Jumlah itu dikatakan meningkat 10 persen per tahun, seolah ia ingin mengkontraskan dengan pengurangan jumlah presentase penduduk miskin yang hanya turun satu persen. Namun, membandingkan data itu justru mempertontonkan ketidakpahaman dalam membaca data.
Angka 1 persen penurunan kemiskinan di era Jokowi itu relatif (tergantung dan dihitung) terhadap angka 260 juta penduduk. Artinya penurunan satu persen berarti penurunan sekitar 2,6 juta orang. Sementara itu, peningkatan 10 persen orang kaya (milioner) berdasarkan data Credit Suisse relatif terhadap 789 orang, artinya peningkatannya 79 orang. Jadi, memang sangat tidak nyambung jika membandingkan data tersebut.
Fakta perbandingannya, Credit Suisee merilis "Global Wealth Report 2014" yang menyebutkan 98 ribu penduduk Indonesia yang digolongkan milioner. Artinya, tiga tahun Jokowi memimpin sejak 2014 ke 2017 hanya terjadi peningkatan 13 ribu milioner. (di 2017 jumlah penduduk milioner 111 ribu)
Bandingkan dengan peningkatan jumlah milioner dari tahun 2010-2014 (era SBY). Masih dikutip dari Credit Suisse "Global Wealth Report 2010" jumlah penduduk Indonesia yang tergolong milioner, yaitu 60 ribu orang. Artinya di era SBY terjadi peningkatan 38 ribu milioner baru (di 2010 ada 98 ribu milioner). Jadi, di rezim siapa sebenarnya peningkatan milioner lebih dahsyat?
Memang selalu menarik untuk mengulik data dan statistik. Semua orang dapat menghitung dan menyimpulkan data dan statistik. Namun demikian, tidak semua orang dapat menerjemahkannya dengan benar. Mari belajar bersama. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H