Saya memutuskan untuk kembali menulis tentang kenaikan penyesuaian (di wilayah Timur Indonesia harga Pertamax turun) harga BBM Non Subsidi (Pertamax, Dexlite, Pertamax Turbo, dan Pertama Dex) di beberapa tempat di Indonesia karena hari ini sudah terlalu banyak pendapat yang tidak masuk akal.Â
Politisi dan beberapa kelompok mahasiswa bahkan menilai, naiknya harga Pertamax menjadi Rp 9.500 / liter akan menyengsarakan rakyat kecil, sehingga mahasiswa perlu demo besar -- besaran. Benarkah demikian? Sebenarnya berapa banyak pengguna Pertamax dibanding BBM bersubsidi (Premium dan Solar)? Benarkah pemerintah Jokowi saat ini terus menerus menaikkan harga Pertamax? Dan dilakukan secara diam diam?
Pertama, saya kembali tekankan kenaikan harga BBM mau tidak mau harus dilakukan karena bahan baku BBM di seluruh dunia, yaitu minyak mentah semuanya mengalami kenaikan (minyak Brent dan WTI). Harga minyak Brent saat ini hampir 80 Dollar AS per barrel, naik 48 persen dibanding tahun 2017, harga minyak mentah saat ini juga yang tertinggi dalam 3,5 tahun terakhir.
Harga minyak mentah berpengaruh 90 persen terhadap penentuan harga BBM. Tidak percaya? Ingatkah kita pada era pemerintahan SBY terjadi kenaikan harga BBM Bersubsidi sebanyak 4 kali karena alasan naiknya harga minyak dunia? Terakhir, pada Juni 2013, SBY menaikan harga kedua BBM Bersubsidi (Premium dan Solar yang semula Rp 4.500 / liter), Premium naik Rp 2.000 / liter menjadi 6.500 dan Solar naik Rp 1.000 / liter menjadi Rp 5.500. Parahnya, kenaikan diterapkan kepada BBM bersubsidi yang mayoritas dikonsumsi rakyat kecil (pedagang asongan, sopir angkot, ojek, nelayan).
Setelah kenaikan itu, berbagai harga pun melambung karena kenaikan biaya operasional, wajar saat itu terjadi gelombang demonstrasi besar -- besaran dari berbagai kelompok masyarakat. Bedanya saat ini, pemerintahan Jokowi terlihat lebih bijak, hanya menaikan harga BBM Non Subsidi.Â
Harga Premium, Solar, dan Pertalite (BBM Non Subsidi yang mulai jadi primadona masyarakat karena harganya di bawah Pertamax) tetap. Hal itu untuk menghindari kenaikan harga bahan pokok dan terbebaninya masyarakat kelas bawah. Premium dan Solar tetap dipertahankan harganya (Premium Rp 6.450 / liter dan Solar Rp 5.150 / liter) Harga itu disubsidi oleh APBN karena harga normalnya saat ini Premium itu Rp 8.600/liter dan Solar Rp 8.350/liter.
Kedua, berapa sih jumlah pengguna Pertamax yang kini harganya dinaikan hanya sebesar Rp 500-600/ liter itu? Ternyata, jumlah konsumsi Pertamax c.s. menjadi salah satu yang terendah dari jenis BBM yang lain. Pada periode 31 Mei -- 28 Juni 2018 (puasa dan lebaran) saja, yang biasanya menjadi periode konsumsi tertinggi BBM setiap tahunnya, konsumsi Pertamax di Indonesia hanya 17.960 kilo liter (kl). Adapun Dexlite 1.220 kl, dan Pertamina Dex 471 kl.
Jumlah itu jauh lebih sedikit dibandingkan jumlah konsumsi Premium (31.716 kl), Pertalite (48.391 kl) dan Solar (35.800 kl). Hal itu wajar, karena pengguna Pertamax c.s. ialah kalangan menengah ke atas yang memiliki motor dan mobil mewah yang mesinnya tidak cocok menggunakan Premium atau Solar. Apakah kenaikan Rp 600 berpengaruh bagi penduduk dengan penghasilan puluhan hingga ratusan juta per bulan? Saya rasa tidak.
Ketiga, sebenarnya Pemerintah Jokowi sejak 2014 telah menurunkan 10 kali harga Pertamax. Pada awal pemerintahannya, harga Pertamax mencapai Rp 9.950 per liter, hingga pernah mencapai harga termurahnya di 15 Mei 2016 sebesar Rp 7.350 per liter.Â
Saat ini, harga Pertamax yang sudah dinaikan juga lebih murah dibandingkan harga BBM sejenisnya yang dijual oleh Shell (Perusahaan Minyak asal Amerika) yang per liter mencapai Rp 10.000 (kembali naik per hari ini), dan Total (Perusahaan Minyak asal Perancis) yang per liter harganya Rp 9.600.
Terakhir, banyak pihak yang menuding bahwa pemerintah menaikan harga Pertamax c.s. Secara diam -- diam. Setelah saya kembali cek pemberitaan di media ternyata hal itu tidak benar, pemerintah sudah sejak bulan Mei 2018 mengumumkan rencana kenaikan harga BBM Non Subsidi, informasi itu pun sudah diberitakan oleh seluruh media nasional.Â