Mohon tunggu...
Nadania Fauzani Aisyfillah
Nadania Fauzani Aisyfillah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Seorang mahasiswi program studi Bimbingan dan Penyuluhan Islam Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Menyukai traveling sambil mendengarkan music, gemar membaca dan menggambar. Senang bersosialisasi dengan banyak orang.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Ilmu Dakwah: Transformasi Post-Truth: Dari Masa Lalu ke Masa Kini

20 Mei 2024   18:43 Diperbarui: 20 Mei 2024   18:56 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh Syamsul Yakin Pengasuh Pondok Pesantren Darul Akhyar Parung Bingung Kota Depok (Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) & Nadania Fauzani Aisyfillah Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Post-truth sebenarnya bukan sebuah fenomena baru. Keberadaannya tidak dimulai dengan munculnya media daring seperti media sosial atau jaringan sosial yang kita kenal sekarang. Post-truth tidak lahir dari aktivitas jari tangan kita di ranah digital atau media serba online, tetapi Post-Truth lahir dari hati manusia sejak zaman dahulu. Kebohongan yang dikemas sebagai kebenaran sudah ada sejak masa Nabi Muhammad SAW. Jadi, post-truth adalah perilaku lama yang sekarang hadir dengan bentuk yang lebih modern. Untuk memahami apa itu post-truth, kita bisa merujuk pada informasi yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW.

Ada sabda Rasulullah yang bersumber dari Abu Hurairah yaitu "Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang penuh dengan penipuan. Ketika itu pendusta dibenarkan sedangkan orang yang jujur malah didustakan. Pengkhianat dipercaya sedangkan orang yang amanah justru dianggap sebagai pengkhianat. Pada saat itu Ruwaibidhah berceloteh". Ada yang bertanya, "Apa yang dimaksud Ruwaibidhah?" Nabi SAW menjawab, "Orang bodoh yang turut campur dalam urusan publik" (HR. Ibnu Majah).

Ketika seorang pendusta dipercaya sementara orang yang jujur tidak dipercaya, hal ini menunjukkan bahwa post-truth telah ada sejak zaman dahulu. Orang tidak lagi dipengaruhi oleh pendapat dari sumber berita yang terverifikasi. Tetapi mereka lebih mudah percaya pada hoaks yang memanipulasi emosi dan daya pikir mereka. Sejak dahulu, post-truth mampu mengalahkan objektivitas. Apabila hal ini dibiarkan, maka dapat mengancam persatuan sosial, kemajuan pembangunan, dan kemandirian bangsa.

Secara psikologis, post-truth muncul dari ketakutan terhadap kejujuran orang lain dan kekhawatiran akan kalah dalam persaingan. Ini mencerminkan kelemahan dalam pengelolaan diri, pengetahuan, serta kerja keras. Post-truth adalah gambaran orang-orang yang merasa kalah dan berusaha menang dengan cara tidak jujur, seperti menggunakan cada bersekongkol, provokasi, dan kampanye hitam. Akibatnya,seorang pendusta dianggap benar sementara orang yang jujur dianggap salah. Tak bisa dipungkiri, praktik politik modern telah terpengaruh oleh fenomena post-truth ini.

Ketika pengkhianat dipercaya dan orang yang jujur dianggap sebagai pengkhianat, ini menunjukkan bahwa media sosial pada dasarnya tidak menentang nilai-nilai kemanusiaan. Sejarah membuktikan bahwa berita palsu, hoaks, dan ujaran kebencian sudah ada sebelum munculnya media konvergensi. Artinya, internet pada dasarnya bersifat humanis, demokratis, dan pluralis. Namun, di era disrupsi, banyak orang diserang tanpa mengetahui siapa yang menyerang, dan seseorang bisa dikhianati tanpa mengenal pengkhianatnya.

Situasi ini diperburuk oleh kemunculan Ruwaibidhah, yang mewakili masyarakat online yang serba instan, masyarakat munafik, anti-sosial, dan berperilaku seperti bandit. Ruwaibidhah adalah ancaman bagi bangsa-bangsa dan bahkan bagi peradaban. Meski pada awalnya mereka hanyalah kelompok pinggiran dengan sifat agresif, mereka kini berada di pusat perhatian. Dengan kemampuan berbica mereka, Ruwaibidhah mampu mengontrol situasi ekonomi dan politik. Kehadiran mereka telah merusak citra media sosial, yang seharusnya digunakan dengan bijak dan penuh hikmah.

Demi memenangkan persaingan ini, kita harus memiliki mentalitas progresif dan pandangan ke depan dengan berpegang pada prinsip "besok adalah hari ini." Jangan menjadi kaum yang romantis-konvensional yang berpegang pada konsep "kemarin adalah hari ini." Jika tidak, kita akan tergerus oleh perubahan cepat yang terjadi dalam hitungan detik. Ketika platform berubah, kita harus melakukan pergeseran. Selain itu, kita perlu melakukan reposisi dari sekadar "pengikut" di era digital menjadi "pemimpin" yang aktif.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun