"Cahayaku tak seterang ia, namun mengapa dia melintas dalam perjalanan yang sama denganku, Tuhan..." ucapku dalam setiap inci mengorbit memandangnya. Aku selalu memperhatikan dia, dalam setiap inci perjalananku selalu ada dia. Semakin gelisah berada diangkasa merindukan dia, aku tuang perasaanku untuk mencoba melukiskan bagaimana kilau warna cahanya, namun sekali lagi aku  gemetaran dengan cahayaku yang semakin kalut meredup. Akupun menyimpan perasaan itu dalam kekosongan gravitasi, karena aku takut pada jarak dan perbedaan aku dan dia. Saat mengingat tentang dia, aku tahu begitu terang dia, hingga para ilmuwan memberi nama Sirius Alpha. Sepertinya dia yang utama menghiasi langit, sehingga sering aku merasa semakin rendah dengan cahayaku yang setingkat Beta diakhir namaku. Materi hitam disekelilingku hanya membuatku frustasi, apakah aku akan menjadi seperti mereka? Karena cahayaku yang lebih redup yang seakan sudah diujung ledakan supernova, aku takut perasaanku lebur bersama diriku dan hanya menjadi sebuah lubang hitam. Aku tak tahu bagaimana mengabadikan perasaan cintaku ini. Lalu aku hanya berdoa disepanjang umurku dimana setiap saat aku memperhatikannya, aku berdoa agar  setelah aku mati kelak aku dapat bereinkarnasi menjadi orbitnya, yang setiap saat dapat bersama, tanpa jarak, dan tanpa perbedaan mutlak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H