“Kamu itu bikin malu keluarga kita saja!” kata ayah padaku. Kata-kata itu cukup untuk membuatku bungkam seribu bahasa. “Seharusnya kamu contoh kakakmu Rafi! Dia pintar dan sering mengharumkan nama keluarga kita.” kata ayah yang masih marah padaku.
Semua ini berawal karena Aku memulai tawuran pelajar kemarin. Saat aku menunggu bus di halte, mereka datang. Anak anak SMA 15 mulai datang dan menghina SMA 12. Awalnya aku diam saja tapi teman teman mulai bersiap melawannya dan karena telinga ini sudah merah akibat mendengar ejekan mereka, aku dan teman temanku mulai melempari mereka dengan batu. Alhasil terjadilah tarwuran yang tak terelakkan. Tiba-tiba sirine polisi mengacaukan semuanya, dan aku pun berlari sekuat tenaga mengelak dari mereka. Beruntung aku masih bisa kabur, Namun aku harus merasakan skorsing seminggu karena pihak sekolah mengetahui asal muasal tawuran tersebut.
“Ghazy, bisa ngga sih kamu berhenti tawuran dan menjadi pelajar sebagaimana mestinya?” kata abangku itu padaku. “Aku khawatir nanti kalo kenapa-napa gimana?.” lanjut Ravi. Sejenak aku berpikir, memang semua hal pasti ada konsekuensinya dan aku pun tahu konsekuensi dari hal itu. “Ghaz, Kamu kira aku dulu tidak nakal sepertimu? Aku cukup nakal di sekolah tapi setelah satu kasus tawuran yang membuat 3 teman dekat ku dikeluarkan dari sekolah aku dan teman-teman sudah kembali ke jalan yang benar apa kamu mau mendapat masalah seperti itu??”
Mendengar ocehan abangku aku pun langsung tersentak. Keesokan harinya aku masuk ke sekolah lagi seperti biasa. Dengan sedikit ragu aku melangkah masuk ke sekolah. Pikiranku melayang memikirkan nasihat yang diberikan Rafi padaku. Dalam hati aku aku berjanji untuk berubah demi keluargaku juga demi kebaikan teman-teman ku terutama pacarku Taniya.
“Zy, lihatkan jika kamu ingin berusaha untuk berubah maka semuanya akan menjadi lebih baik”, kata Taniya saat menggenggam tanganku di bangku depan kantin. “Iya Tan, Makasih sudah ngingetin aku makasi juga buat segala perhatian kamu ke aku”, kataku. “Nanti pulang sekolah tunggu di warung samping gerbang sekolah ya Tan, ! aku bakal nganterin kamu pulang lagi!”, kataku sambil memandang Taniya. “KRINGG KRINGG!!” bel pulang sekolah berbunyi. Taniya langsung menunggu di tempat biasa sementara aku berjalan ke samping halte untung mengambil motorku. Sesampainya aku di warung samping sekolah kulihat dua orang anak SMA 15 sedang berdiri didepan Taniya.
“Ngapain lo pada disini?!”, tanyaku pada mereka. “Eh ini dia nih jagoannya! Ga ngapa-ngapain kok cuma mampir doang soalnya kasian ada cewe cakep sendirian aja”, ucap salah satu dari mereka. Salah satu cowo tersebut tiba-tiba merangkul Taniya yang sedang ketakutan. “Heh! Jangan macem-macem tuh tangan lu, ini pacar gue!”,seraya tanganku mendorong tangan cowo tersebut. Akhirnya perkelahian pun terjadi. Karena suara teriakan Taniya dua sahabatku datang yaitu Farhan dan Radit mereka membantuku menghabisi dua anak SMA 15 tersebut. Taniya menangis dan aku mencoba menenangkannya setelah dua pelajar tersebut pergi.
Akhirnya aku, Taniya, Farhan dan Radit pulang kerumah. Sesampainya di rumah aku buru-buru masuk ke kamar agar orang tuaku tidak tahu kalau aku habis berkelahi karena di bajuku ada noda darah. Tapi ternyata Rafi sudah duduk disana. “No.....kenapa kamu ikut tawuran lagi sih? Bagaimana kalau orang tua kita tau?”, kata Rafi. “Gausah sok tahu gue gak tawuran”, kataku. Aku pun tidur meninggalkan Rafi yang masih duduk di sebelahku.
Paginya seperti biasa aku menjalankan hari ku disekolah. Saat pulang aku sengaja pulang lebih sore karena Taniya ada jadwal ekskul cheerleader dan aku ingin mengantar dia pulang kerumahnya. Saat aku menunggu warung samping sekolah, tiba-tiba suara segerombolan motor SMA 15. Aku pun merasa tidak enak. Benar saja, saat salah satu dari mereka melihatku dia memang mengincar aku, Farhan dan Radit yang menghajarnya habis-habisan pada sore kemarin. Tanpa basa basi aku pun dikeroyok. Sore itu memang sepi hanya ada kami bertiga jadi hanya bisa melawan beberapa orang, tapi akhirnya kamipun tumbang.
Semua terlihat terang saat aku bangun. Setelah beberapa lama aku membuka mata, aku menyadari aku berada di rumah sakit. Ibuku langsung memelukku sambil menangis, dan bapakku tersenyum lega melihatku sudah siuman dari koma seminggu. Kulihat sekelilingku lalu aku bertanya-tanya: “Dimana Farhan, Radit, juga abangku, Rafi?”, aku pun bertanya pada ibuku. Tangisan ibuku masih deras, lalu ayahku pun bercerita.
“Teman-teman mu sedang beristirahat di rumah. Kemarin Rafi pun juga dirawat di rumah sakit karena tertabrak segerombolan motor anak pelajar SMA 15. Tapi Rafi tidak dapat diselamatkan”, kata ayahku tertunduk. Aku pun bingung. ”Maksud ayah? Rafi meninggal?”, kataku yang sudah mulai menangis.”Iya. Rafi meninggal karena ditabrak orang yang sama yang sudah mengkeroyok kamu”.
Aku tak bisa berkata apapun. Ini semua salahku, jika saja aku bisa menolak untuk tawuran nyawa Rafi tidak akan melayang. Aku baru menyadari kalau inilah arti dari semua nasehat-nasehat orang terdekatku. Dalam hati aku hanya bisa berdoa dan berjanji pada Rafi. Aku akan berusaha sebaik mungkin agar bisa membahagiakan ayah dan ibu, seperti dirinya yang yang selalu membawa kebahagian bagi keluarga kami.