Mohon tunggu...
Fidel Dapati Giawa
Fidel Dapati Giawa Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Nulis dangkadang, tergantung mood

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

'Warga Keturunan' di Acara Imlek

24 Januari 2012   02:52 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:31 453
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1327382621166085170

[caption id="attachment_165813" align="aligncenter" width="640" caption="Persiapan doa di klenteng Kwan Tee Bio/Vihara Ariya Marga/Admin (KOMPASIANA/Olive Bendon)"][/caption] Dari Sabtu, Minggu dan Senin kemaren, berita Imlek menjejal acara di media elektronik. Mulai dari acara hiburan, berita, dan talkshow. Tak ketinggalan acara ramal meramal alias prediksi situasi dan kondisi selama tahun naga air yang berawal bertepatan tanggal 23 Januari 2012. Dari sekian banyak tayangan, baik yang sekedar hiburan maupun berita-berita serius, terasa ada sesuatu yang mengganjal saat presenter menyebut istilah 'warga keturunan'. Hampir di setiap berita ada sebutan istilah ini. Hal ini sudah berlangsung lama dan tidak hanya terjadi dalam pemberitaan soal Imlek yang memang khas Etnis China. Maksud pembawa acara adalah menunjuk pada etnis China atau Etnis Tionghoa yang ada di Indonesia. Penyebutan istilah 'warga keturunan' saya rasakan seperti memperlebar jarak antara etnis China di Indonesia dengan etnis lainnya. Seakan menegaskan lagi strata masyarakat hukum Indonesia yang pernah didisain oleh pemerintahan Hindia Belanda yang membagi masyarakat menjadi: Orang-orang Eropa, Orang-orang Timur Jauh termasuk China, Arab dan India, serta Orang-Orang Pribumi. Padahal penggolongan itu telah dihapus. Padahal di sisi lain, perayaan Imlek oleh mantan Presiden Abdurrahman Wahid yang akrab dipanggil Gus Dur tentunya adalah untuk memperkokoh integrasi Etnis China ke dalam masyarakat Indonesia. Perayaan Imlek diakomodir sebagai hari libur nasional dipelopori oleh Presiden Gus yang Dur itu. Sosoknya yang dikenal sangat pluralis, dengan kebijakan itu bermaksud memulihkan status Etnis China di Indonesia yang selama masa pemerintahan Orde Baru dikenakan perlakuan khusus. Saya sendiri sebenarnya belum paham apakah masyarakat yang disebut sebagai 'warga keturunan' itu lebih tepat disebut sebagai Etnis China ataukah lebih tepat disebut sebagai Etnis Tionghoa. Namun dalam berbagai acara-acara formal yang saya saksikan, orang-orang lebih sering menyebut "Tionghoa" dari pada menyebut "China". Kalaupun ada yang menyebut istilah "China" selalu dengan logat keinggris-inggrisan yakni dengan lafal "C-a-i-n-a". Saya sendiri beranggapan bahwa penyebutan "China" agak mengganjal lidah dan perasaan karena selama masa Orde Baru (era dimana saya dibesarkan) orang-orang China adalah warga kelas dua. Dalam perasaan dan alam bawah sadar saya terbentuk kesan bahwa mereka adalah orang-orang yang belum dianggap sebagai bangsa Indonesia. Selalu ada rasa ga enak untuk bertanya: "kamu orang China ya?" sementara untuk bertanya: "kamu orang batak ya?" bisa dilakukan dengan lancang dan lancar. Sejauh yang saya pahami, ini adalah soal perasaan semata yang entah bagaimana rupa telah menjadi terbentuk begitu. Biarlah orang-orang yang ngerti urusan menjelaskannya. Siapa tahu ada warga Kompasiana yang bisa menjelaskan sedikit kepada saya di sini. Saya merasa risi mendengar istilah 'warga keturunan' karena naluri saya selalu spontan bertanya dalam hati saat mendengar istilah itu: 'kalau orang China adalah 'warga keturunan' lalu kita ini apakah bukan keturunan?'. Tentunya orang-orang etnis lain selain etnis China di Indonesia tak mungkinlah disebut sebagai 'warga kenaikan'. Tak ada tuh istilah 'warga kenaikan' di kamus mana pun di dunia ini. Sebaliknya, semua mahluk yang hidup saat ini adalah warga keturunan. Keturunan penghuni bumi sebelumnya, tentunya. Singkatnya, tulisan saya ini ingin menyarankan supaya istilah 'warga keturunan' tak usahlah dipakai lagi untuk menyebut mereka yang beretnis China di Indonesia. Namun saya tak tahu pasti apakah lebih tepat menyebut mereka sebagai Etnis China atau Etnis Tionghoa, silakan yang lebih tahu memberi saran. Saya cuma ingin agar kehadiran mereka sebagai entitas warga bangsa diakui sebagaimana komponen warga bangsa lainnya.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun