kondisi ekonomi bangsa ini,  jika kita ingin masalah tahunan asap tidak terjadi lagi, maka mari kita bantu pemerintah.  Pemerintah tidak antipati dengan kritik tetapi kritik yang baik sebaiknya dengan bahasa yang sopan dan disertai tawaran solusi. Berhentilah bersikap kanak-kanak. Pertanyaan yang harus kita ajukan adalah “apa yang harus aku lakukan untuk mengatasi masalah ini?” Beberapa teman saya yang merantau di Riau mengatakan bahwa mereka sangat tersiksa dengan pekatnya asap. Akan tetapi, mereka telah melakukan sesuatu, yakni membantu memadamkan api atau sekadar membawa 1 kardus air mineral untuk yang sedang bekerja memadamkan api. Tindakan ini tidak serta-merta bisa menyelesaikan masalah tetapi tindakan kecil ini jauh lebih bermanfaat daripada segunung caci-maki dan kritik kosong. Jika kita prihatin dengan keadaan ekonomi kita, maka marilah kita menggunakan produk-produk dalam negeri. Saya juga sudah melakukan sesuatu, berkaitan dengan profesi saya sebagai guru. Selama 1 minggu saya menjelaskan dampak buruk pembakaran hutan di sela-sela pelajaran IPA kepada anak didik dan mengajak mereka mencintai lingkungan dengan menanam dan merawat bunga di halaman sekolah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun