Mohon tunggu...
Fidel Dapati Giawa
Fidel Dapati Giawa Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Nulis dangkadang, tergantung mood

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Sensasi Pemberantasan Korupsi: Antara Moratorium Remisi dan Hukuman Mati

14 November 2011   02:58 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:42 407
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_148872" align="aligncenter" width="640" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] Mungkin bangsa kita ini bangsa yang paling menyukai sensasi. Malas menjelajah pada isi. Mungkin itu sebabnya acara infotainment laris manis di televisi. Kita senang hal yang remeh temeh dan membicarkannya panjang lebar. Begitu pula cara kita menangani negeri ini, hanya mengurus hal-hal permukaan tanpa menyentuh substansi. Makanya sejak reformasi undang-undang sering berganti-ganti karena dibuat berdasarkan selera terhadap sensasi, disamping motiv kepentingan sesaat. Demikian pula cara kita menangani masalah korupsi. Sensasi lebih dikedepankan. Lihatlah dalam satu bulan terakhir pasca perombakan kabinet SBY, kita disodorkan sensasi 'moratorium remisi' terhadap koruptor. Sensasi yang dilemparkan oleh Denny Indrayana selaku Wamenkumham ini disambut pro dan kontra. Seakan dengan membahas soal remisi telah menyentuh substansi pemberantasan korupsi. Padahal remisi hanyalah problem kecil yang sangat tentatif situasional diberikan atau tidak kepada seorang terpidana. Kebijakan remisi ada di tangan Kemenkumham, mau dia beri ya silahkan mau tidak juga ya urusan dia juga. Kalau dia rajin memberi remisi tentunya citra pemerintahannya ikut buruk. Itupun  kalau memang mayoritas masyarakat peduli dan sudah sadar anti korupsi. Kalau dosis remisinya terlalu mencurigakan ada DPR yang bisa memanggil dan melakukan public hearing untuk mengevalusi si Departemen. Yang sangat menggelikan dari pro kontra remisi ini adalah: Wamenkumham berwacana padahal belum berbuat apa-apa. Padahal kalau memang itu menjadi sikap dan prinsip dia lebih baik dia lakukan saja tanpa melempar wacana. Jika dalam setahun awal masa jabatannya ia tak memberi remisi seharipun pada seorang koruptor yang telah divonis maka ia telah membuktikan kinerjanya. Jika ada yang keberatan --DPR, misalnya --  dengan kebijakan itu, barulah boleh mengajukan wacana untuk layak dijadikan polemik. Yang terjadi sekarang adalah, terus berwacana tanpa pernah berbuat. Karena kita memang menyukai sensasi. Pagi ini saya mendengar wacana soal hukuman mati buat koruptor yang disiarkan oleh TV-One. Sekilas saya dengar (maaf, hanya sekilas karena saya sebenarnya malas mendengar wacara para pakar, tokoh, LSM, dan pejabat yang selalu berwacana tanpa berbuat) melalui telewicara antara penyiar dengan Busyro Muqodas, bahwa KPK akan mengusulkan perubahan UU Tipikor agar diterapkan hukuman mati. Saya melihat ini juga tak lebih dari sensasi. Sekedar untuk membuat kesan bahwa KPK masih berwibawa dan masih punya komitmen kuat untuk memberantas korupsi. Kenapa saya anggap Busyro hanya melempar sensasi? Karena selama KPK ada dan berwenang menyidik sekaligus menuntut para koruptor di pengadilan, seingat saya tak pernah menuntut dengan hukuman maksimal. Undang-undang 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menetapkan hukuman maksimal yang boleh dijatuhkan adalah selama 20 (duapuluh) tahun. Namun, belum pernah seorang terdakwa di pengadilan pernah dituntut maksimal oleh Penuntut dari KPK. Ingat Jaksa Urip trigunawan yang dvonis 20 tahun penjara di Pengadilan Tipikor? Jaksa penuntut yang dari KPK sebenarnya hanya menuntutnya 15 tahun penjara namun hakim dengan berani menjatuhkan vonis 20 tahun penjara. Saya tak mau repot-repot meliht statistik, berapa tahun rata-rata tuntutan KPK terhadap para koruptor, berapa orang yang divonis sekian tahun, dan seterusnya. Silahkan para pembaca yang senang dengan angka statistik dan sajian data melengkapi tulisan ini, sehingga kita bisa saling berbagi. Bagi saya sendiri, melihat data malah membuat saya khawatir saya semakin tidak percaya pada komitmen KPK untuk memberantas korupsi. Serta semakin menguatkan pula asumsi saya bahwa Busyro hanya ingin membuat sensasi sebagai mana para pemegang wewenang lainnya di negeri ini. Saya hanya mencoba mengingat. Dan sepanjang ingatan saya dalam track pemberantasan korupsi oleh KPK tidak ada terdakwa yang ditutntut maksimal. Sepanjang ingatan saya, rata-rata tuntutan yang dimintakan KPK kepada para terdakwa di Pengadilan adalah di bawah 10 tahun penjara, sehingga tak aneh kalau hakim memutus antara 4 hingga 6 tahun penjara. Lalu apa maksud Busyro Muqodas mengajukan revisi UU Tipikor dengan mengajukan pasal hukuman mati? Bagi saya, hal itu tak lebih dari sensasi. Lebih baik KPK sekarang menaruh perhatian pada tugas rutinnya menangkap dan membuktikan kesalahan pidana para terdakwa dan menuntutnya dengan hukuman maksimal, dari pada ikut berwacana yang hanya sekedar jadi sensasi.***

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun