Mohon tunggu...
NADA CITRA AMBAR WANGI
NADA CITRA AMBAR WANGI Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa S1 Antropologi UNAIR SURABAYA

Freelance Art Work | Seniman Muda Ponorogo | Sinden & Penari | Public Speaker | Aktivis Publik | Tourism Ambbasador | Mahasiswa S1 Antropologi Universitas Airlangga Surabaya

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

Kajian Sejarah Wayang Kulit dan Ruwatan Murwakala Dalam Rangkaian Pagelaran Wayang Kulit

19 Mei 2023   08:00 Diperbarui: 19 Mei 2023   10:13 1141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar : potret Pagelaran Wayang Kulit MANDURO Ponorogo 

Negara di Dunia ini tentunya memiliki ciri khas masing-masing, serta banyak sekali keberagaman dalam hal budaya, adat, suku, ras, bahasa dlsb. Salah satu negara heterogen adalah Negara Indonesia yang memiliki kebhinekaan.

Indonesia adalah negara yang memiliki keberagaman, salah satu yang mendasar adalah adanya perbedaan kebudayaan dan adat, dimana setiap daerah memiliki ciri khas yang sangat berbeda sesuai karakter daerahnya. Salah satu kebudayaan asli Indonesia yang dikenal secara universal adalah seni Wayang kulit.

Wayang kulit ini sudah tidak asing lagi ditelinga masyarakat Indonesia. Wayang kulit merupakan seni tradisional yang kini berkembang dan masih lestari khususnya diwilayah Jawa Timur, Jawa Tengah dan beberapa daerah Jawa Barat. Pertanyaan mengapa sajian seni tradisional ini disebut sebagai Wayang?

Karena Wayang ini berasal dari kata "Ma Hyang" yang memiliki arti Menuju Roh spiritual, sang dewa, atau Tuhan Yang Maha Esa. Namun menurut opini mayoriyas  local genius masyarakat jawa, Wayang didefinisikan sebagai  " wewayangan / ayang-ayang (bayangan)" sebagai representasi unsur kehidupan, tingkah laku manusia, dan bayangan kisah dari manusia itu sendiri dalam kehidupannya sehari-hari, dimana nasib/takdir yang terjadi telah diatur Tuhan sebagai suatu keseimbangan.

Pertunjukan Wayang Kulit ini dimainkan oleh seorang pemain itu yaitu seorang Dalang. Yang lebih dikenal dalam akronim (Dalang = Ngudal Piwulang) dimana berperan menyampaikan runtutan cerita wayang dari awal hingga akhir yang memiliki segala kekuasaan yang merepresentasikan sebagai Tuhan, dan Wayang diibaratkan sebagai manusia, tumbuhan, binatang, bintang/benda mati lainnya (ciptaan Tuhan).

Secara umum, pagelaran wayang kulit sekarang banyak mengambil kisah cerita dari naskah Mahabarata, Ramayana dan Lakon Gubahan (Carangan) yang kemudian dikemas dengan tema/judul yang unik seperti Rabine Wisanggeni, Bimo Suci, Wahyu Kamulyan, Bimo Maneges,dll.

Dalam wayang kulit, properti yang dipakai serta para pelaku pendukung dalam kesenian tradisonal ini semua kaya akan berbagai filosofis.

Blencong atau lampu yang diletakkan diatas kelir atau diatas tepat kepala dalang ini diibaratkan sebagai sumber cahaya dari sinar kehidupan sebagai penggambaran matahari atau bulan yang selalu memberikan penerangan baik siang dan malam hari.

Kayon atau Gunungan di Pagelaran wayang kulit ada bermacam-macam jenisnya, namun secara generale kayon ini dilambangkan sebagai Bumi Seisinya, Pohon yang ada dalam kehidupan serta hewan penghuni hutan. Kayon biasanya berfungsi sebagai pertanda pembuka cerita, perpindahan adegan atau alur cerita serta penutupan cerita. Kelir (layar dalam pagelaran wayang kulit) yang atas berwarna putih bersih yang melambangkan langit.

Sedangkan kelir bawah yang berwarna coklat atau hitam diibaratkan sebagai tanah/bumi. Kotak Wayang ini diibaratkan sebagai tempat yang berkaitan dengan hawa/nyawa manusia.

Keprak/kepyek yang biasanya terletak disebelah kiri dalang ini melambangkan aliran darah (rah/roh) yang berkaitan dengan jantung manusia. Simpingan Wayang ini dilambangkan, jika kanan sebagai gambaran sifat manusia yang baik, jika sebelah kiri melambangkan sebagai representasi sifat manusia yang buruk.

Cempala berfungsi sebagai pemukul kotak isyarat dalang untuk tanda dimulainya pertunjukan wayang kulit dan juga tanda-tanda setiap adegan, dialog, dan sebagainnya. Gamelan, Wirapradangga, dan Pesinden melambangkan sebagai kebutuhan manusia yaitu (Sandang, Pangan, dan Papan).

Perkembangan wayang kulit dibagi menjadi 3 periode zaman antara lain dimulai ketika zaman pra Hindu-Budha. Keberadaan pertunjukan wayang di Nusantara pada saat itu  erat dengan energi-energi tak kasat mata (keyakinan animisme dan dinamisme) yang berpengaruh kepada kehidupan manusia.

Khususnya para leluhur yang telah tiada dan menyatu dengan kekuatan rohaniah tersebut dan menjadi daya penggerak bagi manusia untuk melintasi kehidupan serta mengatasi rintangan-rintangan yang dialaminya. Barulah ketika agama Hindu masuk ke Nusantara dan kerajaan-kerajaan berdiri, cerita-cerita epos India dimasukkan dalam pergelaran wayang dan kemudian justru menjadi repertoar utamanya, menggeser cerita-cerita tentang nenek moyang yang jejak-jejaknya dapat kita lihat sekarang, misalnya dalam lakon Dewi Sri atau Makukuhan.

Setidaknya ada dua metode penyebaran epos India ke Nusantara, antara lain melalui para brahmana yang menggawangi jalur literasi dan menginspirasi para penguasa untuk menggubah berbagai karya sastra India ke dalam "rasa Jawa", sementara para pedagang membawa cerita-cerita lisan yang dikenalnya melalui chayanataka atau permainan bayangan (yakni wayang kulit) dan kemudian "disuntikkan" ke dalam pertunjukan wayang kulit Jawa yang prinsipnya nyaris serupa.

Jalur masuk kedua tradisi ini pun konon berbeda, sementara para brahmana membawa masuk melalui tradisi pernaskahan Sanskerta yang berkembang luas di India Utara, disisi lain para pedagang dari India Selatan membawa cerita-cerita lisan Tamil atau versi-versi lokal Mahabharata dan Ramayana, yang kemudian menjadi "cerita wayang" dimana terkadang tidak selalu sejalan dengan "versi resmi"nya, sehingga timbullah apa yang sekarang dianggap orang sebagai lakon carangan atau "lakon cabang".

Ketika masa peralihan pra hindhu-budha ke masa Islam, terdapat cerita yang diyakini turun-temurun hingga generasi jawa saat ini. Dikisahkan, para Wali bermaksud untuk mendirikan masjid besar di Demak sebagai pusat syiar agama Islam. Para Wali pun berpencar ke berbagai penjuru untuk mencari bahan-bahan bangunan masjid, terutama kayu jati sebagai bahan saka guru atau tiang utamanya.

Sunan Kalijaga pergi ke hutan (dalam Babad Selahardi disebut: hutan Wanapringga) dan bertemu dengan seorang tua yang mengaku bernama Puntadewa atau Darmakusuma, raja Ngamarta, sulung dari lima Pandawa bersaudara.

Prabu Puntadewa tidak dapat mati sebelum ada yang dapat membaca Jimat Kalimasada yang dibawanya, dan ternyata hanya Sunan Kalijaga-lah yang mampu. Setelah diterangkan bahwa jimat Kalimasada berisi kalimah syahadat, persaksian tentang Allah dan Muhammad sebagai kredo keimanan utama dalam Islam, Puntadewa kemudian masuk Islam dan diberi nama Syekh Jambukarang.

Tidak lama kemudian, ia pun wafat. Sunan Kalijaga memakamkannya di Wanapringga. Karena terkesan dengan perjumpaannya menemui sulung Pandawa itu, Sunan Kalijaga lantas mengenangnya dalam bentuk pementasan wayang kulit dalam rangka pembukaan masjid Demak, sekaligus sebagai syiar agama Islam kepada masyarakat Jawa yang saat itu sangat menggemari dan mengkeramatkan wayang. Namun, dikemudian hari semakin majunya perkembangan ilmu pengetahuan kita harus menelisik lebih dalam kebenaran akan berbagai cerita yang belum ada bukti pastinya seperti ini.

Beberapa waktu lalu, setelah Perpustakaan Universitas Leiden merilis beberapa hasil pindai digital naskah Kalimasada atau Kalimahosada dari Bali untuk konsumsi publik, yang ternyata membuktikan bahwa naskah ini merupakan lontar pengobatan yang bersifat magi "putih" (white magic) berlatar agama Hindu yang memuja Siwa dan juga Durga, yang menjadi anti thesis masyarakat jawa islam alih-alih memuat Kalimah Syahadat di dalamnya sebagaimana pemahaman masyarakat Jawa Islam pada umumnya sampai saat ini. Keberadaan Darmakusuma sebagai Puntadewa, sulung Pandawa juga dibantah dalam naskah Srat Kaki Walaka yang disimpan oleh keluarga besar keturunan Sunan Kalijaga di Kadilangu, Demak, Jawa Tengah. Dalam naskah tersebut (yang diterjemahkan oleh alm.

Astuti Hendrato-Darmosoegito), dijelaskan bahwa sosok Sudarmakusuma yang ditemui oleh Sunan Kalijaga bukanlah Darmakusuma Puntadewa, melainkan penguasa Hindu dari selatan Jawa (sekitar Klaten, Jawa Tengah, sekarang), yang setelah masuk Islam diberi nama Ki Agng Jantikoripan.

Dengan sejarah serta keunikan tersebut, pada akhirnya Wayang khususnya wayang kulit diajukan Indonesia sebagai "Warisan Budaya Benda" Masterpiece Of Oral and Intangible Heritage of Humanity oleh UNESCO sejak 7 November 2003. Maka dari itu setiap tanggal 7 November maka dilaksanakan peringatan Hari Wayang Nasional berdasarkan keputusan Presiden Republik Indonesia No.30 Tahun 2018, tertanggal 17 Desember 2018 dengan menetapkan 7 November sebagai Hari Wayang Nasional.

Pagelaran wayang kulit kita bisa menyaksikan dalam berbagai hal acara, seperti Hajatan Pernikahan, Bersih Desa/Dusun, Hari Jadi Kab/Kota, Hari Jadi Provinsi, Syukuran Khitanan, dan masih banyak lagi. Tentunya masih melekat di hati masyarakat mengenai seni tradisional ini. Mengapa demikian?

Karena wayang kulit juga merupakan identitas dari masyarakat jawa itu sendiri secara spiritual maupun non spiritual, keragaman wayang kulit sangat berpengaruh pada manusia yang terus dijaga dan dilestarikan sehingga bisa berpusat pada era globalisasi sekarang.

Dalang kondang yang sudah mendunia dari Indonesia Almarhum Ki Manteb Sudarsono telah memberikan banyak sekali kajian serta aksi yang memiliki nilai estetika unggul dalam dunia pewayangan, memainkan banyak lakon/judul yang membuat kagum semua orang. Kalimat "Manungsa Kudu Tansah Eling lan Waspada", filosofi penting bagi manusia, karena di zaman yang sekarang sangat berdampak besar sebagai simbol pengingat bagi mereka.

sumber gambar : Potret Ruwatan Murwakala Ki Dalang Mulyono 
sumber gambar : Potret Ruwatan Murwakala Ki Dalang Mulyono 

Membicarakan mengenai Pagelaran Wayang Kulit tentu tidak asing dengan istilahi "Ruwatan Murwakala" yang masih termasuk dalam bagian ritus peralihan menurut kajian antropologi, dimana maksud dari hal tersebut adalah upacara adat yang dilakukan untuk membebaskan diri (wong sukerto) dari gangguan BatharaKala (hal-hal keburukan), dimana Ruwatan ini masih dilakukan dan dipercaya masyarakat Khususnya di Kabupaten Ponorogo.

Secara bahasa,  arti kata "Ruwat" dalam bahasa jawa sama dengan "Luwar" yang artinya lepas atau terlepas. Menurut masyarakat setempat Ruwatan Murwakala Wayang Kulit ini dipercayai sebagai ritual untuk membebaskan atau melepaskan kutukan sang dewa yang berbahaya, malapetaka, atau keadaan yang menyedihkan dan menetralisir kekuatan gaib yang mengganggu masyarakat yang punya hajat ruwatan.

Ruwatan membangkitkan karakteristik budaya (cultural characteristics) sebagai pedoman dari lokal genius, yang diperluas pengertiannya dari yang bersifat fenomenologis menjadi bersifat kognitif adalah orientasi yang menunjukkan padangan hidup serta sistem nilai masyarakat, persepsi yang menggambarkan tanggapan masyarakat Jawa terhadap dunia luar, pola dan sikap hidup yang diwujudkan dalam tingkahlaku masyarakat sehari-hari, serta dalam gaya hidup yang mewarnai pri kehidupan masyarakat Jawa dalam pelaksanaan tradisi ruwatan. Tradisi ruwatan juga mengandung multikultutralisme dan makna peradaban universal. Multikulturalisme merupakan ideologi yang mengagungkan perbedaan dalam kebersamaan, terutama dalam keyakinan. Berbagai unsur yang ada dalam masyarakat dipandang dan ditempatkan dalam kedudukan yang sejajar dan setara. Dengan demikian, tercipta keadilan diantara berbagai unsur /budaya yang berbeda itu, dalam tradisi ruwatan dapat menjembatani semua keyakinan kepada Tuhan yang dipuja oleh umat manusia dan tidak menjadi masalah, karena pada hakekatnya semua masyarakat Jawa pelaksana ruwatan menganggap pemujaan terhadap nama Tuhan yang berbeda mempunyai tujuan yang sama.

Dalam upacara adat ruwatan, biasanya bisa berdiri menjadi satu pagelaran upacara ritual tunggal sebagai fungsi utamanya dan juga bisa bergabung dengan pagelaran wayang kulit konvensional (biasa) dimana selain sebagai pagelaran untuk hiburan masyarakat, juga berfungsi sebagai upacara ritual adat ruwatan atau bersih desa / ruwat desa. Biasanya bila ruwatan ini bergabung dengan pagelaran wayang kulit biasa, letaknya bisa di awal acara (sore hari) atau di akhir acara selesainya hiburan pagelaran wayang kulit (pagi hari). Ruwatan memang masih sering dipergelarkan khususnya di daerah penulis yaitu di Kabupaten Ponorogo. Ruwatan biasanya disajikan oleh seorang dalang yang dianggap cakap secara lahir dan spiritualitas, bijak, mumpuni dalam seni pedalangan, sudah mampu dalam pengalaman/yang lebih tua untuk sarana dihormati. Syarat spiritual mencakup banyak hal. Mulai dari harus jalan dan berdoa keliling 7 pasar, Puasa 40 hari 40 malam, menahan hawa nafsu, ngebleng (meditasi dan berdoa kepada Tuhan YME), mandi (kungkum) di 7 kali tempur (Pertemuan antara 2 cabang sungai atau lebih). Lakon pewayangan yang dibawakan Ki Dalang tersebut biasanya dengan lakon wayang kulit yang secara khusus memang diperuntukkan untuk ritual ruwatan, antara lain lakon Sudamala atau Murwakala. Kedua lakon ini memiliki makna yang sama. salah satu dalang yang sudah mumpuni dalam bidang Ruwatan Wayang Kulit ini di Ponorogo adalah Ki Gondo Bikan. Makna secara simbolis, Ki Dalang disini sebagai ayah angkat para sukerta (yang punya hajat untuk dilepaskan hal-hal buruk) , untuk itu sukerta dan keluarga diharapkan mampu menghayati mendalam dan paham makna kidung dan mantra suci dari Ki Dalang. Sebelum pagelaran wayang kulit, para sukerta dimohon untuk meminta doa restu kepada orang tuanya, selanjutnya selama pagelaran wayang kulit ini berlangsung dilanjutkan dengan ritual pemotongan rambut dan mandi suci, para sukerta diharuskan memakai pakaian putih (yang menandakan kesucian), dan air mandi suci tersebut berasal dari 7 sumber air yang berbeda.

Dilanjut nanti ketika sudah selesai pagelaran wayang dilanjut Ruwatan Murwakala dengan Properti Cerita Wayang Kulit dan Sesajen. Sisi menarik dari Ruwatan ini adalah dimana sesajenm atau alat yang digunakan mengandung berbagai filosofi, baik filosofi secara spiritual maupun non spiritual. Dimana, orang yang diruwat ini dibagi menjadi 2 menurut kepercayaan masyarakat. Yang pertama dari aspek kelahiran "Anak tunggal, anak yang lahir kembar, 3 anak yang kembar, anak laki laki 5/anak perempuan" kemudian yang kedua aspek kegiatan "tanam linggis, orang yang memecahkan kendi/kendil".Nilai Filosofis dan estetika yang terkandung dalam Ruwatan Murwakala Wayang Kulit ini dilihat dari tahapan/proses dan alat yang digunakan, dimana ritual seni tradisional ini berbeda dengan yang lainnya, antara lain Proses siraman kepada sukerta yang mengandung nilai pembersih badan dengan bunga mawar, bunga melati, dan bunga kenanga. Menggunakan sesajen (mati) yang terdiri atas buceng, ingkung, gedhang raja setangkep, jenang 7 rupa, cok bakal kemudian sajen hidup menggunakan ternak yang dimiliki seperti lele, bebek, ayam jago. Selain sesajen ada juga perabotan pendukung yang juga sebagai bagian dari sesaji yaitu sapu, cikrak, payung, dandang, tikar, kain kafan (mori), kaca cermin, air 7 sumber, bunga setaman, bunga telon, anglo dan menyan, dupa, dan kinangan). Kemudian salah satu tembang macapat Asmarandana yang biasannya tertuang dalam mantra/tembang saat ruwatan wayang ini yaitu "Aja turu sore kaki, Ana dewa ngangklang Jagad, Nyangking Bokor Kencanane, Isine donga tetulak, Sandhang Kalawan Pangan, Yaiku bageyanipun, Wong melek sabar narima". Dengan filosofis  bahwa  agar manusia bersikap prihatin dalam hidup. Tidur malam yang terlalu sore hanya akan menumpuk mimpi saja, sebaiknya manusia Jawa justru tidur lebih malam, waktunya diisi dengan penenangan batin, sebab waktu malam adalah waktu yang hening cocok untuk melakukan yoga semadi. Pada saat itu ada "Dewa" yang mengelilingi dunia yang akan menaburkan keberuntungan.

             Pada intinya sesajen dan perlengkapan ini bukanlah sarana yang digunakan untuk pemujaan untuk mahkluk gaib, akan tetapi digunakan untuk menghormati para leluhur dan sarana bersedekah tuan rumah yang memiliki hajat kepada masyarakat lingkungan sekitar sebagai perwujudan rasa syukur terimakasih akan nikmat yang telah diberikan oleh Tuhan YME dan memohon keselamatan kepadaNYA. Kemudian ada prosesi tebusan (penyerahan) pihak sukerta kepada dalang ruwat sebagai pertanda kesepakatan telah berlangsungnya prosesi ruwatan.  Dilanjutkan prosesi potong rambut para sukerta yang memiliki filosofis bahwa segala sesuatu yang kotor harus dipotong dan dibuang. Sedangkan adanya tirakatan (doa bersama disertai laku tertentu seperti puasa / ngrowot) sebelum pagelaran wayang kulit digunakan sebagai simbol rasa syukur dan ungkapan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa atas perlindungan serta anugerahnya.  Wujud bentuk pagelaran wayang kulit didalamnya membawa filosofis kehidupan manusia yang menginginkan kebaikan, yang pelaksanaan ruwatan ini sangat berkaitan kesucian jiwa dan raga masyarakat khususnya jawa.

Tradisi ruwatan yang masih berjalan secara rutin dalam masyarakat Jawa merupakan tacit knowledge (pengalaman intuitif yang didasarkan pada budaya-budaya lokal) yang sudah berlangsung turun temurun yang melalui banyak zaman. Kemudian tradisi ruwatan juga sebagai objective knowledge (pengetahuan universal). Universalisme masyarakat Jawa yang mengandung berbagai nilai yang berhubungan dengan hakekat hidup dan kehidupan manusia di dunia ini. Ruwatan mampu bertahan terhadap budaya luar, memiliki kemampuan mengakomodasikan unsur-unsur budaya luar, mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur-unsur budaya luar ke dalam kebudayaan asli, memiliki kemampuan mengendalikan, memberi arah kepada perkembangan budaya, terbuai secara komulatif, terbentuk secara evolusi, tidak abadi, dapat menyusut, tidak selamanya tampak jelas secara lahiriah. Mengapa kebudayaaan jawa seni tradional Wayang kulit dan prosesi adat Ruwatannya perlu dikenal, dipelajari dan dilestarikan generasi muda dan kalangan masyarakat? Karena Wayang kulit merupakan aset kebudayaan jawa yang memuat banyak kajian keilmuan mendalam namun perlu disadari/masih kurang diminati generasi penerus bangsa.  Selain itu wayang kulit sebagai jati diri yang kolektif, media komunikasi lintas agama, wayang kulit memiliki peran besa dalam kehidupan masyarakat Jawa,tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa wayang merupakan salah satu identitas utama maupun yang bukan saja untuk persembahyangan, meditasi, pendidikan, pengetahuan, hiburan, tetapi juga menyediakan fantasi untuk nyanyian, lukisan estetis dan menyajikan imajinasi puitis untuk petuah-petuah religius yang mampu menggetarkan jiwa manusia yang melihatnya dan menjadi bagian penikmat seni tersebut. Serta Tradisi Ruwatan Wayang kulit ini merupakan salah satu tradisi yang menjadi penguatan budaya lokal, identitas budaya jawa, kuat nilai kulturalisme yang berkaitan dengan gaya hidup masyarakat jawa khususnya, dan juga penguatan pendidikan karakter diantara menguatnya arus globalisasi/westernisasi ini.

Startegi pengembangan yang perlu diterapkan untuk menjaga dan melestarikan Seni Tradisional Wayang kulit dan Tradisi Ruwatan Wayang ini dengan cara menggelar Pertunjukkan wayang kulit dengan paket ruwatan di acara Hajatan Pernikahan, Bersih desa, Syukuran Hari Jadi Provinsi/Kabupaten, Syukuran Khitanan dll. Selain itu memperingati Hari Wayang Nasional setiap 7 November dengan pentas Pagelaran Wayang Kulit. Tak hanya itu juga, dengan melibatkan banyak elemen seperti pihak masyarakat untuk menghormati , berpartisipasi, dan melestarikan tradisi ini secara langsung maupun tidak langsung, tentunya Pemerintah juga harus mendukung penuh mengalokasikan secara materi maupun moril. Apalagi seperti generasi muda saat ini khususnya Mahasiswa, harus adaptif, mempelajari, dan belajar sebagai sarana pendukung akademisi. Maka, pelaksanaan ruwatan wayang kulit sebenarnya juga bermaksud untuk mencapai tujuan hidup manusia Jawa tersimpul dalam unen- unen, mati sajroning urip, urip sajroning pejah, artinya bahwa yang hidup tetap hidup, tetapi yang mati adalah napsu lahiriahnya."Unen-unen " tersebut mengandung pesan bahwa hidup manusia, hendaknya bisa mengendalikan hawa napsu. Orang yang tidak bisa menguasai napsu berarti mati. Sebaliknya, jika orang hidup tanpa napsu, ia adalah mati juga. Hidup manusia itu silih berganti seperti halnya perputaran roda (Cakra -manggilingan). Hanya manusia yang bisa mengendalikan napsunya, kebahagian di dunia dan di alam baka akan tercapai (Pamoring Kawula Lan Gusti).

DAFTAR PUSTAKA

Rohman, Fatkur (2018) Sejarah Perkembangan dan Perubahan Fungsi Wayang Dalam Masyarakat, IAIN Tulugangung https://jurnalpuslitjakdikbud.kemdikbud.go.id/index.php/kebudayaan/article/download/234/pdf diakses pada 24 November 2022, pukul 21.44 WIB.

Jelajah, Nusantara. 2021 "Asal Usul dan Sejarah Singkat Wayang Kulit", https://jelajahnusantara.co/art-n-cultur/asal-usul-dan-sejarah-singkat-wayang-kulit/, diakses 24 November 2022, pukul 21. 56 WIB.

Yuwono, Lorenzia (1998) Upaya mengembangkan upacara ruwatan massal sebagai atraksi wisata baru di Surabaya. Diploma thesis, Petra Christian University. http://repository.petra.ac.id/14692/ diakses pada 30 November 2022, pukul 19.32 WIB.

Soerjasih, Indrijati. 2018. "Makna Simbolis dan Pendagogis dalam Tradisi Ruwatan" , Makna Simbolis dan Pedagogis dalam Tradisi Ruwatan (kemdikbud.go.id), diakses pada 30 November 2022, pukul 22.39 WIB.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun