Selalu pada senja yang berwarna jingga, kita berguling-gulingan di tanah lapang depan rumah kita. Kau akan mengejarku yang berguling, kemudian jatuh dan ikut berguling pula. Kita akan berguling, mengelinding, hingga lutut kita terantuk batu-batu dan berdarah. Tangis kita meledak bersamaan. Buru-buru kita pulang sambil bercucuran air mata dan saling menjitak kepala. Aku merindukan saat-saat itu. Selalu Emak memarahi kita di depan pintu sambil melepas baju-baju kita yang kotor oleh tanah. Kemudian Bapak, akan membawakan seember air dingin dan mengguyur badan kita yang kumal. Kita sama-sama kedinginan dan berdarah. Lutut kita belum juga berhenti meneteskan darah saat Emak membalut luka-luka yang sama setiap hari dengan ujung kainnya yang kian hari kian habis. Sambil memberi kita nasehat yang sama setiap hari agar kita jangan berguling di tanah lapang lagi esok hari. Kita mengangguk bersamaan dan meminta ampun berkali-kali. Emak memaafkan kita berkali-kali pula setiap hari. Emak memaafkan setiap kenakalan yang kita perbuat setiap saat, tanpa pernah sekalipun tubuh kita menerima pukulan atau cubitan sekalipun. Emak memaafkan dan menasehati kita dengan cinta kasih dan selalu mengusap balutan luka kita setelah selesai dengan nasehat-nasehatnya. Aku merindukan saat-saat itu. Emak akan menuntun kita menuju sumur, menimba air dan menunggui kita berwudhu. Kita yang masih kedinginan tak berbaju akan segera memakai mukena berwarna putih yang sama setiap maghrib untuk sholat berjamaah. Kemudian Bapak akan melantukan iqomat yang merdu dan kita ribut untuk berdiri tepat di belakang Bapak. Lagi, kita saling jitak. Emak akan melerai kita, membiarkan kita berdiri terpisah. Emaklah yang akhirnya berdiri tepat di belakang Bapak dan kita mau tak mau berdiri di sebelah Emak. Melafalkan bacaan sholat dengan saling melirik, bahkan kadang terkikik. Aku merindukan saat-saat itu. Seusai sholat, Bapak menasehati kita bahwa sholat adalah sebuah ritual agung. Sholat adalah saat kita melapor kepada Sang Pemilik Hidup yang begitu baik memberi kita segalanya. Tak sopan jika sholat dicampur dengan candaan. Bisa-bisa Tuhan mengira kita sedang melawak, bisa-bisa Tuhan tersinggung dan marah! Wah, gawat kalau sudah begitu. Kita yang masih kecil benar-benar takut dan menangis. Bapak kemudian mengelus kepala kita dan membisikkan kata-kata yang membuat kita kembali ceria. "Tenang saja, Allah tidak pernah marah kepada anak kecil," kata Bapak. "Tapi ingat, besok kalian bukan anak kecil lagi," imbuh Bapak. Kita lalu-- lagi-lagi-- berjanji akan sholat dengan sepenuh hati esok hari. Tapi memang dasar kita, mudah sekali melupakan janji maka esok hari Bapak akan memberi nasehat yang sama lagi. Aku merindukan saat-saat itu. Sebelum purnama penuh, Emak selalu meninabobokan kita dengan dongeng-dongeng lampau. Tentang timun mas atau kawah dieng. Cerita yang begitu melekat di benakku hingga saat ini. Emak selalu bercerita hingga kita benar-benar jatuh tertidur dan tidak lagi terganggu dengan nyamuk-nyamuk ganas yang hendak berpesta pora di atas kulit kita yang siang hari terpanggang matahari. Aku merindukan saat-saat itu. Paginya kita akan berlomba siapa yang lebih dulu tiba di sekolah. Selalu aku yang kalah, kau selalu tiba lebih dulu. Tapi kita selalu yang paling awal tiba di sekolah jelek itu. Sekolah yang hampir-hampir tak berpintu dan nyaris roboh diterpa angin musim kemarau. Sekolah dimana kita pertama kalinya mengenal huruf, angka juga cita-cita. Kita akan berebut untuk lebih dulu menyebutkan cita-cita jika diminta pak Guru. Aku selalu ingin menjadi insinyur pertanian sedangkan kau ingin menjadi ahli hukum. Cita-citamu terdengar lebih keren dan aku merasa iri sebab hal itu lalu diam-diam menjitak kepalamu. Kau menjerit keras dan mencari tangan yang berhasil membuatmu kesakitan tetapi kau selalu gagal. Aku merindukan saat-saat itu. Hingga kita harus terpisah oleh pilihan. Kau memilih untuk sekolah di SMA Negeri sedangkan aku lebih terpesona dengan keilmuwan di SMK pertanian. Kita berangkat bersama tapi tak lagi duduk sebangku. Kita tak lagi saling jitak dan lebih sering beradu pendapat mengenai mana yang penting hukum atau pertanian. Kita akan berdebat hingga kelelahan dan akhirnya tertidur. Aku merindukan saat-saat itu. Tiga tahun terlewati dan kita menjadi semakin cantik saja. Kau menjadi primadona dan aku menjadi idaman para pria. Kita selalu berlomba, siapa yang paling tahan untuk tak memiliki kekasih, dialah primadona sesungguhnya. Kau selalu kalah sebab kau terlalu mudah jatuh cinta. Saat aku menertawai kekalahanmu, kenakalan masa kecil kita kau ulang lagi, kau menjitak kepalaku. Aku merindukan saat-saat itu. Kau akhirnya memilih kuliah di jurusan hukum dan aku jelas memilih pertanian. Kita semakin terpaut jarak. Bukan hanya bangku yang terpisah, bukan hanya sekolah yang terpisah tetapi kota kita terpisah jarak jauh. Emak dan Bapak sholat berjamaah sendirian tanpa kita lagi. Dan tanah lapang dan batu yang selalu membuat lutut kita berdarah, menjadi tak punya lagi teriakan bocah saat senja datang menyapa. Kau akan segera meneleponku saat kau merindukan semua itu dan kita lagi-lagi tenggelam bersama dalam keriangan bocah. Aku merindukan saat-saat itu. Mendadak, ada kabar buruk. Kau diberitakan ikut sebuah demo besar di tahun 1998. Kau disebut-sebut menjadi salah satu pengikut biang kerusuhan. Kau dikabarkan menjadi salah satu pengacau. Namun, semua hanya kabar. Toh kau tak pernah benar-benar mengirim kabar atau setidaknya aku mendengar kabar tentangmu. Tidak ada satupun. Mendadak kau lenyap. Bapak dan Emak menjadi kalap. Aku segera disuruh pulang dan harus menjelaskan apa yang terjadi. Bagaimana aku menjelaskan kepada mereka bahwa kau dibawa oleh suatu kelompok? Bagaimana akan kujelaskan bahwa aku tak tahu keadaanmu dan siapa kelompok itu? Bagaimana akan kujelaskan itu semua kepada Bapak dan Emak yang hanya tahu kau sedang menuntut ilmu di ibukota? Bagaimana akan kujelaskan kepada Bapak dan Emak yang belum bisa mengeja reformasi dan demokrasi apalagi paham maknanya? Kau meninggalkan banyak pertanyaan yang harus aku jawab sendiri. Bapak dan Emak sudah cukup lelah menghidupi kita hingga menjadi mahasiswa dan aku tidak tega membiarkan mereka mencari tahu sendiri. Akupun pergi menemui para petinggi, tapi aku tak mendapat apa-apa selain, "Akan kami usahakan". aku sudah mencari kabarmu hingga tempatmu terakhir menuntut ilmu tetapi semua orang di kota itu yang mengenalmu tak ada satupun yang tahu dimana kamu Sampai pada akhirnya sepuluh tahun berlalu, Allah yang sangat sayang padaku memanggilku lebih dulu mendahului EMak dan Bapak. Mereka kini sendirian. Aku merasa begitu berdosa, aku meninggalkan mereka sebelum aku menemukanmu. Aku syukuri penyakit ginjal yang kuidap sejak muda itu, tapi kukutuk obat-obatan yang membuat Emak Bapak kesulitan mencari uang. Toh, akhirnya aku mendahului. Tapi inilah takdir yang harus kita terima. Aku selalu belajar, bersamamu tentunya, bahwa hidup adalah menerima. Aku merindukan saat-saat itu. Sekarang, setelah kudengar langsung darimu, orang-orang yang menyiksamu-- dengan mengatasnamakan keamanan, demokrasi dan apalah dalih -dalih itu hingga kau sekarang ada disini bersamaku-adalah orang-orang yang seharusnya dulu kutanyai. Sayang aku tak belajar hukum seperti dirimu. Jadi aku tak tahu bagaimana prosedur agar mereka menerima hukuman yang setimpal. Sekarang, hidup mereka ongkang-ongkang kaki dan merasa tak punya dosa apa-apa. Aku bertanya padamu, "Apakah mereka tak tahu arti saat-saat bersamamu yang selalu kurindukan itu juga arti dirimu untukku dan untuk Emak Bapak?". "Iya, jika mereka manusia. Sayangnya, aku tak tahu bagaimana mereka sesungguhnya," jawabmu. "Aku merindukan saat-saat itu. Begitu juga Emak dan Bapak. Tentunya kami juga merindukanmu," kataku. "Bukan lagi rindu yang harus diceritakan. Sekarang, seharusnya adalah bagaimana mengabarkan pada Emak Bapak apa yang terjadi padaku, apa yang terjadi pada nyawa-nyawa yang terbunuh saat itu. "Sayangnya kita tak lagi punya jalan pulang," kau mengatakannya dengan nada putus asa. "Pada yang hidup, kita berharap. Semoga mereka adalah manusia-manusia yang juga memiliki saat-saat yang sering mereka rindukan," ucapku. "Sepuluh tahun lebih, apakah masih bisa? Apa tak lebih baik Emak Bapak menyusul saja?", tanyamu ragu. "Tidak! Merekalah yang akan menjadi bukti-bukti sejarah, mereka adalah orang-orang yang harus bercerita bagaimana saat-saat yang mereka rindukan dirampas tanpa ampun. Bagaimana kamu, kembaranku, lenyap tanpa ada kejelasan. Mereka harus ada untuk bercerita!". "Semoga sajalah, manusia-manusia yang masih bernyawa peduli dan para petinggi itu tak hanya memikirkan perut sendiri. Kudengar sekarang, keadaan lebih buruk. Perang tanpa senjata terlihat terang-terangan. Kurasa motifnya kekuasaan", katamu. "Kau ini, masih saja mengritik penguasa. Tapi memang begitu tampaknya. Jika bukan urusan perut sendiri, mereka sulit peduli. Namun, aku yakin masih ada jiwa-jiwa yang putih dan peka. Kita lihat saja," kataku. Setelah menyelesaikan obrolan panjang itu. Kita dibawa bersama-sama oleh malaikat bersayap putih menuju suatu tempat lapang dan penuh cahaya. Dalam perjalanan itu aku lamat-lamat mendengar suara tangisan yang menyebutkan nama kita berulang-ulang kali, tangisan Emak yang berwujud doa-doa itu mengantarkan langkah kita. Sementara itu, di tempat lain di bumi, di gedung-gedung megah, sedang diadakan pesta besar-besaran untuk keadilan yang baru saja dipatahkan kembali. Dari atas, aku melihat Indonesia mendung. KaWanku edisi 63. 30 Desember 2009-13 Januari 2010 Oleh Qotrun Nada Haroen Ngadirejo ,16 September 2009
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H