Beberapa hari terakhir di media sosial ramai diperbincangkan besaran Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia yang semakin meningkat dibandingkan periode yang lalu. Ramai -- ramai lantas pemerintahan Joko Widodo saat ini dituding tidak mampu membawa perekonomian Indonesia ke arah yang lebih baik.Â
Benarkah demikian? Padahal Presiden Joko Widodo merupakan seorang pebisnis (pengusaha mebel) sebelum terjun ke gelanggang politik. Tentu saja, perlu menilai keadaan ULN Indonesia dengan lebih adil, sehingga kita akan memahami hal yang sebaliknya, perekonomian Indonesia berada di jalur yang benar.
Data yang dirilis Bank Indonesia (BI) pada Jumat (22/6/2018) menunjukkan bahwa pada periode akhir April 2018, ULN Indonesia sebesar 356,9 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 4.996,6 triliun.Â
Meskipun tumbuh, namun pertumbuhannya lebih lambat dibandingkan periode bulan sebelumnya. Pertumbuhan utang berada di angka 7,6 persen, dibanding bulan sebelumnya yang tumbuh 8,8 persen. Artinya, pertumbuhan ULN mengalami perlambatan.
Mengutip pernyataan Pakar Ekonomi UGM A. Tony Prasetiantono di Harian Kompas beberapa waktu yang lalu, mengelola keuangan negara itu seperti mengelola keuangan perusahaan. Saat perekonomian perusahaan meningkat kegiatannya, utang pun bakal meningkat. Hal itu lumrah, yang penting utang dialokasikan secara benar dan bisa dibayar kembali.
Hal itu masuk akal jika kita lebih adil melihat kondisi perekonomian Indonesia yang hari ini tumbuh sangat pesat. Di lihat dari segi infrastruktur (tol, jembatan, pelabuhan, jalan raya, transportasi) yang pada masa pemerintahan Jokowi dibangun dengan sangat fantastis. Bila pada era SBY kita hanya bisa melihat pembangunan Jembatan Suramadu (Surabaya -- Madura) yang bautnya banyak dicuri saat sudah diresmikan, kita tidak bisa membohongi di era Jokowi tidak terhitung apa saja mega infrastruktur yang sudah dibangun.
Elite politik di Indonesia misalnya Prabowo Subianto, coba "menakut -- nakuti" masyarakat yang mengatakan, kondisi ULN Indonesia sudah berbahaya karena mencapai Rp 9.000 triliun. Jumlah tersebut dua kali lebih besar dari data yang secara resmi dirilis oleh BI. Prabowo mengatakan mengetahui informasi dari lembaga pemeringkat Moody's bahwa ULN Indonesia berbahaya.Â
Padahal Moody's justru menyampaikan sebaliknya, ketahanan Indonesia dari guncangan ekonomi masih kuat karena ditopang peningkatan kinerja ekspor pada 2017. Entah, dari mana Prabowo mendapatkan angka Rp 9.000 triliun.
Gubernur BI Perry Warjiyo menilai, utang Indonesia masih cukup aman jika dilihat dari segi rasionya terhadap PDB. Memang, aman atau tidaknya ULN suatu negara dilihat dari besaran PDB nya (rasio ULN terhadap PDB). Rasio tersebut menggambarkan kemampuan negara dalam membayar ULN. Saat ini PDB Indonesia Rp 15.000 triliun, dengan ULN sekitar 4 ribu triliun, maka rasionya sekitar 29 persen. Hal itu jauh di bawah batas toleransi rasio ULN yang disyaratkan UU Keuangan Negara, yaitu 60 persen.
Rasio ULN Indonesia lebih rendah dengan negara berkembang lainnya seperti, Brasil dan Thailand (34 persen), bahkan jauh lebih baik dibandingkan dengan AS (106 persen) dan Jepang (250 persen).Â
Negara maju justru ULN nya lebih tinggi, itu membalik logika keliru masyarakat selama ini, bahwa seharusnya semakin maju negara ULN makin sedikit. Perlu diketahui, tidak ada negara yang tidak memiliki ULN.